Setelah 74 Tahun Kita Merdeka

setelah-74-tahun-kita-merdeka

Oleh: Firman Situmeang.

Pada 17 Agustus 1945, di Pe­­gang­­­saan Timur, Soe­karno, mem­pro­k­lamirkan kemerdekaan Indonesia setelah hampir 3,5 abad menjadi bulan-bulanan para pen­jajah. Dan tahun ini negara Indonesia genap berusia 74 tahun. Keber­hasilan para founding father me­rebut kemer­dekaan dari penjajah bu­kanlah akhir dari perjuangan bangsa ini. Seperti kata Soekarno, “Revolusi belum se­lesai”. Generasi hari ini punya tang­gung jawab untuk mewujud­nya­takan cita-cita kemerdekaan yang di­impikan para pendiri bang­sa. Se­lama cita-cita kemerdekaan belum tercapai, maka Indonesia belumlah benar-benar merdeka.

Realitas bernegara Indonesia hari ini menunjukkan bahwa cita-cita kemerdekaan pendiri bangsa belum terwujud. Kemerdekaan yang diraih bangsa ini hanya ber­sifat hukum (de jure) atau saya me­nyebutnya sebagai pseudo-kemer­dekaan. Sedangkan secara de facto, Indonesia belum benar-benar mer­de­ka. Menurut KBBI, merdeka adalah bebas, dari penjajahan, ber­diri sendiri, tidak terikat, tidak ber­gantung pada pihak lain. Namun kon­disi sebaliknya malah terjadi di ne­geri ini. Korupsi, kemiskinan, peng­angguran, ketimpangan hu­kum, dan ketergantungan akan ba­rang impor menjadi peman­dangan lazim di pelupuk mata.

Hegemoni Asing

Bangsa Indonesia hari ini tengah terjangkit virus “hegemoni asing”. Entah itu ekonomi, politik, maupun sosial budaya, telah terkontaminasi oleh pangaruh asing. Di sektor eko­nomi, misalnya, Indonesia tercatat se­bagai negara yang lebih banyak me­­ngimpor dibandingkan meng­eks­por. Buruknya lagi ekspor yang dila­kukan bukan berupa barang jadi, na­mun barang mentah berupa keka­yaan alam, seperti hasil tambang, per­kebunan, kayu, maupun pe­rikanan.

Posisi Indonesia sebagai negeri pengimpor jelas sangat bertolak belakang dengan kekayaan yang dimiliki negara ini. Dengan SDA yang melimpah harusnya Indonesia cukup mengimpor barang yang ba­han bakunya tidak ada di tanah air. Namun akibat ketidakmampuan Indo­nesia untuk mengolah ke­kaya­an alam­nya, maka pengelolaan SDA pada akhirnya dikuasai oleh asing. Indonesia pun terjebak dalam budaya impor yang membuat utang Indonesia ada di mana-mana. Al­hasil ketergantungan akan negara lain membuat Indonesia bisa didikte oleh negara pengutang. Keman­dirian ekonomi Indonesia pun akhirnya benar-benar terpenjara.

Di sektor politik kondisi yang sama juga terjadi. Berdaulat dalam politik artinya bangsa Indonesia bebas menentukan dan meru­mus­kan sendiri ideologi politiknya tanpa didikte oleh ideologi kanan (kapitalisme), kiri (komunisme) maupun ideologi lainnya. Namun ke­daulatan ini kini tengah dikebiri, dan diaduk-aduk oleh berbagai ideologi yang membuat Indonesia me­ngalami kegaduhan politik yang parah. Indonesia hari ini sangat permisif dengan kapitalisme, kolo­nialisme, imperialisme, dan neo­kolonialisme yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan ideologi Pan­casila. Banyak kebijakan politik pe­me­rintah yang justru membuat bang­sa terpecah belah, diskri­minatif, memiskinkan, dan merusak jati diri bangsa.

Contohnya saja, kebijakan peme­rintah dalam sektor pertambangan cenderung eksploitatif yang mem­buat masyarakat di sekitar pertam­ba­ngan miskin dan terbuang dari tem­pat tinggalnya. Masyarakat lo­kal menjadi budak dan kuli asing di tanahnya sendiri. Memang tidak da­pat dipungkiri bahwa terpasung­nya kedaulatan Indonesia tidak ter­lepas dari utang yang membuat ne­geri ini bisa didikte secara politik oleh ne­gara pengutang. Namun untuk men­capai kemerdekaan 100%, maka alasan itu tidak dapat diterima.

Kondisi di bidang sosial-budaya tidak kalah memprihatinkan. Ma­sya­rakat Indonesia hari ini benar-benar telah dirasuki oleh budaya yang berasal dari luar. Salah satunya budaya konsumsi yang membuat hingga hari ini Indonesia terjebak dalam ketidakmandirian dan penja­jahan asing. Mengutip Alvin Toe­fler, masyarakat Indonesia adalah “masyarakat pembuang” yakni masyarakat yang hanya bisa meng­konsumsi tanpa mampu mencipta. Bermental pengemis (mendicancy) seperti yang dikatakan Soekarno. Masyarakat menjadi tidak kreatif dan hanya meminta-minta akan barang baru. Jebakan konsumsi bukan hanya terjadi pada produk barang, namun juga seni, gaya berpakaian, maupun bahasa.

Masyarakat selalu mem­posisi­kan budaya asing sebagai budaya ti­nggi dan budaya lokal sebagai bu­daya rendah. Alhasil lama-kela­ma­an budaya dalam negeri mulai ter­kikis oleh budaya asing. Budaya asli se­lalu dicap sebagai kolot, tra­di­sio­nal, primitif. Hanya budaya barat­lah yang dianggap sebagai mo­dern. Ma­syarakat bangga atas bu­daya asing namun malu akan budaya­nya sendiri.

Merdeka 100%

Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satupun negara di dunia ini yang dapat hidup sendiri ter­masuk Indonesia. Namun bukan berarti Indonesia hidup dalam keter­gan­tungan akut apalagi sampai ter­he­gemoni oleh negara asing. Seperti kata bapak republik, Tan Malaka, Indonesia harus merdeka 100%. Arti­nya Indonesia harus berdaulat atas dirinya sendiri, entah itu SDA mapun SDM-nya, entah itu pe­me­rintahnya maupun ma­syara­kat­nya.

Ada 3 cita-cita kemerdekaan yang harus diwujudnyatakan seba­gai prasyarat kemerdekaan yang hakiki. Pertama, berdaulat secara politik. Untuk menjadi bangsa yang merdeka maka bidang politik harus mampu berdaulat. Di era peme­rintahan Soekarno Indonesia pernah menjadi poros perpolitikan inter­nasional dengan politik bebas-aktifnya, di mana Indonesia bebas menentukan mana negara yang bisa bekerja sama dengannya dan aktif dalam merespons berbagai kejadian Internasional. Salah satunya dengan menggagas politik nonblok. Kedau­latan politik yang demikianlah yang harus diwujudnyatakan pemerintah. Indonesia harus mampu mele­pas­kan diri dari intervensi asing. Entah itu dalam politik dalam negeri maupun politik luar negerinya.

Kedua, berdikari secara eko­nomi. Untuk bisa berdikari secara ekonomi, maka Indonesia harus mampu mengelola segala kekayaan yang dimilikinya secara mandiri, guna merevolusi kebijakan ekspor menjadi barang jadi. Dengan jum­lah penduduk yang begitu besar dan ke­mampuan generasi muda yang begitu mumpuni, hal ini bukanlah hal yang mustahil. Tinggal bagai­mana pemerintah bisa menunjuk­kan ketegasannya terhadap inter­vensi asing. Salah satunya dengan be­rani melakukan nasionalisasi ter­hadap perusahaan-perusahaan swas­ta (asing) yang selama ini me­ngelola SDA kita, khususnya yang menyangkut harkat hidup masya­rakat umum. Jika Indonesia bisa mengurangi impor dan mem­per­banyak ekspor maka bukan hanya utang saja yang berkurang na­mun para pengusaha kecil (UMKM) bisa berdaulat di negerinya sendiri.

Ketiga, berkepribadian secara sosial-budaya. Untuk bisa me­wujud­nyatakan kedaulatan eko­momi dan politik maka kedaulatan budaya harus tercapai terlebih da­hulu, harga mati. Kalau kita me­nelusuri ideologi Pancasila yang menjadi pedoman dalam bidang Politik-ekonomi sejatinya tereje­wan­tahkan dari nilai-nilai budaya asli Indonesia. Artinya sebelum kita mendudukkan kembali budaya asli maka kemerdekaan hanya tinggal mimpi belaka.

Berdaulat secara sosial-budaya bukan berarti kita menjadi sovinis yang menolak semua yang berasal dari luar. Budaya yang baik monggo kita konsumsi. tapi budaya yang berpotensi merusak jati diri bangsa harus kita tolak. Untuk itu maka kebanggaan akan budaya Indonesia harus ditumbuhkembangkan kem­bali. Di sini peran keluarga menjadi sangat penting. Para orangtua harus membumikan kembali semangat kreatifitas, gotong royong, keju­juran, dan ke-Indonesiaan kepada anak-anaknya sejak dini. Dengan demikian maka budaya berupa mental pengemis dan penjajah bisa dibumihanguskan dan kemerdekaan 100% bisa diraih.***

Penulis adalah Pengamat Sosio-Politik dan Pegiat Literasi di Toba Writers Forum (TWF).

()

Baca Juga

Rekomendasi