Sabar, Jangan Pusingkan Hal-hal Kecil

sabar-jangan-pusingkan-hal-hal-kecil

"Begitu banyak orang yang meng­habiskan energi untuk "memu­sing­kan hal-hal kecil" sehingga mereka sama sekali kehilangan sentuhan akan keajaiban dan keindahan hidup ini,” hal 1.

Suatu sikap yang mampu melerai per­masalahan dengan cepat adalah sa­­bar. Suatu sikap positif tidak mem­­per­besar masalah yang kecil jadi be­sar adalah bersabar. Kesa­ba­ran ada­lah ben­tuk perbuatan me­ngalah de­mi ke­baikan bukan me­ngalah karena kalah. Sabar itu mampu me­ngalahkan egois, dan menge­depan­kan kedamaian.

Tak dapat disangkal, sejatinya manusia itu punya rasa emo­siona­litas yang tinggi, kadang kala emo­sio­nal itu bisa dikontrol kadang ti­dak, keblablasan. Tapi yakinlah, karena emosi masalah yang tadinya kecil jadi besar, karena emosi pekara yang tadinya biasa saja jadi fatal. Maka kiranya, sabar itu bukan soal perka­taan semata, tapi perlu dite­rapkan dalam diri. Dan sabar itu soal menge­depankan penyelasaian ma­salah bukan memperkeruhnya.

Senangnya kita mempersempit pikiran, mempersoalkan pekara kecil, menghabiskan energi dengan memu­singkan hal-hal sepele, bahkan mendoktrin pikiran dengan ketidak­sempurnaan diri. Hal- hal ini tentu tak jarang ditemui, di dalam buku yang dirampungkan apik oleh Dr. Richard Carlson dicontohkannya seperti ini, “Bila ada orang yang menyalip kendaraan kita, bukannya mem­biarkannya dan melanjutkan urusan, kita meyakinkan diri bahwa kita berhak marah. Kita menayang­kan pertengkaran imajiner di kepala kita. Bahkan banyak yang men­ce­ritakan­nya kepada orang lain bukan melu­pakannya begitu saja”.

Persoalan seperti contoh yang di­se­butkan itu benar adanya, kita ka­dang tanpa sadar lebih suka menge­depankan amarah dan emosi. Hal-hal ke­cil yang sepatutnya bisa dilerai atau mungkin tidak begitu menohok, malah jatuhnya ke dalam perdebatan eksklusif. Antara satu dengan yang lain sama-sama ingin menang dan menyalahkan.

Selain mempersoalkan masalah kecil di lingkungan, masalah kecil dengan diri sendiri suka diper­soalkan. Sulit untuk kita berdamai dengan ketidaksempurnaan. Pada­hal, ada satu kebenaran yaitu tidak ada satu­pun makhluk yang sempurna di muka bumi, termasuk manusia. Perasaan merendahkan diri ini lazim terjadi, karena setiap manusia punya angan dan impian yang tinggi, apabila gagal meraihnya, kecewa teramat dalam pun muncul dan akhirnya melahirkan pikiran bahwa kita tak bisa berbuat apa-apa.

Namun, buku yang ditulis setebal 234 halaman ini justru mengupas soal menciptakan kedamaian pada ke­tidaksempurnaan, bukan larut da­lam pikiran yang menyesakkan. Karena nantinya, kita justru mem­buat masa­lah kecil itu jadi masalah yang lebih besar. Dampaknya, lam­bat laun kita akan bertingkah laku memaksakan, kita lupa sesuatu yakni hidup akan baik-baik saja seperti apa adanya kita sekarang. Di dalam buku yang dirilis dengan penuh kiat-kiat ini memiliki sub judul “Berdamailah Dengan Ketidaksempurnaan,” moti­vasi dari sub judul tersebut begini, “Peme­cahnya adalah lepaskan diri anda sebelum terperangkap dalam tingkah laku memaksakan sesuatu yang menurut anda lebih baik dari­pada yang sudah ada. Ingatkan diri bahwa hidup anda akan baik-baik saja seperti adanya saat ini. Segala sesuatu akan baik-baik saja tanpa penilaian anda”.

Dari kutipan ini, peresensi dapat me­narik intisari yakni ketidak­sem­purnaan itu dimiliki semua manusia, maka dari ketidaksempurnaan ini bukan malah dijadikan landasan untuk memaksakan kehendak yang diang­gap lebih baik dari apapun yang mampu kita perbuat saat ini. Untuk itu, mulailah memperdulikan diri, jangan memusingkan hal-hal kecil. “Kita memakai raisonalisasi yang rumit dan canggih untuk mem­benarkan sikap kita, dan akhirnya menghabiskan waktu dan energi kita untuk mela­kukan hal-hal yang tidak semuanya penting. Kita mengajukan keterba­tasan-keterbatasan kita, yang akhirnya akan melekat pada diri kita,” hal 231.

Buku ini sangat bagus untuk dija­dikan bahan bacaan bagi kita semua dalam memikirkan cara mengatasi permasalahan. Agar bisa mengambil tin­dakan yang positif, sehingga kita tidak kehilangan sentuhan akan kea­jaiban dan keindahan dalam hidup. Untuk kita yang membaca buku ini, dalam mengakhiri bukunya penulis menyarankan kepada pem­baca yakni jalanilah hidup ini se­olah-olah setiap hari adalah hari terakhir hidup di dunia, ini bukan resep untuk mening­galkan tanggung jawab, tetapi untuk me­ng­ingatkan betapa ber­harga­nya hidup ini se­sungguhnya. Dan terakhir, peresensi me­ngakui buku ini tidak me­miliki celah ataupun keku­rangan, se­mua yang tertulis amat bagus dan tidak membosankan untuk mem­bacanya.

Peresensi adalah Ayu Wulandari Hasibuan, Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara, dan Kru LPM Dinamika UIN SU.

()

Baca Juga

Rekomendasi