Bencana Alam dan Dampaknya Terhadap Lingkungan

bencana-alam-dan-dampaknya-terhadap-lingkungan

Oleh: James P. Pardede

Erupsi Gunung Sina­bung yang me­nyemburkan debu vulkanik memberi dam­pak multikompleks bagi makhluk hidup di sekitarnya, termasuk lingkungan yang sangat dekat dengan jang­kau­an erupsinya.

Debu vulkanik yang di­semburkan mem­beri dampak tidak hanya pada kese­hatan mahluk hidup karena udara yang ada sudah tercemar de­ngan debu vulkanik, menyi­kapi hal ini seluruh warga yang terdampak erupsi gu­nung ini disarankan untuk menggunakan masker atau penutup hidung.

Masker atau penutup hi­dung paling tidak bisa me­nyaring udara yang kita hirup agar tidak langsung masuk ke dalam paru-paru kita. Saat erupsi dahsyat beberapa wak­tu lalu, debu vulkanik yang turun ke permu­kaan bumi te­lah menelan korban jiwa. Ke­jadian ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat su­paya ke depannya lebih ber­hati-hati.

Dampak lain yang ditim­bulkan erupsi gunung Sina­bung adalah rusaknya berba­gai jenis tanaman dan hewan yang tinggal dikawasan hu­tan yang sangat dekat dengan gu­nung ini. Aktivitas erup­sinya beberapa waktu lalu te­lah mengakibatkan rusaknya ratusan hektar tanaman sayur milik petani yang ada di ba­wah kaki gunung Sinabung

Debu vulkanik dan tum­pahan lahar di­ngin meng­aki­batkan tanah di kawasan kaki Sina­bung sulit diolah kemba­li menjadi la­han penanaman tanaman sayuran. Butuh wak­tu bertahun-tahun agar tanah yang terdam­pak lahar di­ngin ini bisa kembali dita­nami.

Himbauan dari pemerintah juga me­ngajak masyarakat yang dulu memiliki lahan ta­naman sayur di kaki gunung Sina­bung ini untuk tidak kembali menanami lahan­nya sampai ada ijin resmi dari pe­merin­tah yang menyatakan ka­wasan kaki Gunung Sina­bung aman untuk ditanami kembali atau pemukiman di kaki gunung ini bisa didiami kembali.

Pasca erupsi Gunung Si­ba­bung, banyak hal perlu di­be­nahi agar pengulangan erupsi bisa diantisipasi de­ngan baik. Kesalahan penge­lolaan lingkungan juga bisa berpe­ngaruh besar terhadap meningkatnya inten­sitas ben­cana di Indonesia. Karena itu, ba­nyak kalangan meng­ingatkan agar peru­bahan iklim tidak menjadi kambing hitam atas segenap bencana yang terjadi.

Perubahan iklim terjadi sa­ngat lama dan dampaknya juga masih diperdebatkan. Namun, kesalahan pengelo­laan manusia bisa berlang­sung dengan cepat. Dalam se­buah kesempatan, Sutopo me­ngatakan, me­ningkatnya bencana hidrometeorologi di Indonesia karena kombinasi antara perubah­an iklim dan degradasi lingkungan.

Bahkan, penelitian yang di­lakukan di Jawa menemu­kan, faktor degradasi ling­kungan lebih dominan men­ja­di penyebab banjir diban­dingkan perubahan iklim.

Bencana alam lainnya yang juga ber­dampak sangat luar biasa terhadap ling­ku­ng­an di sekitarnya adalah banjir bandang. Banjir bandang yang baru-baru ini melanda beberapa kawasan di Indonesia membuk­tikan ke­la­laian dan kerakusan kita da­lam meng­gerus isi hutan te­lah ber­dampak negatif ter­hadap keberlangsungan makh­luk hidup di sekitarnya.

Banjir bandang telah me­ne­lan banyak kor­ban jiwa, se­lain memberi dampak bu­ruk terhadap lingkungan, ban­jir bandang juga telah mengakibatkan rusaknya infrastruktur seperti jalan dan jembatan, rusaknya pemu­kim­an warga, rusaknya ra­tus­an hektar tanaman horti­kultura termasuk tanaman padi milik warga.

Menyikapi terjadinya ban­jir bandang di beberapa ka­wasan di Indonesia, hal per­tama yang menjadi sorotan adalah masalah rusak­nya hu­tan yang ada di kawasan itu. Banyak kalangan juga me­nyampaikan masukannya agar pemerintah dan masya­rakat benar-benar serius me­nekan angka penebangan hu­tan dan alih fungsi hutan men­jadi kebun kelapa sawit atau peruntukan lainnya.

Laju kerusakan hutan di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan kemampuan pemerintah dalam mereha­bi­litasi lahan. Mi­sal­nya, selama 2003-2006, laju keru­sakan hu­tan 1,17 juta hektar per ta­hun. Sedangkan kemampuan pemerintah dalam mereha­bilitasi hutan dan lahan setiap tahun hanya sekitar 450.000 hektar.

Artinya, terjadi defisit le­bih dari 550.000 hektar per tahun. Terlebih lagi keberha­silan penanaman pohon da­lam rehabilitasi hutan dan la­han tidak mencapai 100 per­sen sehingga degradasinya akan lebih besar.

Dengan laju kerusakan ling­kungan yang terus me­ningkat, diperkirakan, benca­na hidrometeorologi di Indonesia akan terus me­ningkat. Sutopo mengingatkan, ben­ca­na hidrometeorologi tak hanya menyebab­kan korban tewas, tetapi juga mengancam hidup manusia dalam bentuk kegagalan panen. Dampak bu­ruk lainnya adalah mun­culnya berbagai jenis penya­kit karena banyknya ge­nang­an air.

Perubahan iklim yang eks­trem belaka­ngan ini telah me­nyebabkan hilangnya pro­duksi padi di Indonesia pada periode 1981-1990 sekitar 100.000 ton per tahun per kabupaten. Pada kurun 1991-2000 gagal panen meningkat menjadi 300.000 ton. Dira­mal­kan pada tahun 2050 ter­jadi defisit gabah kering se­besar 60 juta ton di Indonesia.

Jika bencana ini tak dian­tisipasi secara menyeluruh, bukan hanya bencana alam yang terjadi, tetapi juga ben­cana sosial. Harus ada per­ubahan fundamental dalam pe­ngelolaan lingkungan.

Gagasan memasukkan muatan penyela­matan ling­kungan dalam pelajaran di se­kolah diharapkan dapat menjadi edukasi bagi gene­rasi muda kita agar mereka memi­liki kepedulian terha­dap lingkungan yang sema­kin rusak.

Upaya penyadaran juga harus dimulai dari sekarang, karena bencana alam sangat erat kaitannya dengan perila­ku dalam menjaga ling­kung­an. Kita harus men­jaga keles­tarian hutan dan aliran sungai agar tetap mengalir dengan tidak mem­buang sampah ke su­ngai.

Hal kecil yang kita laku­kan hari ini, misal­nya mem­buang sampah sembarangan. Secara perlahan namun pasti kebiasaan itu akan diikuti oleh generasi penerus kita.

Jika dari sekarang mena­namkan pola hidup sehat dan bersih dengan menjaga ke­bersihan lingkungan, ke de­pan mereka akan menikmati udara yang bersih, air yang cukup dan hutan yang lestari.

(Penulis adalah tenaga pendidik dan peduli dengan masalah lingkungan)

()

Baca Juga

Rekomendasi