Solusi Defisit BPJS Kesehatan

solusi-defisit-bpjs-kesehatan

Oleh : Hari Murti, S. Sos. Setidaknya dalam hampir 1 ta­hun ini saya sudah mem­baca 2 tulisan yang inti­nya menggugat cara pikir banyak kala­ngan yang mengritik kinerja peme­rintah terkait besarnya defisit BPJS Ke­sehatan. Tulisan pertama oleh Ningsih, S. Sos, yang berjudul Cara Pandang pada De­fisit BPJS Kesehatan. Tulisan ini saya baca sekitar medio September 2018.

Ia mengingatkan kita dengan mem­ban­dingkan sektor kesehatan dengan pen­­­didikan, yang sebenarnya sama di ha­­da­pan konstitusi kita. gagasan yang pa­ling signifikan bagi saya dari tulisan ini adalah soal sikap kita yang melakukan standar ganda dalam melihat BPJS kesehatan, yang akhirnya membuahkan kritik. Pada tataran layanan, kita ingin BPJS benar-benar sebagai tangan negara yang hadir untuk mengurus kesehatan rakyatnya, tanpa komersialitas.

Tapi di sisi yang lain, pada tataran ke­­uangan, kita malah ingin kinerjanya se­­perti asuransi kesehatan swasta yang harus untung. Ya, menurut saya, manalah bisa dua hal yang bertolak belakang se­perti itu hadir dalam satu tubuh yang sama.

Lalu, judul yang lebih tegas lagi oleh Dr. Salman Nasution, dosen UMSU, De­mi Kesehatan, BPJS Harus Defisit pada 7 Agustus 2019 lalu. Kedua tulisan di­te­rbitkan oleh Analisa, bagi saya inti­nya sama, yaitu mengingatkan kembali pada komitmen bangsa dan negara ini bahwa kesehatan adalah hak kons­titu­sional dan bahkan asasi sehingga patut didiskusikan kembali kritik-kritik kita pada pemerin­tah terkait defisit 28 triliun tersebut.

Saya tahu bahwa ada banyak sekali gugatan yang sama yang ingin diajukan penulis lain, tetapi penulis-penulis itu mungkin merasa belum waktunya melakukan perlawanan arus. Saya berharap tulisan ini menjadi tulisan ketiga yang diterbitkan Analisa, yang intinya sama, yaitu mengritik cara pikir peng­kritik defisit BPJS Kesehatan.

Tetapi bukan tipikal saya membuat tu­lisan yang hanya bisa menceritakan kem­bali apa-apa yang sudah diketahui oleh publik, apalagi sebatas menyesal-nyesali keadaan dengan balutan redak­sio­­nal puitis satire dengan sedikit atau bah­­kan seringkali tanpa memberikan so­lusi. Tulisan Sdr. Ningsih dan Sdr. Sal­man sungguh juga bukan tipikal seperti itu, melainkan memberikan sudut pan­dang yang hebat dan berani melawan arus.

Saya berharap ada penulis-penulis lain yang berdiri menambah jajaran dua pe­nulis yang telah secara intelektual dan be­rani melawan arus tentang defisit BPJS Ke­se­hatan itu. Profesi sebagai enulis ada­lah penjaga konstitusi juga. Tetapi saya ten­tu tidak memeprmasalahkan jika ma­sih ada penulis lain yang masih ingin me­nerus-neruskan arus besar itu, yaitu ikut-ikutan mengritik pemerintah soal de­­fisit BPJS Kesehatan. Toh menge­mu­ka­­kan pendapatan di depan umum secara lisan dan tulisan juga konstitusional.

Solusi

Saya tak perlu menunggu jawaban Anda tentang mana yang lebih mendasar, infrastruktur atau kesehatan? Saya hanya menunggu kritik Anda jika ide saya berikut ini keliru. Bahwa jika dana haji saja pun bisa dipinjam untuk membiayai pembangunan infrastruktur, rasanya tak banyak yang bisa dikritik dari ide bahwa dana haji bisa dikelola sedemikian rupa dalam sistem keuangan yang kompleks di tingkat nasional dan global itu untuk diperoleh manfaatnya bagi membiayai kesehatan rakyat.

Saya tak tahu betul apakah dana haji jadi dipinjam untuk membangun infra­struk­tur atau tidak, tetapi saya yakin kuan­­titas dan kualitas penolakan tidak akan sebesar penolakan saat dana haji di­wacanakan digunakan membangun in­fra­struktur. Tidak semua orang meng­gu­nakan jalan tol, bandara, pelabuhan, te­tapi pasti hampir semua orang meng­gu­nakan layanan kesehatan.

Saya juga tak mau masuk kepada pem­bahasan detail matematis kalkulatif dana haji sekian rupiah untuk digunakan me­mbangun infrastruktur sekian rupiah dan BPJS Kesehatan sekian rupiah. Saya tak pandai benar matematika atau sistem ke­­uangan dan hukum-hukumnya. Yang saya tahu dana haji sangat besar, bahkan mu­­ng­­kin porsinya terbesar dalam kom­po­nen dana pihak ketiga yang disimpan di bank.

Kekuatan ekonomi dan keuangan Is­lam itu, jika dibanding dengan defisit 28 triliun itu, seperti gajah terhadap pe­lan­duk. Dana haji adalah modal ekonomi yang bisa didayagunakan untuk meng­urus rakyat yang sakit, dan melihat pene­ri­maan rakyat sebagai modal sosial untuk juga mengobati rakyat yang sedang me­ng­a­lami penderitaan sakit. Tetapi tentu, pe­­ng­gunaannya tidak mengganggu sis­tem keuangan untuk beribadat haji, tidak boleh.

Jika ide ini salah, baik secara sosial, sistem keuangan, apalagi hukum, keta­huilah bahwa ilmuwan tidak dihu­kum hanya karena membuat teori atau asumsi ilmiah yang keliru. Akan jauh le­bih baik jika mengambil bagian-bagian ke­cil dari total ide ini untuk dikom­bina­sikan dengan sekian juta ide yang juga bermaksud dan berniat sama, yaitu solusi.

Selanjutnya, kita punya kekayaan negara yang dicuri oleh koruptor dan ke­mudian dirampas kembali oleh negara untuk dikembalikan kepada perbenda­ha­­raan negara. Entah ide ini salah, se­tengah salah, atau bahkan salah sama se­­­kali, tetapi kita butuh sebanyak-ba­nyak­nya sumber keuangan untuk menu­tup defisit BPJS Kesehatan. Kita bisa mu­­lai mengkaji apakah ada kemungkinan untuk secara cepat dan ringkas agar ke­kayaan negara hasil rampasan dari para ko­ruptor itu diarahkan pada pemenuhan hak dasar konstitusional rakyat untuk sehat.

Jumlahnya mungkin tidak banyak, te­tapi memberikan konfirmasi sosial ke­pada kalangan tertentu yang mungkin me­nolak ide pertama, dana haji diguna­kan menutup defisit. Memang, secara logika, sangat wajar jika pihak-pihak tertentu merasa keberatan dana haji di­gunakan untuk menutup kelemahan pemerintah mengelola keuangan BPJS. Enak saja pemerintah sedikit-sedikit me­nge­ngok dana haji setiap kali menghadapi masalah keuangan, saya pun berpikir begitu.

Maka, dengan kombinasi dana haji dan dana hasil rampasan kekayaan para koruptor, ini menjelaskan kepada rakyat bahwa pemerintah mau berkeringat dan tepat sasaran dalam mencari sumber-sum­ber keuangan menutup defisit. Rak­yat akan merasa dibela dari para koruptor itu, merasa bahwa pemerintah adalah perpanjangan tangan rakyat untuk “membalas dendam” pada koruptor.

Selanjutnya, ini yang paling penting, bahwa banyak informasi yang berkem­bang di media massa bahwa asuransi so­sial bernama BPJS Kesehatan di In­do­nesia paling berani di dunia. Tidak ada satu pun negara di dunia yang berani me­ran­cang sistem pendanaan sosial kesehatannya seberani Indonesia, mulai dari layanannya maupun besaran biaya yang harus ditanggung peserta. Bahkan, entah kabar ini benar atau tidak, sampai-sampai layananan kesehatan medis non-penyakit, misalnya melahirkan melalui operasi sesar, padahal bisa melahirkan dengan cara normal, pun bisa pakai BPJS Kesehatan.

Maka, kita harus realistis, bahwa si pengguna layanan kesehatan harus setidaknya menanggung sekitar 10 – 20 persen dari total biaya setiap kali ia menggunakan layanan. Misal, si A sakit jantung dan berobat dengan BPJS Kese­hatan, maka realistis jika setiap kali ia pergi ke rumah sakit, ia menganggung sekitar 10 persen biayanya. Dengan begitu, defisit bisa berkurang sekitar 10 – 20 persen, dan yang paling penting adalah rasa keadilan di antara mereka yang kadang-kadang belum pernah menggunakan layanan sama sekali.

Aturan ini juga akan mencegah orang untuk bersikap tidak jor-jor-an menggunakan layananan sosial kesehatan, misalnya pergi ke rumah sakit hanya karena sakit panu atau atau deman-demam flu akibat peralihan musim. Dengan biaya 10 persen ditanggung pasien, hal ini akan membuat rumah sakit dapat membantah isu-isu yang tidak sedap selama ini, yang isu mengatakan kadang-kadang rumah sakit mem­berikan tindakan pengobatan yang lebih dari cukup cuma untuk memperoleh keuntungan. Dengan aturan ini, rumah sakit bisa punya argumen yang cukup kuat, bahwa mereka juga tak ingin pasien gagal bayar yang 10 persen itu sehingga tidak mungkin rumahsakit mela­kukan tindakan medis yang ber­lebihan.

Nah, inilah ide-ide yang sangat mungkin bisa salah dan tidak praktis. Bagaimana pun, saya merasa terpanggil untuk ber­sumbang saran ketika melihat defisit BPJS Kesehatan sepertinya akan terus membengkak di kemu­dian hari. Soal ide ini salah dan benar, ketika keadaan yang berat itu sudah demikian memanggil siapa saja untuk bersumbang saran, saya merasa tak perlu terlalu memikirkannya. Dengan niat baik di tengah keterbetasan penge­tahuan saya, saya menyum­bangkan pemikiran-pemikiran seperti yang saya uraikan di atas tersebut. ***

Penulis adalah pemerhati sosial. Penga­jar pada beberapa perguruan tinggi.

()

Baca Juga

Rekomendasi