Agama dan Kebencian

agama-dan-kebencian

Oleh: Khairil Miswar. Ahmad Zaki Yamani dalam salah satu buku­nya pernah menulis: “Mungkin di antara ciri-ciri yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya bahwa ia adalah hewan yang beragama.” Apa yang dikemukakan Yamani ini tentunya dapat dengan mudah kita buktikan, di mana sampai saat ini memang belum ditemukan adanya hewan selain manusia yang beragama atau pun memiliki keyakinan religius.

Agama dan kepercayaan hanya menjadi domain manusia sebagai penggagas peradaban – sekaligus dalam kondisi tertentu juga sebagai perusak peradaban itu sendiri. Keberadaan akal, hati dan imajinasi yang dimiliki manusia telah memosisikannya sebagai makhluk mulia di alam semesta. Sebaliknya, tanpa daya pikir, seperti kata Hamka (1980), manusia akan kembali ke martabat kebinatangan.

Agama sebagai sebuah medium “ketundu­kan” kepada keagungan Tuhan, sepanjang sejarahnya telah menjadi salah satu fondasi ber­dirinya peradaban-peradaban besar di muka bu­mi. Agama-agama besar, seperti Yahudi, Kristen dan Islam telah melahirkan manusia-manusia hebat yang kemudian menjadi penggerak lahir­nya peradaban itu. Bahkan jauh sebelumnya, per­adaban sebagai sebuah wujud eksistensi ma­nusia di alam raya juga telah lahir ketika manusia masih hidup dalam kepercayaan kuno. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa aga­ma dan kepercayaan memiliki peranan penting, tidak hanya dalam membentuk peradaban, tapi juga sebagai pembimbing manusia ke arah ke­ma­nusiaan dan cinta-kasih antarsesamanya. Dok­trin-doktrin keagamaan memuat sejumlah asas guna membentuk karakter manusia yang beradab. Karakter-karakter tersebut tidak mun­cul dengan sendirinya sabagai insting bawaan, tapi ia disemai, dipupuk dan dirawat, salah sa­tunya melalui doktrin agama. Melalui doktrin inilah kebaikan-kebaikan itu diperkenalkan.

Kebencian

Agama mengandung ajaran tentang kebaikan. Meskipun kebaikan dalam doktrin agama adalah kebaikan-kebaikan subjektif (menurut versi masing-masing agama), namun hampir tidak ada agama yang memuat ajaran kejahatan – apalagi sampai memamerkannya secara vulgar. Agama adalah kedamaian yang membimbing manusia untuk berdamai dengan alam berserta isinya, termasuk dengan manusia-manusianya sebagai poros ketertiban dunia. 

Lantas, dari mana kebencian itu lahir? Kena­pa ada orang-orang beragama yang terlihat sede­mikian sangar dan menakutkan? Menurut Kim­bal (2013), ketika para penganut agama meng­angkat ajaran dan kepercayaan mereka ke tingkat klaim kebenaran mutlak, maka kondisi tersebut telah membuka peluang agama menjadi jahat. Klaim kebenaran yang kaku adalah faktor kunci yang berpeluang mendehumanisasikan orang yang berbeda sebagai setan.

Apa yang diutarakan Kimball setidaknya da­pat memberikan gambaran untuk kemudian kita mencoba memahami dari mana kebencian itu dimulai. Sejatinya agama itu tidak jahat, se­hing­ga tidak mungkin agama dapat memicu keben­cian. Kejahatan itu hanya tumbuh dan mekar me­lalui tindakan manusia sebagai pemeluk agama. Melalui interpretasi manusialah terkadang wajah agama terlihat suram.

Klaim kebenaran membabi-buta yang dila­koni oknum pemeluk agama dapat memicu sikap agresif dan sinisme. Dari sinilah kebencian itu menjadi hilir dan kemudian bermuara pada tin­dakan-tindakan destruktif – yang dalam konteks peradaban terkadang sulit dimengerti. Penghi­naan, pelecehan, pembunuhan, perusakan dan bahkan perang sekali pun seringkali berasal dari terpeliharanya kebencian yang kemudian men­capai titik ledak. 

Stigmatisasi

Dalam konteks sosiologis, cara termudah un­tuk memantik emosi, khususnya bagi para peme­luk agama adalah dengan menciptakan label-la­bel negatif kepada sosok atau kelompok lain yang dianggap berbeda keyakinan. Label-label ini menemukan wujudnya dalam stempel sesat, liberal, sekuler, atau bahkan komunis. Dari label ini kemudian terbentuklah stigma kepada ke­lompok-kelompok dimaksud.

Hardiman (2005: 13) mengemukakan bahwa “Di dalam stigma tidak hanya ditanamkan unda­ngan untuk menghina, melainkan fobia, karena yang terstigma dipersespsi sebagai ancaman.” Stigma masih menurut Hardiman, juga dapat men­jelaskan mengapa manusia mampu membu­nuh sesamanya tanpa rasa bersalah, bahkan de­ngan rasa eskastis. Dalam pikiran pelaku kekera­san, korban difragmentasi, dan fragmen-frag­men sosialnya dirakit kembali menjadi sosok ba­ru yang terdehumanisasi dan terdeperso­nali­sasi sehingga layak dilecehkan.

Kasus Aceh; Sebagai Contoh

Kasus terbaru yang mungkin dapat dirujuk adalah kejadian “pengusiran” terhadap Ustaz Firanda yang sedang memberikan pengajian di Masjid al-Fitrah Keutapang, Banda Aceh pada Kamis malam (13/06/2019). Kejadian ini di an­ta­ranya sempat dirilis oleh bbc.com (14/06/2019). Dalam insiden itu terlihat sejumlah massa yang telah tersulut amarah tampak memasuki masjid, sehingga terjadilah keributan – yang pada prinsipnya tidak layak dipertontonkan di rumah Tuhan.

Kasus di masjid tersebut tidak terjadi secara spontan, tapi adalah puncak dari rangkaian upa­ya penolakan sebelumnya. Suara-suara penola­kan ini telah muncul sebelum Firanda menje­jak­kan kakinya di Aceh. Jauh sebelum insiden itu meledak, Firanda telah distigma sebagai Wah­habi dan karenanya ia dianggap “sesat.” Stigma inilah yang kemudian melahirkan keya­kinan di benak massa bahwa Firanda layak diusir.  

Seperti dikemukakan Hardiman bahwa dalam stigma terkandung unsur fobia – dalam hal ini ketakutan berlebihan akan terganggunya tradisi yang selama ini dirawat oleh massa yang me­ngidentifikasi diri sebagai Aswaja. Bahkan da­lam konteks yang lebih luas, kehadiran pemi­kiran-pemikiran “non-Aswaja” di Aceh telah melahirkan heterofobia alias rasa takut akan “yang lain” dari kalangan Aswaja.

Terkait kondisi psikologis ini, Betrand Russel menyatakan bahwa: “Rasa takut adalah sumber utama takhayul dan salah satu sumber keke­jaman.” Dalam pengertian terbatas, rasa takut terhadap Wahhabi misalnya, akan melahirkan imajinasi keterancaman bagi kelestarian pemi­kiran-pemikiran tradisional Aswaja yang saat ini masih menghegemonik – yang dianggap se­bagai poros kebenaran paling otoritatif di Aceh. Perasaan keterancaman inilah yang kemudian melahirkan kebencian, sehingga muncullah label dan stigma sebagai alat justifikasi atas peng­usiran terhadap kelompok dan pemikiran yang didefinisikan sebagai sesat dan menyimpang.

Dalam banyak kasus, perasaan keterancaman ini diawali oleh munculnya prasangka terhadap “yang lain.” Seperti dijelaskan Hardiman (2015: 69), prasangka adalah “Penarikan kesimpulan atau penilaian yang tergesa-gesa.” Ketergesa-gesaan inilah yang kemudian melahirkan tinda­kan-tindakan destruktif di ruang publik. Keter­gesa-gesaan adalah wujud dari ketidakmatangan berpikir – untuk tidak menyebut sebagai ekses matinya nalar.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan berdampak pada munculnya kon­flik komunal yang lebih luas di kemudian hari. Dalam sistem konflik, seperti dinyatakan Klan­dermans (2005:282), dinamika kita – mereka cenderung berkembang sehingga ruang perbe­daan akan semakin lebar. Dalam hal ini kelom­pok yang mengusung pemikiran keagamaan main­stream akan mengidentifikasi diri sebagai “kita” untuk selanjutnya berhadapan dengan “me­reka” yang dianggap menyimpang.

Beragama dengan Santun

Seperti telah disinggung di awal bahwa ke­ben­cian muncul dari sikap sinisme yang diiringi oleh klaim kebenaran mutlak atau tindakan me­mo­nopoli kebenaran. Sikap ini tercermin dalam setiap tindak-tanduk umat beragama, baik antar­pemeluk agama yang berbeda, maupun sesama pemeluk dalam satu agama sebagaimana terjadi di Banda Aceh baru-baru ini. Sebagai contoh sikap oknum Aswaja yang “suka” menyesatkan Wahhabi dan juga sikap oknum (yang dianggap sebagai) Wahhabi yang “gemar” membid’ahkan Aswaja. Jika sikap dari kedua pihak ini terus dilestarikan, maka pertentangan itu akan terus abadi.

Untuk mengurai atau setidaknya meminima­lisasi terjadinya konflik, maka pola beragama se­cara santun menjadi salah satu solusi. Santun dalam pengertian tidak merendahkan keyakinan komunitas lain, setidak-tidaknya di muka umum. Solusi lainnya dengan mengelola klaim kebenaran mutlak agar ia tidak melahirkan fobia yang kemudian menjadi senjata untuk mela­ku­kan “agresi” terhadap pihak lain. Namun begitu bukan berarti kebenaran mutlak itu tidak ada, tapi biarlah ia menjadi perbincangan internal kea­gamaan dan tidak menyeruak ke ruang public, sehingga agama akan tetap memberi keda­maian, bukan justru memicu kebencian. ***

Penulis alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku “Habis Sesat Terbitlah Stress: Fenomena Anti Wahhabi di Aceh (Padebooks, 2017).

()

Baca Juga

Rekomendasi