Urgensi MPR dan Penguatan DPD

urgensi-mpr-dan-penguatan-dpd

Oleh : Nehru Asyikin,SH.,MH.

Lembaga Majelis Per­musya­waratan Rak­yat adalah lem­baga yang per­tama ter­tulis di dalam UUD dan merupakan penjelmaan dari sistem perwakilan di Indonesia yang di isi oleh DPR dan DPD. Se­bagai lembaga yang memiliki we­we­nang dalam mem­bahas sistem keta­ta­negaraan Indonesia tentu saja tidak lepas dengan tangan-tangan partai yang ingin mendudukinya.

Kesibukan para elit-elit politik tidak ber­henti pada saat perebutan kursi Men­teri saja, ternyata masih ada kursi kosong yang masih belum terisi dan masih ada ta­hapan pemilihan pimpinan MPR.Kursi MPR tidak serta merta hanya bisa di du­duki oleh partai-partai koalisi saja, akan tetapi partai opisisi pun tentu ber­ke­­inginan untuk ikut berkompetisi men­du­duki jabatan negara sebagai pimpinan MPR.

Pasalnya, dijelaskan jika bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi dan/atau kelompok anggota. Dalam sistem po­litik demokrasi keterlibatan partai me­miliki peran dalam menentukan hu­bu­ngan antara pemerintah dengan lembaga per­wakilan sehingga pola se­perti ini dapat mengontrol peme­rin­tahan tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh pe­merintah apabila seluruh fraksi di parle­men dapat dikendalikan. Karena hubu­ngan tersebut dan terdapat banyak­nya par­tai yang ma­suk ke parlemen tidak me­nampikkan apa­bila ada persaingan da­lam perebutan kur­si jabatan-jabatan strategis salah satunya dalam mengusung pimpinan MPR.

Meskipun kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi di Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat telah di­ubah, UUD masih memberikan ke­we­nangan yang cukup besar diantara­nya MPR berwenang mengubah dan mene­tap­­kan Undang-Undang Dasar. Fungsi me­ngubah dan menetapkan UUD penulis memahami jika frasa mengubah berarti ada fungsi legislasi sehingga sebetulnya pada amandemen yang dilakukan empat tahap dari tahun 1999 yang lalu belum dikatakan sempurna.

Artinya MPR menyadari apabila kons­titusi Indonesia masih bersifat sementara dan perlu ada perubahan, penambahan maupun penghapusan di dalam materi muatan.

Kemana Arah MPR?

Sejatinya yang menentukan arah MPR adalah anggota-anggota perwakilan politik di DPR dan perwakilan daerah di DPD. Perwakilan tersebut berfungsi se­ba­gai pelaksana kedaulatan rakyat karena keduanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu.

Founding fathers telah sepakat apabila negara ini memiliki lembaga-lembaga per­wakilan rakyat sebagai cita-cita ber­sama membangun bangsa, seperti Mu­ham­mad Yamin dan Soepomo yang hampir memiliki pandangan yang sama me­ngenai keberadaan MPR sebagai pen­jelmaan rakyat yang memegang kedau­latan negara yang diduduki wakil daerah dan wakil golongan.

Sebagai lembaga yang pernah menjadi lem­baga tertinggi negara yang men­ja­lankan kedaulatan rakyat pada masanya. Ba­gir manan mengungkapkan gagasan me­niadakan kedudukan MPR sebagai lem­baga tertinggi negara secara konsep ingin menegaskan, MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat.

Setelah reformasi keberadaan MPR dapat dikatakan hanya lembaga sepi yang ra­mai saat ada agenda tertentu. Hal ini dapat dibaca pada Pasal 2 ayat (2) UUD men­jelaskan jika MPR bersidang sedi­kitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara, atau melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Meskipun ada agen­da lain yaitu memberhentikan presiden dan mengubah UUD yang sepertinya agenda tersebut akan sulit terjadi.

Setelah amandemen, MPR kehilangan kewenangan untuk menentukan jalannya roda pemerintahan oleh presiden, sebab GBHN sudah ditiadakan dan digantikan dengan RPJM (Rancangan Pembangu­nan Jangka Menengah) yang dibahas oleh DPR dan Presiden saja. Dengan kata lain, pembahasan tersebut juga tidak di­ikuti oleh DPD. Dengan demikian ka­rena tidak adanya legitimasi dari MPR perihal rancangan program yang diajukan presiden mengenai disetujui atau ditolak maka pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya akan menjadi bahan sidang MPR selanjutnya.

Hanya saja karena DPR ikut mem­ba­has maka sekaligus melakukan pe­ngawasan kinerja pemerintah. Namun de­mikian jika isu GBHN dimunculkan kem­bali beberapa pakar hukum tata ne­gara tidak begitu sependapat, sebab sis­tem pemerintahan presidensial yang saat ini sedang dalam tahapan penguatan dapat berbenturan dengan GBHN yang memberikan kewenangan MPR untuk meminta pertanggung jawaban presiden.

Berkaca pada penelitian Mei Susanto, membuktikan GBHN tidak selalu bertentangan dengan sistem presidensil dengan cara menempatkannya dalam konstitusi. Bentuk hukum GBHN dalam kontitusi membuat perencanaan pem­bangunan nasional tidak menjadi domain presiden saja tetapi hasil kesepakatan bersama sesuai dnegan basis sosial masyarakat Indonesia yang majemuk. Pelanggaran GBHN tidak dapat ber­implikasi pada pemberhentian Presiden, karena GBHN masih bersifat panduan yang mengikat secara moral.

Selanjutnya dalam wilayah pranata hukum untuk mengevaluasi pelanggaran GBHN dapat melalui MPR dengan me­merin­tahkan DPR untuk menggu­nakan hak budget parlemen secara efektif atau MK melalui judicial review. Oleh karena itu kedudukan MPR dalam melakukan penetapan pokok-pokok masalah yang mengatur tujuan bernegara dirasa masing penting sehingga kebijakan pemerintah da­pat terukur sesuai agenda pem­ba­ngu­nan bangsa. Meskipun MPR pernah dicap sebagai lembaga paling berkuasa di Indonesia namun beberapa kewenangan se­perti menghilangkan GBHN dirasa kurang tepat. Terlepas bahwa pada masa lalu MPR dimanfaatkan oleh kekuasaan absolut tetapi berkaca pada pembangunan yang berimbas kepada kesejahteraan rakyat tentu menjadi tujuan bersama.

Solusi Penguatan DPD

MPR setelah amandemen dirumuskan menjadi wadah dua lembaga tinggi ne­gara, yaitu DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia dan DUD (Dewan Utusan Daerah) atau dikenal sekarang DPD yakni mewakili seluruh kepentingan di daerah-daerah. DPD sendiri merupakan perwu­judan dari utusan daerah provinsi yang ber­arti membawa visi dan misi tersendiri untuk membangun daerah. Hal ini dijelaskan di dalam makna Majelis Per­musyawaratan Rakyat terdapat makna yang diartikan oleh founding fathers ialah permusyawaratan rakyat.

Kata permusyawaratan rakyat ber­mak­na, segala kepentingan sejatinya untuk rakyat yang dimusyawarahkan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana ke­­du­dukan MPR tercermin di dalam ground norm atau Pancasila sila ke-4, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hik­mat kebijaksanaan dalam permusya­waratan perwakilan. Jadi secara tidak lang­sung karena anggota MPR dipilih melalui pemilihan umum maka lembaga ini penyambung lidah rakyat untuk mewakili aspirasi-aspirasi tersebut

Sama halnya dengan lembaga per­wakilan lainnya meskipun MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara namun ke­daulatan rakyat tetap melekat dan dija­lankan sebagai fungsi lembaga ini karena anggotanya berasal dari DPR dan DPD.

Setelah perubahan politik pasca orde baru, DPD termasuk bagian dari MPR, namun demikian timbul pertanyaan kedudukan perwakilan di daerah dan golongan ini apakah memiliki wewenang yang sama saat duduk di MPR. Soal ke­wenangannya sebagai perwakilan rakyat di daerah-daerah, DPD tidak memiliki kewe­nangan secara penuh seperti saudaranya yaitu DPR. DPD hanya diberikan hak me­ngusulkan Rancangan Un­dang-Undang (RUU) sebatas pemekaran dan pengga­bungan daerah, serta terkait sumber daya alam yang ada di daerah, jadi dapat disim­pulkan bahwa DPD tidak memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang.

Kewenangan DPD tidak sepenuhnya dikatakan seba­gai lembaga legislatif, maka memang harus ada peru­bahan UUD kelima dengan agenda, pertama DPD dibe­rikan kewenangan mem­bentuk undang-undang se­perti DPR terkait usulan peme­karan dan peng­ga­bungan daerah rancangan undang-undang terutama terkait sumber daya alam di daerah, kedua DPD dibe­rikan kewenangan untuk bisa mem­bahas bersama DPR mengenai rancangan un­dang-undang.

Wewenang untuk mengu­bah dan menetapkan UUD ada di tangan MPR, dengan begitu pembahasan menge­nai kekuasaan DPD seperti dijelaskan di atas menjadi seimbang dengan DPR. Di sisi lain kewe­nangan DPD tidak di anak tirikan. Sebagai contoh, RUU yang dianggap penting bagi daerah kemu­dian telah disetujui DPD tetapi pada tahapan pem­bahasan RUU ternyata ditol­ak DPR maka dianggap RUU tersebut ditolak. Dengan demikian, DPD yang mem­bawa kepen­tingan-kepen­tingan daerah terutama yang berkaitan dengan kesejah­teraan ma­syarakat di daerah akhirnya tertunda. ***

Penulis adalah, peneliti Pusat Kajian Hak Asasi Manusia dan Pelayanan Publik Aksa Bumi Yogyakarta.

()

Baca Juga

Rekomendasi