Skizofrenia dan Keinginan Bunuh Diri

skizofrenia-dan-keinginan-bunuh-diri

Oleh: Poltak MS. Penyakit skizofrenia adalah gangguan mental kronis dan parah yang memengaruhi bagaimana seseorang berpikir, merasakan (berempati) dan berperilaku. Orang dengan skizofrenia mungkin tampak seperti telah kehilangan kontak dengan realitas.

Skizofrenia adalah gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku.

Hal ini merupakan gejala dari psikosis, yaitu kondisi di mana penderitanya kesulitan membedakan kenyataan dengan pikirannya sendiri. Skizofrenia sering disamakan dengan psikosis, padahal keduanya berbeda. Psikosis hanya salah satu gejala dari beberapa gangguan mental, di antaranya skizofrenia.

Skizofrenia biasanya dimulai pada akhir masa remaja atau dewasa awal, antara usia 16 sampai 30 tahun. Setiap orang berisiko untuk mengalami skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan mental yang paling umum ditemukan secara global.

Menurut WHO, penyakit skizofrenia diidap oleh lebih dari 21 juta orang dari berbagai belahan dunia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, sekitar 1 dari 1000 orang Indonesia terdiagnosis skizofrenia.

Berdasarkan WHO, diperkirakan lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia menderita skizofrenia. Penderita skizofrenia juga berisiko 2-3 kali lebih tinggi mengalami kematian di usia muda. Di samping itu, setengah penderita skizofrenia diketahui juga menderita gangguan mental lain, seperti penyalahgunaan NAPZA, depresi, dan gangguan kecemasan.

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, diperkirakan 1-2 orang tiap 1.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, termasuk skizofrenia, dan hampir 15 persen penderitanya mengalami pemasungan. (halodokter, 2019)

Skizofrenia, seperti banyak gangguan mental lainnya, bisa diobati. Meskipun hingga saat ini belum ditemukan obat untuk skizofrenia, namun terapi berupa perawatan psikososial atau rehabilitasi yang efektif membuat pasien skizofrenik bisa memiliki kehidupan yang produktif, sukses, dan mandiri.

Dengan obat yang tepat dan terapi, sekitar 25% dari orang-orang dengan penyakit ini akan sembuh sepenuhnya. Beberapa terapi psikososial yang dapat bermanfaat bagi pasien skizofrenik di antaranya adalah: terapi keluarga, pengobatan komunitas asertif, dukungan pekerjaan, remediasi kognitif, pelatihan keterampilan, terapi perilaku kognitif (CBT), intervensi modifikasi perilaku, dan intervensi psikososial untuk penggunaan zat, dan pengaturan berat badan.

Keinginan Bunuh Diri

Skizofrenia adalah suatu penyakit kronis. Dalam perjalanan skizofrenia, dijumpai beberapa kondisi yang dapat mempengaruhinya, antara lain depresi dan keinginan bunuh diri yang kuat. Prevalensi depresi pada penderita skizofrenia adalah 25 persen.

Penderita skizofrenia punyai risiko lebih besar untuk bunuh diri dibandingkan dengan masyarakat umum. Bunuh diri pada penderita skizofrenia merupakan urutan terbesar ketiga setelah gangguan afektif (30 sampai 90 persen) dan gangguan penyalahgunaan narkotika (20 sampai 60 persen).

Sebuah penelitian menyebut, 10 sampai 30 persen penderita skizofrenia melakukan tindakan bunuh diri, dan diduga sebanyak 18 sampai 55 persen penderita skizofrenia pernah merencanakan bunuh diri.

Bunuh diri pada penderita skizofrenia umumnya lebih banyak tejadi pada laki-laki, kelompok usia produktif, tidak menikah, tidak bekerja, serta berasal dari tingkat sosio-ekonomi menengah ke bawah, mempunyai intelegensia yang cukup, sebelum sakit mempunyai status sosial yang baik dan menyadari ia telah menderita dan mengalami penurunan kemampuan fungsional.

Risiko bunuh diri akan semakin tinggi bila disertai dengan gangguan kepribadian yang lain (impulsif, agresif, dan mempunyai kemampuan yang rendah dalam menangani masalah). Berdasarkan lamanya sakit, umumnya bunuh diri pada penderita skizofrenia terjadi 5 sampai 10 tahun setelah diketahui menderita skizofrenia.

Bunuh diri pada penderita skizofrenia dapat merupakan akibat dari gejala-gejala skizofrenianya sendiri. Seperti adanya halusinasi pendengaran yang memerintah penderita melakukan bunuh diri, terganggu oleh halusinasi atau karena depresi yang dalam.

Orang berusia muda pun bisa terkena skizofrenia. Dan keinginan bunuh diri bisa saja diungkapkannya pada orang terdekatnya atau sahabat akrabnya. Penyebabnya bisa macam-macam. Mungkin karena isi halusinasi pendengaran yang selalu mengejek, membuatnya tertekan. Keyakinan bahwa orang tua tidak menyayanginya lagi membuat dirinya merasa tak berguna lagi.

Penderita skizofrenia benar-benar menyadari bahwa penyakitnya itu sukar disembuhkan yang membuatnya putus asa. Ia menyadari bahwa semua keinginan dan cita-citanya sudah kandas ketika penyakit itu datang.

Adanya kesadaran diri yang tinggi dan stres emosional yang menetap akibat melihat keberhasilan saudara dan teman-temannya, dapat mencetuskan depresi berulang yang mendorong melakukan percobaan bunuh diri.

Penderita skizofrenia di tengah rasa keputus-asaannya yang tinggi merasa bahwa bunuh diri adalah satu-satunya jalan keluar mengatasi segala permasalahan hidupnya. Jika keinginan itu semakin kuat menyerang, maka tindakan bunuh diri tinggal menunggu waktu saja.

Pencegahan usaha bunuh diri pada seorang penderita skizofrenia sulit dilakukan karena tindakan dan perilaku seorang penderita skizofrenia seringkali sulit ditebak dan impulsif. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi para petugas medis, anggota keluarga, dan teman penderita skizofrenia untuk mengetahui beberapa faktor resiko terjadinya usaha bunuh diri dan situasi lingkungan seperti apa yang seringkali ditemui saat usaha bunuh diri dilakukan.

Penderita skizofrenia yang lemah secara sosio-ekonomi biasanya beban psikologisnya akan semakin bertambah karena merasa berat untuk membiayai pengobatan penyakit yang dideritanya. Biaya perawatan dan pengobatan untuk penderita skozofrenia kronis masih sering menjadi masalah besar di negeri ini.

Para anggota keluarga dari penderita skizofrenia yang tak mampu membiayai pengobatan saudaranya pun biasanya hanya bisa pasrah dan harus waspada 24 jam untuk mengawasi si penderita dari percobaan bunuh diri yang bisa saja muncul kapan saja.

Dijamin BPJS

Kesehatan jiwa masih dipandang sebelah mata. Masyarakat masih menganggap remeh dan mengabaikan penyakit ini. Akibatnya, mereka enggan memeriksakannya secara medis. Padahal, kesehatan jiwa sama halnya dengan kesehatan fisik secara umum. Jika tak ditangani dengan baik, keduanya sama-sama bisa mengancam keselamatan jiwa.

Sekecil apa pun gangguan mental yang dialami, pemeriksaan medis harus dilakukan meski biaya yang dibutuhkan tak sedikit. Sayang, tak banyak yang menyadari bahwa gangguan kesehatan jiwa telah diakomodasi dalam layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Dalam beleid Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan JKN, tercantum indikasi medis dan diagnosis terkait penyakit kesehatan jiwa seperti depresi, gangguan kepribadian, kontrol impuls, gangguan bipolar, skizofrenia, dan penyakit mental lainnya.

Skema klaim BPJS Kesehatan juga disebut tak berbeda dengan kesehatan fisik secara umum. Semua setara mau rumah sakit jiwa atau rumah sakit apa pun, asal sesuai regulasi saja. Tercatat, BPJS Kesehatan mengeluarkan dana sebesar Rp730 miliar pada 2016 untuk penyakit yang tergolong dalam gangguan jiwa.

Dana ini terbagi atas Rp 455 miliar untuk rawat inap dan Rp 275 miliar untuk rawat jalan. Penyakit paranoid skizofernia merupakan kasus yang paling banyak ditangani untuk rawat inap dan rawat jalan.

Pasien skizofrenia, misalnya, yang tergolong sebagai gangguan jiwa berat. Dalam faktanya di lapangan, pasien skizofrenia membutuhkan pengobatan dan perawatan seumur hidup. Pasien atau keluarga pasien mesti mengurus perpanjangan surat rujukan untuk mendapatkan pertanggungjawaban BPJS Kesehatan setiap beberapa bulan.

Meski prosedur yang harus dilalui berbelit dan berat, namun masyarakat yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia setidaknya bebannya sudah terbantu dengan bantuan dari pemerintah ini. Jadi, tidak ada alasan bagi penderita skizofrenia untuk tidak berobat.

()

Baca Juga

Rekomendasi