
Oleh: Sagita Purnomo. Pembangunan sarana dan prasarana menjadi hal yang sangat penting bagi kota metropolitan seperti Medan. Oleh karenanya, pembangunan harus dilaksanakan dengan kajian matang, efektif dan terukur sesuai daya tampung serta daya dukung wilayah tersebut. Jangan sampai pembangunan dilaksanakan untuk sekadar memenuhi hasrat pejabat tanpa memikirkan pangkal dan ujungnya. Secara teori, setiap pembangunan harus memberi manfaat bagi masyarakat luas, namun realitanya tak jarang pembangunan justru tidak memberi manfaat apapun alias hanya menghambur-hamburkan anggaran saja. Hal itu terjadi dikarenakan apa yang dibangun tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau daerah itu.
Contoh nyata proyek pembangunan tanpa manfaat (unfaedah) di Kota Medan dapat dijumpai pada proyek sky bridge yang menghubungkan Lapangan Merdeka dengan Stasiun KAI-Medan, yang selesai dibangun Desember 2014. Sampai saat ini proyek dengan anggaran sebesar Rp 35 miliar tersebut tidak memberi manfaat apapun bagi warga kota karena tak kunjung difungsikan dan terbengkalai.
Pembangunan jembatan penyeberangan orang (JPO) di sejumlah titik juga tidak kalah mengenaskan. Mayoritas masyarakat Kota Medan enggan menggunakan JPO dan tetap memilih untuk menyeberang jalan sembarangan. JPO justru beralih fungsi menjadi medium reklame liar tak berizin dan banyak pula JPO yang rusak, keropos dan bahkan ada bagian besi (anak tangga) dicuri oleh oknum tak bertanggung jawab.
Proyek bus Trans Medan yang sempat heboh di 2013 saat ini hanya menyisihkan puing-puing halte bus saja. Busnya tak terealisasi, halte yang telah dibangun justru rusak dan beralih fungsi menjadi tempat berjualan atau hunian sementara kaum jalanan. Banyaknya proyek pembangunan yang terbengkalai dan tidak bermanfaat seakan mencerminkan rendahnya kualitas dan kemampuan para pejabat dalam menjalankan tupoksinya. Sungguh sangat disayangkan uang rakyat terbuang percuma untuk mendanai pembangunan yang tiada guna.
Terus Dibiarkan
Setelah pembangunannya rampung di penghujung tahun 2014, sampai saat ini belum jelas kapan sky bridge akan dioperasikan. Karena terus ditelantarkan begitu saja tanpa adanya penjagaan, banyak komponen sky bridge tersebut yang rusak dan dicuri. Plafon/atap yang jebol, lantai keramik dan dinding kaca yang pecah, serta hilangnya sejumlah tiang/baut besi. Sudah banyak suara yang mendesak Pemko Medan agar segera memfungsikan bangunan ini, namun sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda atau tindakan apapun.
Sekretaris Komisi D DPRD Medan, Ilhamsyah, mengatakan bahwa terbengkalainya sky bridge karena Pemko Medan dan PT KAI masih sama-sama menunggu. “PT KAI menunggu kesiapan Pemko Medan untuk membuka dan mengoperasikan sky bridge. Sedangkan Pemko Medan menunggu PT KAI menyelesaikan proyek double track,” ujarnya.
Menurut dia, walau masih menunggu Pemko Medan tetap harus melakukan perawatan terhadap proyek ini. Jangan sampai sky bridge terlalu lama dibiarkan terbengkalai seperti sekarang. Ia meminta masyarakat untuk mendukung program Pemko Medan ini, termasuk parkir sky bridge yang telah dibuka. Artinya, masyarakat jangan ada lagi parkir kendaraan di depan stasiun.
“Paling tidak ada perawatanlah, jangan dibiarkan seperti itu. Jadi, nanti ketika PT KAI sudah selesai maka tinggal dipergunakan saja. Jangan pula seolah-olah dibuat baru lagi. Kita berharap ada keterbukaan Pemko Medan dalam persoalan ini. Bahkan, kalau bisa gandeng pihak ketiga (swasta) untuk membuat lahan parkir baru di bawah Lapangan Merdeka (basement). Jadi, digali lalu dibuat parkir seperti di Malaysia. Apabila bisa terwujud, tentu semakin modern Kota Medan ini nantinya,” tuturnya. (sentralberita.com)
Senasib
Banyaknya proyek pembangunan yang terbengkalai dan rusak semakin jelas menunjukkan bahwa para pejabat di kota ini memang tidak memiliki kepedulian akan aset-aset kota. Selain sky bridge dan beberapa proyek yang penulis jelaskan di atas, juga terdapat sejumlah pembangunan yang tak bermanfaat lainnya. Sebut saja pembangunan kanal banjir di Titi Kuning. Proyek yang diharapkan mampu mengatasi masalah banjir di Kota Medan ini belum memberi manfaat berarti dalam pengendalian banjir kota. Di kawasan jalan sekitar jalan seperti Jalan Katamso (kampung baru), STM, Marendal dan Johor, apabila memasuki musim penghujan menjadi langganan banjir dengan tingkat genangan air yang cukup tinggi. Kanal yang tadinya ditujukan untuk mengendalikan banjir, malah justru beralih fungsi menjadi tempat pembuangan sampah dan mengembala ternak.
“Sangat disayangkan, kanal yang dibangun dengan dana ratusan miliar, malah jadi proyek sia-sia. Padahal dibangun untuk mencegah banjir di Kota Medan. Tapi ternyata, air tergenang tidak mengalir di kanal. Kita jadi tak mengerti, bagaimana studi banding mereka dulunya,” kata anggota Komisi IV DPRD Kota Medan, Hendra DS. (jurnalpolisi.com)
Selain kanal, instalasi Alat Ukur Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) untuk mengukur kualitas udara sejak tahun 2012, saat ini kondisinya banyak yang rusak dan tidak berfungsi. Seperti ISPU di persimpangan pos polisi lalu lintas Jalan Pemuda, di persimpangan Jalan Mongonsidi, Kawasan Industri Medan, Pinang Baris, Jalan Patimura (persisnya di simpang Jalan Jamin Ginting). Menanggapi kondisi tersebut, Anggota DPRD Medan, Rajuddin Sagala, sangat menyayangkan banyaknya ISPU yang dibiarkan tak berfungsi atau rusak. Padahal, alat tersebut diyakini sangat berguna bagi masyarakat agar bisa mengetahui secara langsung tingkat pencemaran udara yang sedang terjadi.
Selain itu, alat tersebut juga dapat menjadi salah satu indikator untuk melihat kinerja Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Medan dalam penanganan pencemaran udara khususnya. Alat ukur tersebut merupakan hibah yang diperoleh Pemko Medan. Hanya saja, diduga hibah tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan tentang pemeliharaan dan perbaikan. “Tetapi bukan berarti alat itu dibiarkan tak berfungsi. Harusnya DLH bisa menganggarkan untuk memperbaiki itu agar hibah alat itu tidak sia-sia dan mubazir,” jelasnya (medanbisnisdaily.com)
Terlepas apapun kondisi dan masalahnya, Pemko Medan bersama dengan pihak terkait lainya harus segera berkoordinasi demi menyelesaikan berbagai problem tersebut. Menyandang status sebagai kota metropolitan, harusnya diiringi dengan peningkatan sarana dan prasarana pendukung aktivitas warga kota, bukan sebaliknya. Jangan sampai proyek pembangunan yang telah menelan anggaran besar itu justru semakin menjadi beban atau menimbulkan masalah baru akibat penelantaran aset. Semoga ke depan tidak ada lagi uang rakyat yang terbuang percuma hanya untuk pembangunan tanpa manfaat. ***
Penulis adalah Alumni UMSU.