Tantangan Heterogenitas Sumut

tantangan-heterogenitas-sumut

Oleh: Jonathan Manullang. Pada pertengahan Januari silam, IDN Research Institute merilis hasil survei terhadap lebih dari 1.400 anak muda generasi milenial (kelompok umur 20-35 tahun) di sepuluh kota besar Indonesia, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak, Balikpapan, Den­pasar, Mataram, Manado, dan Makassar. Kompi­lasi lengkapnya kemudian terangkum dalam se­buah paket laporan berjudul Indonesia Millennial Report (IMR) 2019.

IMR 2019 cukup bernilai krusial sebagai per­siapan menjelang momentum periode bonus de­mo­grafi nasional yang akan dimulai tahun depan dan diperkirakan berlangsung hingga tahun 2035. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pemba­ngu­nan Nasional (Bappenas), terdapat sekitar 63 juta anak muda yang termasuk dalam kategori mile­nial. Individu-individu tersebut tengah menikmati dan akan mencapai puncak masa produktif mereka dalam satu dekade ke depan.

Pemerintah menyadari bahwa besarnya kuan­titas generasi milenial merupakan peluang emas se­kaligus tantangan bagi Indonesia, terutama da­lam konteks pemenuhan target menembus status negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045. Bila target tersebut terpenuhi, niscaya taraf hidup ma­syarakat akan meningkat sembari membawa Indo­nesia berdiri sejajar dengan negara-negara maju dalam bidang kemakmuran ekonomi.

Namun IMR juga mencatat gejala mengkha­wa­tirkan pada aspek keagamaan, nilai, dan tradisi. Sekitar 19,5% responden mendukung penerapan sistem khilafah sebagai bentuk negara ideal bagi Indonesia.

Setelah ditelaah lebih lanjut, potensi pandangan sedemikian rupa terdapat pada kala­ngan milenial senior (28-35 tahun) serta sebagian besar perem­puan.

Di sisi lain, 22,4% responden menyatakan tidak mendukung pemimpin nonmuslim. Jika kita la­kukan pendedahan berdasarkan usia, maka kelom­pok milenial junior (20-27 tahun) relatif lebih tole­ran terhadap kandidat pemimpin nonmuslim dari­pada kaum milenial senior. Statistik tersebut me­ng­indikasikan kemungkinan persepsi keagamaan kaum milenial senior lebih konservatif diban­ding­kan milenial junior.

Ragam statistika yang tersaji dalam IMR 2019 merupakan bentuk rujukan berharga bagi peme­taan generasi milenial urban di Indonesia, apalagi ia turut mencakup geliat anak muda di Kota Me­dan. Lalu bagaimana dengan Sumatera Utara seca­ra keseluruhan?

Pembelahan Sosial

Pada Pilpres 2014, pasangan Jokowi-JK men­dominasi perolehan suara di 20 kabupaten/kota, di mana mayoritas berasal dari kawasan pantai ba­rat. Sebaliknya, pasangan Prabowo-Hatta unggul di 13 kabupaten/kota yang notabene terpusat di kawasan pantai timur.

Garis demarkasi imajiner antara pantai barat dan pantai timur kian kentara pada perhelatan Pilgub Sumut 2018. Kandidat terpilih, yakni Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah memenangi 17 kabu­paten/kota (semuanya berada di kawasan pantai timur) sementara pasangan calon Djarot-Sihar men­jadi jawara 16 kabupaten/kota di kawasan pan­tai barat.

Penyelenggaraan pemilu serentak perdana yang baru saja usai menunjukkan bahwa calon presiden petahana kembali memenangkan kontestasi di Sumatera Utara walau dengan margin elektoral yang kian menipis dibanding tahun 2014. Di sini tipologi pemilih kembali terbelah dalam pola nya­ris serupa: Jokowi lagi-lagi unggul di pantai barat, kantong suara non-Muslim, dan mayoritas suku Batak. Sementara Prabowo mengokupasi pantai timur, basis Islam, serta sebagian besar etnis Me­layu.

Fakta lapangan sedemikian membuat kalangan pengamat politik dan para analis lembaga survei mengajukan tesis bahwa rangkaian kontestasi poli­tik di Sumatera Utara beberapa tahun belakangan mereplikasi (dan bahkan mengamplifikasi) gejala sektarian yang lebih dulu populer ke seantero ne­geri lewat Pilkada DKI 2017.

Penggunaan narasi ‘kita vs mereka’, mobilisasi massa berbasis aga­ma, serta berbagai kampanye negatif kian rutin mengisi ruang publik masyarakat Sumut.

Dampak sosial yang muncul sebagai akibat dari polarisasi tersebut sedikit banyak mampu kita la­cak dari tendensi intoleransi yang terekam media-media arus utama, seperti kasus penistaan aga­ma oleh Ibu Meiliana di Tanjung Balai.

Mungkin lebih banyak lagi contoh kasus yang belum atau gagal tercium ke publik namun sering lalu-lalang dalam keseharian kita masing-masing. Poltik iden­titas tentu berkontribusi memperparah kondisi itu.

Lantas setelah kita mendedah ciri-ciri pembela­han sosial terkini serta mulai memahami akar ma­salahnya, apa yang dapat kita perbuat secara kolek­tif selaku warga Sumut guna memperbaiki kekis­ru­han tersebut?

Sadar Kemajemukan

Menilik data Setara Institute pada akhir tahun 2018, beberapa kota di Sumut tergolong dalam indeks toleran tinggi, yaitu Pematang Siantar de­ngan nilai 6,28; Binjai dengan angka 5,83; serta Sibolga dengan nilai 5,51. Namun ada pula kota yang tercatat pada deretan indeks toleran rendah, yakni Medan dengan nilai 3,71 dan Tanjung Balai dengan angka 2,81.

Data tersebut tentu dapat dikritisi lebih lanjut, namun fenomena yang terangkum di dalamnya men­gindikasikan sebuah perubahan mencolok da­lam ekosistem sosial Sumut. Pembelahan berbasis suku dan agama akibat penggunaan politik iden­titas secara massif pada serangkaian pesta demo­krasi terakhir jelas berkorelasi dengan fluktuasi ka­dar intoleran yang cenderung meningkat.

Peran pemerintah jelas paling mengemuka guna mengembalikan kesadaran kolektif atas sifat hete­rogen masyarakat Sumatera Utara. Mendorong inovasi sistem pendidikan yang bertumpu pada prin­sip moderat dan empatik seraya membangun partisipasi politik rasional ke depan merupakan dua pekerjaan rumah yang amat mendesak untuk segera dilakukan. Perwujudan ekosistem sosial yang bersifat inklusif adalah hal mutlak demi me­ngikis bibit-bibit pandangan sektarian sembari pe­lan-pelan menghapus garis demarkasi imajiner antara pantai barat dan pantai timur sebelum per­tentangan narasi sosiologis antara keduanya sema­kin meruncing.

Inilah ragam tantangan bagi sifat heterogenitas Sumatera Utara yang akan datang. Secara geo­grafis, wilayah Sumut diapit Aceh dan Sumatera Barat, sepasang provinsi yang terkenal memegang teguh nilai tradisional serta terafiliasi pada satu aga­ma tertentu akibat struktur masyarakatnya yang cenderung homogen.

Akankah di masa depan Su­mut kian terbawa ke arah konservatif atau justru berhasil menjaga ke­khasan ciri heterogennya? Apa­kah Sumut mam­pu bangkit menjadi daerah yang menularkan teladan positif terkait budaya hidup berdampingan secara majemuk?

Rasanya belum pernah slogan Bhinneka Tung­gal Ika terasa sepenting ini guna menuntaskan da­haga yang dialami Sumatera Utara seperti seka­rang. Sebagai sebuah provinsi yang pernah terke­nal sangat indonesianis, Sumut perlu kembali meng­gali akar pemikiran luhur Pancasila lantas mengaplikasikannya ke dalam tatanan ekosistem sosial bersama.

Penulis anggota Jaringan Gusdurian.

()

Baca Juga

Rekomendasi