Belajar Sistem Mitigasi Bencana Jepang

belajar-sistem-mitigasi-bencana-jepang

Oleh: Putra Kaslin Hutabarat, M.Pd. Indonesia merupakan negara yang sangat rawan akan bencana alam. Dikenal dengan negara yang memiliki pusat patahan lempeng (tektotik) dan cincin api/aktivitas gunung merapi (vulkanik) serta intensitas kegempaan yang cukup tinggi. Hal ini dike­mu­kakan langsung oleh PBB secara resmi sejak terjadinya Tsunami besar yang melanda Aceh pada 26 Desember tahun 2004.

Pernyataan ini disebutkan langsung oleh PPB melalui Strategi Inter­na­sional Pengurangan Resiko Bencana (UN-ISDR). Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Ma­sya­rakat Badan Nasional Penang­gulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho Indonesia menduduki pe­ring­­kat tertinggi untuk bencana Tsu­nami, gempa, tanah longsor dan gunung merapi ditambah lagi dengan jumlah penduduk yang banyak sangat rawan memakan korban.

Menurut Penelitian Arnold (1987) se­orang berkebangsaan Amerika, mem­buat suatu penelitian tentang geo­grafis Indonesia. Secara geografis In­­­do­nesia merupakan negara ke­pu­la­uan terletak pada pertemuan empat lem­­­peng tektonik yaitu lempeng Be­nua Asia, Australia, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Selain itu, ba­gian selatan dan timur Indonesia ter­da­pat sabuk vulkanik yang me­man­jang hampir seluruh daratan Su­matera, Jawa-Nusa Tenggara, Sula­wesi. Bah­k­an Arnol menegaskan Indonesia me­miliki tingkat kegem­paan 10 kali lipat di­bandingkan de­ngan Amerika Serikat.

Dengan melihat posisi Indonesia yang kurang aman secara geografis ini menyebabkan bencana datang silih berganti, mulai dari longsong, banjir, Tsunami, Gempa hingga aktivitas vulkanik gunung merapi yang selalu mengancam kehidupan manusia. Peran negara amatlah penting untuk setidaknya mengantisipasi penangan bencana alam yang kapan saja bisa datang. Pemerintah perlu membuat formula yang tepat dan kekinian dalam menangani bencana dengan intensitas yang tinggi ini.

Belajar dari Jepang

Jepang menjadi salah satu negara yang mirip dengan kondisi bencana di Indonesia. Tingkat intensitas kegempaan dan Tsunami serta gunung merapi di Jepang hampir sama dengan di Indonesia. Hanya saja, dalam me­nangani urusan bencana Jepang terbilang sangat cepat dalam meres­pon gejala maupun antisipasi korban yang akan menimpa manusia. Me­nurut data Elshinta Tercatat, ada se­kitar lima gempa besar dengan korban meninggal cukup besar yang sempat mengguncang Jepang, yakni pada November 684 (100-1.000 jiwa), 1 September 1923 (142.800 jiwa), 17 Januari 1995 (6.434 jiwa), 11 Maret 2011 (15.894 jiwa) dan 22 November 2016 (15 luka).

Formula kebijakan dan sistem yang digunakan oleh Jepang sangat modern dan kekinian. Jepang tidak berusaha untuk menghentikan serangan ben­cana yang dialami secara tiba-tiba  oleh negaranya karena memang secara geografis sangat rawan bencana. Akan tetapi, sistem dan alat yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas kegem­paan dan Tsunami begitu cepat direspon dengan baik oleh sistem yang telah diterapkan. Sehingga masya­rakat juga mengantisipasi hal-hal de­mikian dengan menjaga ling­ku­ngan, mempertimbangkan aktivitas bangu­nan yang menyalahi aspek kesela­matan dan kekuatan bangunan ter­hadap gempa, mengubah orientasi dan pola bangunan yang baik, dan dibekali pemahaman tentang antisipasi bencana alam.

Membangun Sistem

Sudah saatnya negara ini berbenah dengan pen­dekatan sistem dalam hal penanganan dini terhadap bencana alam, agar perhatian terhadap bidang ini bisa lebih serius untuk dilakukan. Dengan kondisi geografis yang rawan bencana, jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia, dan jumlah bangunan yang tidak sedikit. Maka, penulis menyebut penanganan bencana alam di Indonesia merupakan kepentingan hajat hidup orang banyak.

Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah rakyat. Saatnya kebijakan tentang mitigasi bencana alam ini harus dibenahi dan direvitalisasi melalui perencanaan dan formula kebijakan yang tepat. Membangun sistem yang mo­dern dan kekinian da­lam mendeteksi gejala bencana besar dan mengantisipasi jatuhnya korban yang sangat banyak. Sudah cukup con­toh bencana Tsunami Aceh (2004), gempa Nias (2005), gempa Padang (2008), gempa Lombok, Tsu­nami Palu, Tsunami Selat Sunda yang me­ner­jang Anyer Banten dan Lampung.

Bahkan, BMKG menyebut Tsu­nami ini tidak didahului oleh gempa tektonik melainkan aktivitas erupsi gu­nung Anak Krakatau, hingga ter­akhir ini terjadi gempa sebesar 7,4 Magnitudo yang meng­goncang Ban­ten, Jakarta hingga Jaa Barat. Tidak lupa juga, erupsi gunung Tangkuban Parahu yang saat ini masih harus dianggap serius oleh pemerintah.

Pemerintah harus menghadirkan program mitigasi bencana alam yang cepat, efektif, modern dan progresif. Dalam teori kebijakan publik mem­bangun sistem dalam sebuah kebija­kan besar harus mempunyai kapasitas dalam hal Forecasting (Pera­malan) kebijakan. Hal ini harus dilakukan melalui kajian-kajian ilmiah oleh para ahli yang berkom­peten di bidangnya untuk direncakanan program yang visioner dan cepat untuk menangani mitigasi bencana alam di Indonesia.

Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin harus segera mengkaji sistem yang tepat dengan meningkatkan status BNPB menjadi sebuah kemen­terian yang khusus menangani bidang mitigasi bencana. Badan-badan yang menangangi bencana alam harus disatu­kan dalam satu kementerian yang khusus mengelola semua masalah mitigasi bencana.

Pertimbangan ini dilakukan agar fokus kajian penyelesaian persoalan oleh pemerintah dapat dipu­satkan di kementerian ini. Selain itu tentunya efek­tifitas dan besaran anggaran juga akan tepat sasaran untuk kementerian ini.

Kita tahu bahwa anggaran untuk membuat sistem mitigasi bencana tidaklah sedikit, untuk itu diper­lukan rumusan dan tawaran gagasan yang tepat da­lam penanganan bencana. Penulis berpanda­ngan yang tidak kalah penting adalah sentuhan pendidikan juga harus dilibatkan.

Caranya pemerintah memasukkan kurikulum yang muatannya berisi kesadaran untuk pemaha­man mitigasi bencana. Sehingga membuat anak-anak Indonesia paham untuk ber­tindak. Peme­rintah harus belajar dari kon­sep yang dilakukan oleh peme­rin­tah Jepang misalnya, membuat atu­ran bangunan dan rumah tahan gempa, peringatan gempa di ponsel, membuat terowongan penguras air Tsunami dan Banjir, Sistem deteksi modern untuk BMKG baik antisipasi dalam hal ben­cana Tsunami yang diaki­batkan gem­pa tektonik, mau­pun aktivitas vul­kanik yang dihasilkan melalui gunung merapi. Serta tidak kalah penting adalah kesiapan media juga harus dirangkul dalam hal penyiaran bencana alam. ***

Penulis adalah, pemerhati kebijakan publik, menjadi Pengurus Bidang Pendidikan dan Teknologi BKPRMI Tapanuli Tengah.

()

Baca Juga

Rekomendasi