Hari Arwah

hari-arwah

Oleh: Rosni Lim. DALAM  pandangan tak kasat mata manusia, dua arwah melayang-layang di jalan raya kemudian berhenti di persim­pangan lampu merah, pas di simpang empat yang penuh  hiruk-pikuk kendaraan yang saling ingin mendahului.

 “Kenapa wajahmu masam?” tanya arwah 1.

“Aku sedang kesal!” jawab arwah 2. Dilayangkannya tubuhnya mendekati seorang laki-laki berkemeja biru tapi kancing atasnya terbuka sehingga nampak dadanya penuh tato. Laki-laki itu berjalan dengan gaya sok petantang-petenteng seolah tak takut apa pun.

  “Sok preman kali, kau!” arwah 2 itu mengumpat ke laki-laki bertato di dada. “Mampus!” lalu disorongkannya tangannya ke bahu laki-laki itu. Laki-laki itu merasa seperti ada yang mendorongnya dari belakang sehingga tubuhnya sempoyonan ke depan.

“Tiiin…! Tiiin…!” suara klakson mobil angkot langsung menggema di jalan. Untung saja supir angkot itu sigap mengerem mobilnya sehingga laki-laki sok preman yang nyaris tertabrak itu selamat.

“Hei, apa salahnya dia sama kamu?” tanya arwah 1 pada temannya.

“Nggak, aku cuma lagi kesal.”

“Kesal? Kesal karena apa?” tanya arwah 1.

“Lihatlah, seminggu lagi kita hari raya. Seminggu lagi kita merayakan hari yang kita tunggu-tunggu selama setahun. Hari di mana kita bisa makan banyak dan enak, banyak manusia yang menyiapkan sesajian di tempat-tempat tertentu,” jawab arwah 2.

“Iya, lalu?” tanya arwah 1 tak mengerti.

“Tapi aku mendengar percakapan antara 2 manusia di kedai kopi kemarin pagi.”

“Oh ya? Apa yang mereka bicarakan?”

“Manusia 1 bilang, seminggu lagi chit gwee pua. Maksudnya bersiap-siap merayakan hari raya arwah. Terus, yang buat aku marah, manusia 2 menjawab, sederhanakan saja perayaannya. Ekonomi sedang sulit. Merayakan dengan mewah hanya akan membuang-buang duit. Toh belum tentu arwah yang disembahyangi hadir menerima perayaan. Jadi makanan itu dimasak sebenarnya buat dimakan manusia, bukan buat dimakan arwah.”

“Lho? Ada juga manusia yang begitu?” tercekat arwah 1.

“Itulah, makanya aku geram!” jawab arwah 2. “Walaupun kedua manusia itu bukan keturunanku, bukan anak cucuku, tapi perkataan mereka itu lama-lama akan menyudutkan kita. Sampai manusia-manusianya kelak akan malas merayakan hari raya kita.”

“Wah, itu nggak boleh! Mereka jelas tahu kewajiban dan tradisi yang diwariskan turun-temurun  sejak zaman nenek moyang kita. Dulu sewaktu jadi manusia, bukankah kita juga melakukannya? Menyiapkan sesajian untuk arwah leluhur kita, bahkan merayakannya dengan meriah, membakar kertas-kertas replika rumah-rumahan dan kapal-kapalan.”

“Iya, sekarang berharap uang tael emas dan perak dari mereka pun sudah susah karena tradisi itu perlahan-lahan direvisi.”

“Iya, kesal, kesal, kesal, kesal aku!” jawab arwah 1 ikut-ikutan kesal seperti arwah 2.

Arwah 1 menyepak sebuah batu kerikil yang cukup besar hingga tercampak ke tengah jalan di persimpangan lampu merah itu. Kebetulan, seorang ibu paruh baya sedang menyeberang jalan. Kerikil itu mengenai kakinya dan dia terkait hampir saja terpeleset saat menyeberang di tengah ramainya arus lalu lintas. Untunglah masih ada malaikat pelindung yang menjaganya hingga ibu itu tak apa-apa.

“Nah, giliran kamu yang sembarangan mengganggu manusia!” kata arwah 2.

“Ah, tak seberapa itu! Aku hanya main-main saja,” arwah 1 melengos.

“Ayolah, kita jalan-jalan ke mal. Mana tahu ada makanan enak buat dimakan malam nanti. Perutku sudah lapar,” ajak arwah 2.

“Ayo!” Kedua arwah itu pun melayang-layang berdampingan di jalan raya menuju ke arah pusat kota, tempat di mana banyak terdapat mal besar dan mewah dengan berbagai macam fasilitas restoran cepat saji dan kafe.

Kedua arwah itu sampai di sebuah mal yang sangat ramai. Kebetulan malam Minggu, banyak pengunjung berlalu lalang di areal parkir dan di dalam mal tersebut.

“Hei, lihatlah!” arwah 2 menunjuk sebuah restoran cepat saji.

“Kita makan di sana saja?” tanya arwah 1

“Takutnya tak ada bagian kita,” kata arwah 2.

“Kalau begitu, kita tunggu di sudut saja. Mana tahu ada rezeki kita.”

Kedua arwah itu pun menunggu “rezeki” yang mereka maksud di satu tempat yang terletak di sudut.

* * *

Chit gwee pua alias bulan 7 tanggal 15 penanggalan lunar.

Arwah-arwah tampak gembira di alam mereka. Pintu gerbang yang mengunci mereka selama ini telah dibuka. Saatnya berjalan-jalan ke alam manusia, menikmati sesajian makanan enak yang melimpah ruah beserta persembahan uang tael emas dan perak.

“Kita ke mana dulu?” tanya arwah 3 pada teman-temannya, arwah 4, 5, 6, 7, dan 8.

 “Aku mau pulang ke rumah anakku. Setiap tahun dia pasti menyediakan sesajian makanan enak untukku. Dia adalah anak yang berbakti dan tak pernah lupa mengun­dang kehadiranku,” jawab arwah 4.

Arwah 5 menimpali, “Iya, aku juga mau ke rumah cucuku. Anakku tinggal di luar negeri. Di rumah cuma ada cucuku beserta istri dan anak-anaknya. Semoga saja dia masih ingat akan hari ini. Aku takut mereka melupakannya karena generasi baru dan cicit-cicitku itu sudah menjadi generasi milenial.”

“Aku dengar, generasi milenial sudah jarang diajari melaksanakan dan meneruskan tradisi. Mereka telah dibuai oleh segala macam kenikmatan duniawi, kemewahan hidup, terutama lagi gadget. Sampai tak punya waktu bicara dengan orangtua, apalagi ingat nenek moyangnya. Ah, sudahlah, yang penting tahun ini kita masih bisa makan enak,” cerita arwah 6. “Aku mau pulang ke rumah juga. Walaupun aku tak punya anak, tapi istriku selalu ingat untuk menyambutku dengan masakannya yang lezat setiap tibanya hari ini.”

Arwah 7 ikut bicara, “Aku mau hadir di rumah ibadah, karena abu jenazahku disimpan di situ dan plakat namaku juga digantungkan di situ. Di rumah anak dan cucuku sudah tidak ada lagi papan namaku.”

Para arwah itu memandang arwah 8. “Kamu rencananya ke mana?”

Arwah 8 berkata sedih. “Anak-anakku semasa hidup sudah tak percaya tradisi sembahyang arwah yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Kurasa, tahun ini akan seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku hanya akan memandang sedih keadaan di rumah tidak ada perayaan apa-apa. Papan namaku pun entah sudah raib entah ke mana saat mereka menjual rumah lama yang sudah kuno dan membeli rumah vila baru di kompleks perumahan elit. Bahkan, plakat namaku pun tak digantungkan di rumah ibadah. Bayangkan, betapa sedihnya hatiku.”

“Kalau begitu, kamu ikut aku saja,” kata arwah 1. “Aku mau ke sebuah tempat yang memasak banyak makanan untuk sembah­yang arwah-arwah gentayangan. Arwah-arwah seperti kita berdua yang tak ada anak cucu yang menyembahyanginya. Bagaima­na? Kamu mau ikut?” tanya arwah 1.

“Iya, mau!” jawab arwah 8. Dia merasa bersyukur tahun ini ada teman baru yang mengajaknya ke pesta hari raya arwah yang diadakan oleh manusia.

“Marilah, kita sama-sama berangkat sekarang!” ajak arwah 1 pada teman-temannya.

Arwah 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 pun sama-sama bergerak melayang-layang di jalan, melakukan perjalanan ke tempat tujuan masing-masing.

Di rumah arwah 4:

“Mohon beri petunjuk, apakah Papa sudah datang ke rumah untuk menikmati makanan yang kami sajikan? Berilah seng poi bila iya,” kata anak arwah 4 sambil berlutut dan melemparkan 2 buah poi ke udara. Kedua poi itu membuka dan menutup, pertanda jawabannya, “Iya.”

Arwah 5 sampai di rumah cucunya. Dilihatnya cucunya sudah menunggunya beserta dengan istri cucu dan anak-anak mereka. Keturunannya itu berlutut dengan khidmat di depan papan namanya, meme­gang masing-masing 3 batang hio. Arwah 5 merasa sangat terharu mendengar doa mereka. Selain meminta maaf atas kesalahan yang disengaja maupun tidak semasa hidup, mereka juga memanjatkan doa semoga arwahnya tenang dan bahagia di alam baka. Lalu meminta berkat supaya disertai dan diberkati dalam tindakan.

Arwah 5 menitikkan air mata bahagia, lalu mencicipi hidangan yang disajikan oleh cucu dan istri cucunya itu.

Arwah 6 sampai di rumahnya. Istrinya sudah menunggu dengan banyak makanan enak hasil masakannya sedari pagi. Tampaknya dia terduduk lelah setelah memasak seharian. Dalam hati, arwah 6 pun mengucapkan terima kasih walaupun dia tak bisa lagi memeluk istrinya.

Di rumah ibadah, arwah 7 merayakan hari arwah bersama ratusan atau bahkan ribuan arwah lain yang plakat nama mereka digantungkan di situ. Ratusan bahkan ribuan pengunjung berasal dari anak cucu cicit para arwah yang hadir di hari itu. Namun makanan yang disajikan semuanya vegetari­an walaupun ada yang berbentuk seperti daging namun itu terbuat dari tepung.

Arwah 3 dan arwah 8 sampai di satu tempat perayaan hari arwah yang dilakukan ma­nusia. Tempat itu pun sudah ramai pengunjung yang sembahyang dan makan bersa­ma. Arwah 3 dan 8 ikut makan bersama mereka.

Sampai sekarang, perayaan chit gwee pua/hari raya arwah masih dilakukan. Ini menjadi tradisi turun-temurun yang tak lekang oleh waktu walaupun tergerus teknologi canggih dan kemewahan duniawi, namun tradisi dan sejarah ini sama sekali tak  dilupakan apalagi sampai ditinggalkan. * * *

(Medan, Juli 2019).

()

Baca Juga

Rekomendasi