Jalan Terjal Jokowi Membenahi Birokrasi

jalan-terjal-jokowi-membenahi-birokrasi

Oleh: Reinhard Hutapea Kalau bisa dipersulit me­ngapa di­­per­mu­dah, atau kalau bisa diper­lama me­ngapa dipercepat, adalah se­butan, eksis­tensi, sekaligus stigma yang masih melekat pada birokrasi pe­merintah sejak lama hingga saat ini. Stigma buram yang mengemuka karena fungsi yang seharusnya me­layani, mendinamisir, hingga me­motivisir masyarakat, sebagai­mana titah Weber dengan birokrasi “legal-rasionalnya”, berubah arah menjadi melayani biro dan dirinya sendiri.

Para aparatur, birokrat, atau pega­wainya (ASN) cenderung ber­orien­tasi mendongak ke atas (pim­pinan­nya), yang populer dengan sebutan ABS (Asal Bapak Senang) ketim­bang fungsi utamanya sebagai pelayan akar rumput/masyarakat. Prof Dr Suhartono (1994), sejarawan UGM mengibaratkannya sebagai mirip katak, yakni menjilat ke atas, me­nyikut kesamping, dan meng­injak ke bawah.

Masyarakat yang terstruktur se­cara lemah, sebagai implikasinya ti­dak bisa berbuat banyak, selain me­nerima tatanan nan auto pilot, yang tak mengurus hidup warga. Se­mua urusan dikerjakan secara sen­diri. Mau cari segenggam nasi, pa­kai­an, ongkos bepergian, kontrakan ru­mah, nyekolahin anak, berobat dan lain-lain kebutuhan primer, diurus se­cara sendiri. Sangat kontras de­ngan birokrasi negara-negara lain (se­perti Singapura misalnya), yang han­ya angkat telefon saja sudah mem­berikan pelayanan. Atau se­ba­lik­nya jika warga lupa, alpa, hingga lalai terhadap urusan-urusannya, me­reka akan tetap melayani.

Contoh kongkrit misalnya adalah dalam hal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk). Bila KTP warga sudah habis berlakunya, sang warga tersebut menelefon kantor/biro yang ber­­wenang menanganinya, akan lang­­sung diantar ke rumah. Begitu pula sebaliknya, yakni jika warga/kita lupa bahwa KTP kita sudah ha­­bis masa berlakunya, mereka ( bi­ro-kantor tersebut) dengan sendiri­nya akan mengantar penggantinya ke­­rumah. Begitu pula (analog) de­ngan urusan-urusan masyarakat lain­­nya, semua diurus secara cepat dan akurat. Mengapa birokrasi ne­geri ini tidak bisa seperti itu?

Jawabannya tidak hitam putih/se­derhana. Meski era reformasi, yang salah satu tuntutan utamanya adalah merombak tatanan yang ru­sak tersebut (reformasi birokrasi), te­lah berjalan lewat dua dekade, ke­beradaannya nyaris tanpa pe­ru­bahan (kalau bukan lebih buruk). Birokrasi negeri ini, sebagaimana disebut di awal tulisan ini tetap saja dengan ek­sis­tensinya, yakni “jika bisa diper­sulit/diperlama/berbelit-belit, me­ngapa harus dipermudah/diper­cepat/disederhanakan?.

Historisitas Disfungsionalisasi

Pemeo yang terus langgeng meski sudah sekian rezim, penguasa, pe­merintahan yang tampil silih ber­ganti, dan berikrar akan mem­beres­kan, namun sebaliknya yang em­pi­rik. Megawati yang diharapkan da­­pat melakukan perubahan yang sig­­nifikan, tak lebih tak kurang hanya dapat menggerutu, galau, dan mungkin juga sudah apatis, sebab ia nye­rocos birokrasi negeri ini sebagai birokrasi keranjang sampah, tak berintegritas, tak professional, tam­bun, dan lain-lain ejekan yang vul­gar. Dengan kesal hingga ke ubun-ubun, Megawati ngerun­del…Men­teri bisa saya pegang kepala­nya…namun sekjen, dirjen, dan lain-lain unsur birokrasi ke bawah tidak bisa saya pegang…..urainya dengan nada tinggi.

Suatu pengakuan yang fatal, namun itulah faktanya. Fakta betapa menterinya sejujur, sekuat, dan setrampil apapun, dalam kondisi demikian tidak bisa berbuat banyak, karena semua jajaran/eselon diba­wah­nya masihlah warisan birokrasi Orde Baru/Soeharto yang patri­monial (Donald K. Emmerson, 1974), bi­rokratik (Jackson KD, 1978), birokratik-otoriter (Kong DY, 1980). Birokrasi yang sarat de­ngan sebutan Korupsi, Kolusi, dan Ne­potisme (KKN), yang terlembaga sejak Soeharto memimpin kekua­saan-pemerintahan.

Oleh karena itu tidak aneh, jika menterinya ngomong atau instruksi A, yang dijalankan birokrasi, alias Sekjen, Dirjen dan Eselon-Eselon se­lanjutnya ke bawah (hierarkhi) bu­kan A, melainkan yang sudah ter­tradisi sebelumnya. Artinya mereka itu, yakni para birokrat tersebut tetap saja mementaskan KKN, tidak professional, inefisien, inefektifitas, dan kerja yang lelet. Begitu pula de­ngan Menteri yang kelihatan sea­kan- akan kompak dengan Sekjen, Dirjen, dan seterusnya sesungguh­nya hanyalah sandiwara.

Nyatanya mereka jalan sendiri-sendiri. Menterinya kemana, biro­krasinya kemana. Rakyat yang ber­harap karena kepolosannya, hanya terbengong-bengong, mangap-mangap, karena urusannya tertunda-tunda, bertele-tele, dan kerapkali dipersulit, karena birokrasinya ter­paku KKN, mendongak dan menjilat ke atas (ABS), dan tak melayani ke bawah (bottom up/masyarakat).

Korupsi yang sebelumnya (di era Orde Baru/Suharto) masih dibawah meja, kini setelah era reformasi su­dah di atas meja, bahkan mejanya se­kalian turut di sikat. Artinya ko­rup­sinya semakin terbuka, ter­eska­lasi, transparan, dan norak. Amin Rais dengan ngejek menyebutnya sebagai korupsi berjamaah.

Mungkin atas keprihatinan demi­kianlah, Susilo Bambang Yudho­yono (SBY) yang mencalonkan diri seba­gai presiden dalam pilpres 2004 bertekad mengakhirinya. Dengan sangat percaya diri dan super tegas, SBY dan partai Demokrat yang me­ngusungnya memajukan visi, misi, dan program, dengan seuntai kalimat yang indah (bombastis), yakni “katakan tidak pada korupsi”. Se­mua pentolan-pentolan Demokrat dan relawannya diwajibkan menya­takan hal tersebut, yakni tidak pada korupsi.

Bagaimana gebyar, gemerlap, dan garangnya Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Malla­rangeng, Nasaruddin, Choel Malla­rangeng, Jero Watjik, St Bhatugana dan lain-lainnya menguman­dang­kan slogan nan bombastis tersebut (tidak pada korupsi), dapat kita sak­sikan di layar kaca televisi, yang se­tiap saat terus ditayang-iklankan. Ta­yangan yang membuat pemirsa, pe­nonton, atau masyarakat te­r­hip­notis/terkesiap, seolah-olah akan tam­pil era yang bebas dari korupsi, ko­lusi, dan nepotisme (KKN). Be­gitu pula dengan tata kelola peme­rin­tahan yang good governance akan segera mencuat.

Sayang seribu sayang dalam per­jalanannya kemudian, semua sosok-so­sok yang teriak katakan tidak pada korupsi demikian, justru meng­ingkari bulat-bulat apa yang diku­mandangkannya. Dengan menge­naskan mereka terlibat korupsi kelas kakap, sehingga semuanya dige­landang masuk hotel prodeo.

Begitu pula pihak-pihak lain, se­perti/misalnya besannya (Aulia Pohan), Prof Dr Ir Rubi Rubiandini yang mengepalai SKK Migas, yang di­kenal sangat sederhana, dan me­rupakan dosen teladan ITB, Siti Fa­dilah Supajar, Menkes yang dikenal se­bagai orang saleh/baik, dan lain-lain sosok-sosok penting turut melenggang ke hotel prodeo. Sing­katnya reformasi birokrasi yang di­gadang-gadang itu kembali ke titik nadir, kalau bukan melayang ke langit ketujuh.

Jalan Terjal Jokowi

Meski tidak segemerlap kam­panye SBY, Jokowi yang tampil dalam pilpes 2014, dalam visi, misi, dan programnya tetap mengu­ta­ma­kan reformasi birokrasi. Hal ini ter­lihat pada point kedua dan khusus­nya point ke empat Nawa Citanya. Dalam point kedua dengan tegas dikatakan akan dibangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Sedang pada point keempat, juga, dengan tegas dikatakan…menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

Dengan konsisten dan tegar, Jokowi berikhtiar penuh mewujud­kan komitmen demikian. Meski belum significan hasilnya (out put/out come) sudah mulai kelihatan. Paling tidak ASN yang bertugas saat ini tidak bisa lagi santai seperti era-era sebelumnya. Mereka telah di­pacu agar semakin professional-me­ritokratis, disiplin, dan demokratis.

Akan tetapi dibalik sukses story demikan, jalan-jalan terjal masih me­nghadang dengan cadas. Jusuf Kalla menengarai masih banyak Men­teri, Gubernur, dan Bupati/Wali­kota yang melakukan korupsi. Ter­catat 10 Menteri, 20 Gubernur, dan 105 kepala daerah tingkat II yang masuk hotel prodeo (Budiman Tanurejo,K, 8 Agust 2019). Artinya re­formasi birokrasi yang dica­nang­kan sungguh-sungguh melayani masyarakat masih jauh dari harapan.

Mungkin atas dasar konstalasi demikianlah pada tanggal 14 juli yang lalu, yakni sehari setelah ketemu Pra­bowo di atas MRT, Jokowi berpidato berapi-api bahwa ia segera akan membenahi birokrasi yang masih jauh dari harapan. Lebih lengkapnya ia menyatakan…”akan melakukan reformasi struktural agar lembaga lebih sederhana, semakin simpel, semakin lincah. Memangkas pola pikir dan mindset yang tak mau beru­bah. Mendorong kecepatan melayani, memberikan izin, menjadi kunci bagi reformasi. Akan saya cek sendiri, akan saya kontrol sendiri. Begitu saya lihat tidak efisien, atau tidak efektif, saya pastikan saya pangkas, saya copot pejabatnya. Tidak ada lagi pola pikir lama, tidak ada lagi pola pikir linier, tidak ada lagi kerja rutinitas, tidak ada lagi kerja monoton, tidak ada lagi kerja di zona nyaman. Harus berubah. Kita harus membangun nilai-nilai baru…urainya bersemangat

Suatu pidato yang hebat, yang re­volusioner, yang memotivasi, namun harus dipahami secara realistis, sebab penyakit birokrasi yang fenomenal dewasa ini sudah lama, kronis, dan latent. Penyakit yang tidak saja struk­tural, namun juga kultural, dalam artian model yang diterapkan saat ini, yakni yang didasarkan kepada konsepnya Weber yang legal-rasional, yang hierarkhis, spesialisasi, formalisasi, dan impersonal, plus kultur masyarakatnya yang masih paternalistic/feudal tidak akan melahir­kan birokrasi yang mela­yani. Malah, sebaliknya ia akan mele­satkan peri­laku yang menjilat ke atas, menyikut ke samping, dan menginjak kebawah. Mirip katak sebagaimana ditengarai Prof Suhar­tono. Disini inti masalahnya.

Masalah yang tak sederhana, rumit, dan cadas, yang membutuhkan waktu yang lama dalam penyelesaiannya, serta kiat yang sungguh-sungguh jitu, rasional, dan inovatif, yang tak mung­kin selesai dalam satu periode kepe­mimpinan presi­den. Jalan kesana ma­sih cukup terjal semo­ga Jokowi dapat menakhodainya. ***

Staf pengajar Fisipol UDA Medan & Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI.

()

Baca Juga

Rekomendasi