Oleh: Andil Siregar. Pada tanggal 31 Juli 2019 yang lalu, Presiden Joko Widodo mengakhiri kunjunganya di Sumatera Utara dengan meninjau lahan pertanian yang dikembangkan di desa Parsingguran, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada kesempatan itu Presiden mencoba jeruk dan meninjau pembudidayaan bawang putih. Melihat kunjungan presiden ini, saya yang kebetulan salah satu putra Pollung, teringat akan kegelisahan saya disana pada bulan Januari yang lalu saat pulang kampung.
Kegelisahan saya saat itu, ketika melihat para petani yang disana didominasi para kaum tua. Diantara teman-teman saya sekolah di SMA Negeri 1 Pollung hampir semuanya merantau. Jadi sangat sedikit kita temui kaum muda atau milenial yang tinggal dan bertani di disana. Barangkali bukan di desa saya saja yang seperti itu. Hal yang sama juga saya rasa tentu terjadi di desa-desa lain di penjuru Indonesia. Kaum muda atau milenial kebanyakan akan merantau ke kota hingga tinggalah desa hanya ditinggali kaum tua. Menjadi pertanyaan sekarang mengapa kaum milenial tidak mau kembali kedesa untuk bertani? Benarkah bertani tidak menarik lagi bagi kaum milenial kita?
Sebelum menjawabnya mari kita lihat riset yang dilakukan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) 2015. Disana dinyatakan Indonesia sedang berada dalam kondisi krisis regenerasi petani. Selaras dengan riset tadi, gambaran yang dihimpun oleh Sensus Pertanian BPS 2018 juga menujukkan bahwa jumlah petani Indonesia menurun 1,1 % setiap tahunya. Angkatan 45 tahun keatas berada 70 %. Hal ini juga diperburuk oleh berbagai alih fungsi lahan pada industri manufaktur dan properti yang kian marak terjadi.
Berkaca pada data tadi, kita dapat melihat bahwasanya tren pertanian semakin ditinggalkan oleh kaum milenial. Sekiranya terus menerus petani menurun 1,1 % tiap tahunnya, bukankah kita perlahan-lahan sudah menuju krisis pangan? Pada tahun 2045, kita rencanakan akan menuju generasi emas, masihkah banyak petani? Atau jangan-jangan di masa itu kita jadi pengimpor hasil pertanian?
Jika jumlah petani setiap tahunnya tergerus berarti kelak masa depan pertanian kita terancam. Kaum melenial sekarang yang kita harapkan kelak menjadi petani sepertinya tidak tertarik dengan profesi tersebut. Profesi yang lain jauh lebih menarik bagi mereka daripada sebagai petani. Imbasnya pada masa yang akan datang ketersedian pangan kita akan rapuh.
Banyaknya generasi petani, tentu harus sebanding dengan jumlah ketersedian pangan kita. Dimasa yang akan datang penduduk kita pasti bertambah, otomatis membutuhkan ketersedian pangan yang banyak juga. Sementara populasi kita bertambah, ketersedian lahan dan jumlah pemuda yang menjadi petani kita justru sebaliknya. Gejala ini sudah benar-benar terlihat. Ini terafirmasikan dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 tercatat 7,1 juta hektare (ha). Luasan itu menurun jika dibandingkan tahun 2017, yakni seluas 7,75 juta ha.
Tidak Mau Bertani?
Tentu kita membutuhkan peran generasi milenial untuk ambil bagian meneruskan ketahanan pangan kita. Generasi milenial kita harus ambil bagian disana dan ikut menyelesaikan persoalan yang akan tiba nantinya. Akan tetapi mari kita lihat, generasi milenial kita sangat sedikit yang ingin menjadi petani. Lantas, mengapa generasi milenial kita tidak tertarik menjadi bertani? Pertama, karena anggapan yang umum bagi kaum milenial bahwasanya profesi petani adalah kurang bergengsi untuk disampaikan sebagai profesinya.
Kedua, kaum muda banyak beranggapan bahwasanya petani tidak memberikan jaminan finansial dan kepastian. Dalam data BPS 2017, misalnya, disebutkan bahwa indeks yang diterima petani hanya sebesar 127,96. Bandingkan dengan indeks yang harus dibayar: sebesar 131,37. Petani benar-benar dirugikan. Mereka rugi secara tenaga, rugi pula secara materi. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian pemerintah.
Kemana Sarjana Pertanian?
Bahkan yang lebih memprihatikan, generasi muda yang mengambil jurusan pertanian di perguruan tinggi kebanyakan bekerja diluar lingkup pertanian. Menyikapinya saya teringat dengan sindiran Paulo Coelho : “Agar bisa bisa menanjak di dunia ini, kau harus menjadi sarjana. Dan begitulah ceritanya sehingga dunia kehilangan banyak petani.” Iya, sarjana pertanian sekalipun sudah ragu menjadi petani, bagaimana pula dengan generasi milenial yang lain? Untuk apa jurusan pertanian dibuka banyak-banyak, jika pada akhirnya mereka juga tidak ikut terjun menyelesaikan persoalan-persoalan pertanian di negeri kita ini?
Lantas mengapa banyak para sarjana pertanian tadi tidak ikut serta ambil bagian dalam mengembangkan pertanian kita? Jawabanya akan kembali pada masalah yang sampaikan diatas. Pemerintah, Perguruan Tinggi yang membuka jurusan pertanian belum berhasil memberikan gambaran yang jelas akan masa depan profesi pertanian kepada kaum muda. Generasi muda kita tentu berhak akan penghasilan yang layak. Hal inilah yang membuat mereka yang beralih, profesi petani belum menjanjikan bagi masa depannya.
Untuk melihatnya, mari kita periksa kembali data dari BPS dan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis). Di sana disebutkan bahwa pertumbuhan harga beras periode 2007-2016 mencapai angka 124,2 persen. Sementara harga gabah kering giling hasil panen hanya 99,6 dan 99,2 persen. Maka, kita tak perlu terkejut lagi jika generasi muda kita ogah bertani. Betapa tidak, menurut Arif Budimanta, pendapatan mereka hanya kisaran Rp438.125,00-Rp692.563,00. Jikalau anda diminta untuk bertani, maukah anda hidup dengan pendapatan sebesar itu?
Bagaimana Menyikapinya?
Lantas bagaimana kita menyikapinya? Apa solusi yang bisa kita tawarkan? Tentu kita harus menuntaskan dua masalah tadi terlebih dahulu. Menaikkan nilai tawar dari profesi petani serta memastikan bahwa profesi itu tidak minim finansial. Jika kita lihat sesungguhnya peluang profesi pertanian di Indonesia cukup menjanjikan mengingat lahan yang masih cukup luas dan subur menjadikan kita negara agraris. Coba bandingkan dengan Israel yang negaranya kecil dan diantara padang gurun tetapi pertaniannya sangat bagus.
Israel adalah Negara yang Berada di Timur Tengah dan dikelilingi oleh 22 Negara Arab. Luas negara Israel yang hanya seluas empat kali Pulau Bali ini, memiliki geografi lahan padang pasir nan tandus. Tetapi, mengapa mereka bisa menjadi penjual buah-buahan dan sayur-sayuran terbesar keempat di dunia? Seharusnya peluang itu lebih tepat dialamatkan pada bangsa kita mengingat tanah kita subur dan lebih luas. Akan tetapi nyatanya tidak demikian bukan?
Untuk menutaskan masalah tadi, langkah pertama yang kita lakukan adalah dengan memperbaiki sistem pengelolaan pertanian kita. Sistem pengelolaan pertanian ini harus siap menyongsong masa bonus demografi kita. Sistem ini haruslah terkoneksi dengan dengan lembaga-lembaga riset dan universitas-universitas yang memiliki fakultas pertanian. Walaupun kita tak berhubungan diplomatik dengan Israel, bolehlah kita mencontoh cara mereka dalam bertani.
Israel memiliki salah satu organisasi riset di bidang pertanian yang disebut ARO (Agricultural Research Organization). Lembaga inilah yang betul-betul membenahi pertanian mereka. Di Dalam ARO ada 6 Lembaga. Yang Terdiri dari Ahli Bibit Tanaman Unggul dan Hewan, Ahli Perlindungan Tanaman, Ahli Tanah, Ahli Air, Ahli Ilmu Lingkungan dan Ahli Teknik Teknologi Pertanian. Selain ARO. Sebenarnya ada Juga Beberapa Ahli lainnya. Yaitu Ahli Unit Komputer Khusus Tanaman, Ahli BioFilter, Ahli Genomics, Ahli Bio Informatika, dan masih banyak lagi.
Kedepan kita berharap ada lembaga seperti ARO tadi di negeri kita. Lembaga ini, bisa saja berada dibawah naungan langsung Kementerian Pertanian. Lembaga ini nantinya kita harapkan terkoneksi dengan universitas-universitas yang memiliki jurusan pertanian, LIPI, para petani dan pelaku industri pertanian. Sehingga dengan adanya lembaga ini, kedepan dapat dirumuskan dan dihasilkan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat guna.
Hidupkan Kembali KUD
Langkah kedua menurut saya yang dapat kita lakukan adalah memperbaiki proses pemasaran hasil pertanian kita. Barangkali salah satu contoh yang bisa dibuat adalah dengan menghidupkan dan mengoptimalkan kembali Koperasi Unit Desa (KUD). Masing-masing KUD ini kita harapkan kedepan terkoneksi dengan Kementrian Pertanian, pengolahan industri makanan dan pihak terkait. Sehingga produk-produk pertanian yang ada di KUD dapat di akomodir oleh para pelaku industri pertanian.
Dengan adanya KUD ini, jatuhnya harga produk pertanian di pasar dapat di tekan karena sudah diakomodir oleh pemerintah dan pelaku industri pertanian. Sebagai contoh ketika panen padi tiba, pemerintah sudah menugaskan Bulog untuk mengkondisikan hasil panen untuk diakmodir oleh bulog. Sehingga secara tak langsung KUD nantinya dapat menjadi lumbung-lumbung beras yang sudah terdistribusi di setiap daerah. Bulog nanti tinggal mendiskusikan pemerataanya. Demikian halnya dengan produk hasil pertanian lainya bisa disesuaikan dengan-dengan pihak terkait melalui KUD tadi.
Selain itu, KUD nantinya bisa menjadi wadah para petani untuk bertukar pikiran, mencari solusi akan masalah pertanian dan juga membantu penyedian modal usaha pertanian. Disana mereka dapat mendapatkan pinjaman ringan dan kepastian akan penjualan hasil pertanian karena sudah terintegrasi dengan lembaga dan Industri pertanian tadi. Dengan demikian tidak lagi semua generasi muda berbondong-bondong ke kota mencari pekerjaan, akan tetapi kita harapkan sebaliknya, bahwasanya desa juga menjanjikan serta mampu menyerap tenaga kerja.
Semoga pengembangan program-program pertanian kita kedepanya dapat lebih menyentuh kaum milenial. Sehingga nantinya mereka dapat tertarik menjadi petani. Kita butuh kaum milenial untuk ambil bagian untuk mengembangkan pertanian kita. Karena apabila semua petani kita sudah pergi, dan kaum milenial tidak ambil bagian, darimana lagi kita akan mendapatkan pangan? Mari kita jawab dalam hati kita masing-masing. ***
Penulis adalah, pendidik di SMP -SMA Budi Murni 3 Medan (YPK Don Bosco KAM) , Pengajar di Ganesa Operation dan Pegiat Literasi Toba Writers Forum (TWF).