Kapan Kita Akan Merdeka?

kapan-kita-akan-merdeka

Oleh: Jan Roi A Sinaga.

Kemerdekaan nasional adalah bukan pencapaian akhir. Tapi rakyat bebas berkarya, adalah pencapaian puncaknya” (Sutan Syahrir, politisi dan Perdana Menteri Pertama Indonesia).

Secara defacto dan dejure, bangsa Indonesia telah merdeka pada saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta. Dan pada tahun ini, bangsa Indonesia memperingati HUT ke-74 Kemerdekaan Indonesia, pe­ringa­tan sebagai bangsa yang ter­lepas dari penjajahan, dan sejarah per­juangan kemerdekaan yang he­roik itu. Karena itulah, setiap tang­gal 17 Agustus, segenap bangsa Indonesia akan memperingati hari Kemerdekaan Indonesia, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya.

74 tahun sudah, Indonesia berdiri sebagai bangsa yang mandiri. Sudah ada 7 presiden yang silih berganti me­mimpin bangsa ini, dengan seg­ala lika-liku perjalanan menuju bang­sa yang maju, adil, dan mak­mur seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pro­gres pembangunan pun ter­golong pesat, meski pemerataan masih menjadi permasalahan serius di seluruh nusantara untuk segera diwujudkan, yang juga menjadi amanat sila ke-5 Pancasila.

Perlahan tapi pasti, Indonesia menuju ke arah kemajuan yang dicita-citakan bersama oleh seluruh rakyatnya. Perdebatan politik, itu menjadi hal lumrah di sebuah negara yang merdeka dan menganut sistem demokrasi. Saling rebut ke­kua­saan, adalah hal biasa bagi me­reka yang memiliki potensi, ka­pa­sitas dan kapabilitas dalam mem­bawa arah bangsa menuju gerbang kemakmuran, asal tidak me­nyim­pang dari jalur dan mengor­bankan rakyat Indonesia demi kepentingan pribadi dan golongan.

Dan benar, sudah 74 tahun kita merdeka sebagai sebuah negara, yang diakui oleh dunia interna­sional. Ditandai dengan upacara dan perayaan hingga perlombaan, selu­ruh rakyat pun ikut larut dalam kegembiraan. Akan tetapi, sudahkah rakyat Indonesia benar-benar “mer­deka” di negaranya sendiri yang sudah merdeka ini?

Merdeka dalam Berkarya

Merdeka dalam KBBI sejatinya bebas, tidak terbelenggu, tidak dijajah atau diperbudak, dan man­diri. Tetapi pada kenyataannya, kebebasan yang merupakan bagian dari kata merdeka tidak benar-benar bebas bagi sebagian masyarakat Indo­nesia. Kalimat “Yang merdeka, ber­satu, berdaulat, adil dan mak­mur” masih sebatas tertulis di dalam pembukaan UUD 1945, dan belum mampu kita aplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan negara.

Progres menuju adil dan makmur memang terus diperjuangkan, meski menemui hambatan yang begitu besar. Pemerintahan yang trans­paran, keadilan sosial yang merata diseluruh bangsa, pemerataan pem­bangunan dan pendidikan, dan peningkatan ekonomi masyarakat terus dikebut demi mencapai tujuan bangsa, sebagai bangsa yang ber­daulat, adil dan makmur.

Akan tetapi, ada satu hal yang belum benar-benar sepenuhnya merdeka di negara kita ini. Yakni kebebasan berkarya dan beragama.

Beberapa waktu yang lalu, Ke­pala Desa Meunasah Rayeuk, Keca­ma­tan Nisam, Aceh Utara, Munir­wan yang juga sebagai direktur PT Bumides Nisam ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Aceh, karena mengembangkan dan menjual bibit padi IF8 tanpa label. Munirwan dan petani di desanya berusaha “me­ngembangkan” benih padi unggul IF8 karena hasil yang maksimal setelah berhasil pada penanaman pertama sebagai pilot project lewat bantuan yang diserahkan Gubernur Irwandi Yusuf kala itu.

Hanya karena belum disertifikasi dan memiliki label, Munirwan ha­rus berurusan dengan hukum. Meski banyak LBH dan NGO HAM yang siap membantu kasus Munirwan, kasus ini tentu saja sebagai gam­baran di mana kebebasan berkarya bagi anak bangsa, masih terkurung di negeri ini. Padahal, Dinas Perta­nian dan Perkebunan Aceh bisa saja memberi penghargaan kepada Mu­nir­­wan karena bisa mengem­bang­kan be­nih unggul, guna kepentingan rakyat desanya secara khusus, Aceh dan Indonesia secara umum. Tetapi, kenapa malah dipidanakan? Apakah karena tidak paham aturan ad­ministrasi yang berlaku? Bukankah pembinaan lebih mulia daripada pemidanaan ?

Bukan hanya Munirwan, ada banyak kasus lain yang membuat puluhan atau mungkin ratusan anak bangsa ini lebih memilih luar negeri sebagai tempatnya berkarya. Ala­san­­nya beragam, mulai dari bea­sis­wa, kualitas pendidikan dan pene­litian, serta penghargaan ne­gara dimana mereka tinggal atas hasil karyanya berbeda, dibanding­kan dengan di Indonesia.

Dokter Terawan menjadi salah satu bukti, bagaimana bangsa kita belum mampu menghargai karya anak bangsa sendiri. Teori “cuci otak” atau Digital Substraction Angiography (DSA) yang dia kem­bangkan disinyalir mampu meng­hilangkan penyumbatan di otak, yang bisa menyembuhkan penderita struk. Tetapi, Ikatan Dokter Indonesia melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)- nya ber­kata bahwa dr Terawan telah me­lang­gar etik kedokteran, dan seba­gai sanksinya beliau dipecat dari IDI dan mencabut izin prakteknya.

Tetapi, tahukah kita bahwa be­berapa rumah sakit di Jerman malah me­ngundang dr Terawan untuk bekerja sama dalam riset lanjutan ten­tang teori DSA yang beliau kembangkan?

Begitu banyaknya hasil karya anak bangsa, yang belum mampu kita hargai dan kembangkan lebih lan­jut secara bersama-sama. Dan hal ini, membuat negara kita tetap saja tertinggal satu bahkan dua langkah dari negara lain, yang lebih perduli tentang perkembangan dunia penelitian serta penemuan-penemuan baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Sudah saatnya, kita merdeka dalam berkarya, tanpa ada todongan pidana dan perdata. Tetapi saling rangkul dalam pengembangannya, untuk mewujudkan amanah UUD 1945 dan semangat kemerdekaan bangsa Indonesia.

Merdeka dalam Beragama

Pasal 28 E ayat 2 dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menjamin kebe­ba­san setiap warga negara Indonesia untuk beragama, beribadah dan berke­yakinan. Jika diterjemahkan se­cara gamblang, artinya rakyat In­do­nesia bebas memeluk agama ma­na­pun, kepercayaan apapun, be­bas beribadah dan mendirikan rumah ibadah-nya di manapun di Indonesia ini. Bagaimana dengan faktanya saat ini?

Secara perlahan, para penganut kepercayaan di Indonesia yang telah berjuang selama puluhan tahun guna mendapatkan pengakuan dari pemerintah, menemui titik terang. Bahkan baru-baru ini, pemerintah menandatangani PP nomor 40 tahun 2019 yang mengatur tentang penca­tatan pernikahan para penganut kepercayaan. Dan para penganut kepercayaan pun sudah mulai dite­rima ditengah-tengah masyarakat Indonesia, dan mulai bisa dilam­pirkan pada KTP dengan narasi “Penganut Kepercayaan terhadap Tuhan YME”.

Tetapi, bagaimana dengan kebe­basan beribadah dan mendirikan ru­mah ibadah? Beberapa waktu yang lalu, viral kabar tentang Bupati Ban­tul yang mencabut Izin IMB Gereja Pentakosta. Karena itu, umat Gereja Pentakosta terpaksa menum­pang untuk beribadah di Gereja Kris­ten Jawa. Penolakan pem­ba­ngu­nan pura, vihara dan sejumlah ru­mah ibadah lainnya, kerap men­jadi headline media nasional di Indonesia.

Di mana momok dari masalah ini, ada pada SKB 2 menteri yang ditandatangani pada tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah. Poin yang menjadi penyebab su­litnya beberapa kelompok agama mendirikan rumah ibadah adalah persyaratan yang ditetapkan, yakni agar bisa mendirikan rumah ibadah, harus memiliki pengguna sebanyak 90 orang dibuktikan dengan KTP dan KK. Dan, harus didukung masyarakat setempat, setidaknya 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa setempat.

Dengan alasan inilah, para pe­nganut agama minoritas sangat kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah di daerah yang dihuni oleh agama dengan kelompok mayoritas. Se­hingga, penolakan terhadap pem­bangunan rumah ibadah di suatu tempat, jamak terjadi di negeri ini.

Kebebasan beragama dan beri­badah masih menjadi kendala di ne­gara kita yang sudah merdeka lebih dari setengah abad ini. Desa­kan untuk mencabut SKB dua menteri ini pun telah berulang kali di gaungkan, namun pada kenya­taan­nya masih digunakan sebagai 'sen­jata' untuk menekan agama lain da­lam mendirikan tempat ibadah nya.

Negara kita memang sudah mer­deka dari penjajahan, tetapi rakyat­nya masih terjajah oleh sejumlah kepentingan. Negara kita memang sudah merdeka dan berhak me­ngatur diri sendiri, tetap rakyatnya masih terbelenggu dan tidak bisa merdeka untuk beragama dan ber­iba­dah dengan nyaman. Lantas, Ka­pan kita akan Merdeka sepenuhnya?

Soekarno pernah berpesan; per­juangan­ku akan lebih mudah karena mengusir penjajah. Namun per­juanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Se­moga kelak, rakyat Indonesia bisa merdeka seutuhnya. Dirgahayu Republik Indonesia !

Penulis pemerhati sosial, pendidikan dan budaya.

()

Baca Juga

Rekomendasi