Romansa di Balik Topeng Anandita (1)

romansa-di-balik-topeng-anandita-1

Oleh: Venny Mandasari

Sepertinya aku pernah mengenal dia. Mata bulatnya bening, lehernya jenjang, hidungnya bangir. Sangat cantik. Wajah itu tidak asing bagiku. Tapi di mana aku pernah melihatnya? Belakangan aku tahu dari mama, tetangga baruku itu bernama Anandita.

Mataku melotot. Kulihat dari jendela kamarku yang berseberangan dengan  rumahnya, Anandita baru pulang bersama seorang  pria. Mereka turun dari mobil mewah berwarna merah. Pria itu membukakan pintu mobilnya untuk Anandita. Pandanganku tak lepas dari mereka. Pria itu sangat tampan, dewasa dan karismatik. Dia pasti pacar Anandita. Mereka pasangan yang serasi.

“Hei, apa yang kau lihat?” Lolly, adik perempuanku, tiba-tiba muncul membuyarkan semuanya. Aku memelo­totinya yang berdiri di belakangku. Dia melihat ke arah pandanganku tadi.

“Anandita...” Lolly bergumam. “Kau menyukainya ya?” Aku jadi salah tingkah.

“Aku?” Aku menuding diri sendiri. “Mana mungkin. Dia baru tiga hari bertetangga dengan kita. Aku belum mengenalnya.”

“Pasti kau mengaguminya. Dia sangat cantik. Mana ada laki-laki yang tidak menga­guminya.”

“Cowok itu pasti pacarnya. Mereka pasangan yang sem­purna. Menurutku cowok itu jauh lebih dewasa daripada Anandita. Mungkin bekerja di kantoran. Barangkali pengu­saha.” Mataku memperhatikan mereka yang berjalan menuju masuk pintu rumah Anandita.

“Entahlah. Tapi yang pasti Anandita itu sangat ramah.” Aku menoleh pada Lolly. Dari mana dia tahu?

“Tadi pagi Anandita menya­paku. Aku sedang menyapu halaman dan dia sedang berolah­raga,” ujar Lolly bangga, seolah tahu apa yang sedang kupi­kirkan. “Makanya, kau bangun pagi-pagi jika ingin menya­panya. Mungkin saja 'kan pria itu bukan pacarnya, sehingga kau bisa mendekatinya.”

Kupikir Lolly benar. Sepertinya Anandita memang jarang keluar rumah. Kalau ingin menyapanya, saat dia berolahraga. Dari Lolly juga aku tahu bahwa Anandita mahasiswi Kedokteran, yang masih semester awal. Aku penasaran, di mana aku pernah melihat Anandita?

* * *

Aku memasang alarm hp pukul lima pagi. Entah sudah bunyi yang ke berapa kali. Yang jelas aku sudah menekan tombol “tunda” beberapa kali. Ketika aku bangun, sudah pukul enam kurang sepuluh menit. Hampir saja terlambat. Aku sengaja mengatur alarm pukul lima, supaya kalaupun telat bangun, tidak akan terlambat untuk bertemu Anandita.

Aku segera membuka jendela. Anandita belum keluar dari  rumahnya. Aku cepat-cepat ke kamar mandi, mencuci muka, lalu mengganti celana training dan baju kaos polos putih.

Saat kubuka pintu, Anandita sudah berada di halaman rumahnya yang luas, sedang berlari-lari kecil. Mungkin melakukan pemanasan. Aku mengikuti gerakannya, namun tidak memalingkan pandang darinya. Dia sangat cantik meski baru bangun tidur.

Beberapa menit kemudian dia membuka pintu pagar. Aku juga ikut-ikutan membuka pagar,  berlari kecil, pura-pura tidak melihatnya.

“Hei...” Dari belakangku suara perempuan yang sangat lembut menyapa seseorang. Sepertinya aku. Aku menoleh ke belakang. Anandita sedang tersenyum padaku. Sangat manis. Aku membalasnya dengan senyum kaku. Aku gugup di depannya.

“Kau abangnya Lolly, ya?” Dia mengulurkan tangan. Aku terpana.

“Aku Anandita.” Suaranya menyadarkanku. Aku segera mengulurkan tangan. “Aku Rangga.”

“Aku belum pernah melihatmu. Baru kali ini ya, lari pagi?” Akh, malunya aku. Bagaimana jika besok aku bangun kesiangan dan Anandita tidak menemukan aku lari pagi lagi?

“Biasanya bangun kesiangan.” Akhirnya aku menjawab jujur. Dia tetap lari di tempat meski sedang berbicara denganku. Tapi setelah mendengar jawabanku, dia langsung menghentikan gerakannya, tertawa kecil sambil menutup mulut dengan tangannya.

“Maaf, aku tak bermaksud  menertawakanmu. Terus, hari ini kenapa ingin lari pagi?” Anandita mulai berlari ke depan, mengajakku dengan isyarat  untuk berlari bersamanya.

“Karena ingin bertemu kamu.” Aduh, kenapa aku tak bisa berbohong sedikit sih? “Eh, maksudku, kemarin Lolly banyak cerita tentang kamu sebagai tetangga baru kami. Katanya kamu ramah dan cantik. Jadi aku penasaran ingin berke­nalan.” Nah, jawabanku kali ini lumayan bagus. Anandita ter­senyum.

“Berarti kamu sudah tahu dong, aku mahasiswi Kedok­teran. Nah, kalau kamu kegia­tannya apa?”

“Aku...” Aku bingung mau menjawab apa. Tak mungkin aku bilang kerjaanku hanya di rumah saja. Aku tak mau jujur tentang ini. “Mmm... aku baru wisuda. Sedang mencari pekerjaan.”

“O... lulusan mana?”

“Akuntansi.” Asal saja aku menjawab. Apa aku pantas men­jadi seorang akuntan?

Anandita mengangguk-ngang­guk.

“Mm... sering-sering dong main ke rumahku. Aku tinggal sendirian di rumah.” Dia ter­senyum penuh arti.

* * *

Aku lupa bertanya pada Anandita apa cowok yang bersamanya kemarin adalah pacarnya. Lolly benar, Anandita memang gadis yang sempurna. Sejak bertemu dengannya tadi pagi aku jadi terus memikirkannya.

Pandanganku  tertuju keluar jendela. Setelah menulis lima lembar cerpen untuk hari ini, rasanya mata ini lelah. Aku butuh istirahat. Apalagi tadi malam aku cuma tidur dua jam. Aku seorang penulis. Aku hanya lulusan SMA, dua tahun lalu.

Seketika mataku menangkap Anandita pulang diantar seorang pria tapi bukan dengan mewah berwarna merah itu. Kali ini sedan berwarna hitam. Aku memicing. Itu bukan pria yang kemarin. Yang bersamanya kali ini tidak dewasa tapi menurutku tampak tua. Bisa dibilang seperti om-om. Apa itu orangtuanya?

“Lol, sini.” Kebetulan Lolly sedang melewati pintu kamarku yang tidak tertutup. Handuk tersandar di lehernya. Baru jam tiga sore dia sudah mau mandi.

“Ada apa?”

Aku menggamit tangannya ke dekat jendela. “Kau kenal dia?”

“Sepertinya tidak.” Lolly memperhatikan pria bersosok tinggi gemuk itu.

“Bukan orangtua Anandita? Waktu Anandita mengang­kat barang saat pindah, apa kau tidak melihatnya?” Aku semakin penasaran ingin tahu. Ketika berangkat ke kampus, Anandita selalu pergi sendirian dengan taksi tapi pulang diantar. Sudah dua kali aku melihatnya diantar dua pria yang berbeda.

Bersambung Minggu depan

()

Baca Juga

Rekomendasi