Tragedi Hong Kong

tragedi-hong-kong

PERSERIKATAN Bangsa Bangsa (PBB) akhirnya ikut cam­pur juga dalam kisruh demonstrasi di Hong Kong. Melalui Komisaris Tinggi untuk Hak Azasi Ma­nusia, PBB mendesak Hong Kong untuk menahan diri dalam menangani aksi demo tersebut. Tak cuma itu, badan PBB itu juga menyerukan investigasi atas ke­kerasan yang terjadi di bekas koloni Inggris itu. Mun­culnya seruan ini merupakan ‘tam­pa­ran kecil’ bagi otoritas Hong Kong maupun pemerintah Tiong­kok di Bejing, apalagi dibarengi dengan seruan inves­ti­gasi, yang menunjukkan telah terjadi kesalahan pro­sedur dalam penanganan aksi unjuk rasa. Meski de­mikian, me­ngi­ngat posisi Tiongkok saat ini, seruan PBB itu tidak akan mempengaruhi sikap serta rencana lanjutan Beijing terhadap aksi demo ini maupun masa depan Hong Kong secara keseluruhan.

 Dalam pernyataannya, Ketua Komisaris Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet, mendesak otoritas Hong Kong un­tuk mengedepan­kan dialog dengan para pengunjuk rasa. Ia juga meminta apa­­­rat ke­a­ma­nan untuk melakukan tindakan yang terukur dan pro­­porsional untuk menjamin hak-hak war­ga Hong Kong dalam menyatakan pendapat terpenuhi dan dila­kukan secara damai. Dalam pernyataan tersebut, PBB tak menyinggung sedikitpun pemerintah Tiong­kok, tapi hanya menyebut: Otoritas Hong Kong. Pa­da­hal kalau kita cer­mati lebih jauh, langkah PBB untuk mulai ikut campur dalam kisruh ini sebenarnya ditu­jukan ke Beijing. Masyarakat dunia memang telah me­­lihat dengan jelas bahwa Beijing tengah bersiap un­tuk terjun langsung mengatasi aksi unjuk rasa yang terus berlarut di wilayahnya itu. Dalam beberapa pe­­­­kan terakhir, media-media pemerintah Beijing mu­lai aktif mempropagandakan sikap Beijing dalam me­­man­dang aksi demo tersebut. Beijing menyebut aksi itu sebagai ‘tindakan terorisme’ yang disponsori AS dan Taiwan. Sebagai unjuk kekuatan, polisi para­mi­­liter Tiongkok melakukan latihan besar-besaran di wila­­yah Shenzhen, yang berbatasan dengan Hong Kong. Pengerahan massal polisi paramiliter ini diliput luas media Tiongkok, jelas merupakan ancaman ter­­selubung bagi aktivis Hong Kong bahwa Beijing siap bergerak.

Tragedi Tiananmen, peristiwa saat militer Tiongkok se­­cara brutal menumpas aksi unjuk rasa pro-de­mokrasi di Beijing, kini benar-benar membayang di Hong Kong. PBB menyadari betul akan hal ini se­hingga mencoba untuk memperingatkan Beijing se­cara tidak langsung melalui kecamannya kepada oto­ritas Hong Kong. Tapi pemerintah ko­munis Tiong­kok juga telah menyadari betul bahwa pemerintah asing dan badan-badan internasioanal akan bereaksi, sehingga jauh-jauh hari sebelumnya telah meng­ingat­kan bahwa persoalan Hong Kong adalah per­soalan dalam negeri Tiongkok dan mendesak pihak luar untuk tidak ikut campur dalam persoalan tersebut. Tiongkok juga dengan tegas mengatakan bahwa penanganan atas aksi unjuk rasa di Hong Kong akan dilakukan dengan ‘cara’ Tiongkok berdasaran aturan dan UU Tiongkok, bukan standar negara mana pun.

Tiongkok sangat percaya diri dalam kasus ini. Beijing me­­­ngetahui bahwa mereka berada di atas angin. Masyarakat in­­ternasional termasuk badan-ba­dan internasional seperti PBB hanya mampu me­ngeluarkan kecaman semata, tak lebih dari itu. Dewan Keamanan PBB tak mungkin men­ja­tuhkan sanksi sebab Tiongkok termasuk salah satu negara is­­timewa yang memiliki hak veto di dewan tersebut. Beijing juga yakin tak banyak negara dunia yang akan menjatuhkan sanksi secara individual. Mungkin hanya AS sajalah yang akan bersikap keras, negara lain termasuk Eropa dan Jepang, yang biasanya menjadi sekutu utama AS, akan berpikir keras untuk men­ja­tuhkan sanksi berat mengingat kepentingan ekonomi mereka dengan Tiongkok. Rusia serta negar­a-negara Arab, kelompok yang juga tak kalah penting di pang­gung global, justru sebaliknya akan diam atau bahkan mendukung langkah-langkah Beijing.

Dengan kondisi global seperti ini, maka bayang-bayang tra­­gedi Tiananmen kemungkinan tidak akan menjadi bayang-ba­yang semata. Sebagai warga yang biasa menikmati kebe­ba­san di era Inggris, kelompok pro-demokrasi Hong Kong adalah ‘hard-liner’ dalam bertindak. Mereka berani mela­ku­kan hal-hal beresiko, saat ini mereka tunjukkan dengan meng­­gelar aksi demonstrasi berpekan-pekan termasuk dengan memblokir bandara udara. Di sisi lain, ada Tiongkok, se­buah negara yang tak mengenal dan tak mengakui apa yang disebut demokrasi itu. Kemajuan ekonomi dan militer, te­lah membuat Tiongkok ‘pongah’. Memberangus kelompok pro-demokrasi secara brutal, seperti aksi di Tiananmen, bukan lah hal yang tabu.

()

Baca Juga

Rekomendasi