Ihwal GBHN dan Amandemen Konstitusi

ihwal-gbhn-dan-amandemen-konstitusi

Oleh: Andryan, SH., MH. Tanggal 18 Agustus berte­pa­tan sehari setelah Proklamasi Ke­mer­dekaan Indonesia, kita mengenang akan Hari Konstitusi. Sebagai negara yang baru merdeka, para pendiri negara ini tidak hanya mem­perjuang­kan kemerdekaan, tetapi juga me­wa­ris­kan sebuah konstitusi sebagai se­buah hukum dasar kehidupan ber­bang­sa dan bernegara. Kemuliaan kons­­titusi itu yang menjadikannya se­bagai fundamental law dan the higher law, karena wujudnya dapat diper­sa­makan dengan suatu piagam kelahiran suatu negara baru. Di dalam konstitusi tercakup pandangan hidup dan ins­pirasi bangsa yang memilikinya. Oleh karenanya, konstitusi menjadi sumber hukum utama, sehingga tidak ada satu peraturan perundang-undangan yang boleh bertentangan dengan konstitusi tersebut.

Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, tentu menjadi catatan besar dalam sejarah akan keberanian kita dalam merumuskan sendiri konsitusi sesuai dengan jati diri bangsa. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Bung Karno di depan BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945, yang menyatakan “kebe­ranian menunjukkan bahwa kita tidak hanya membebek kepada contoh-contoh UUD negara lain, tetapi membuat sendiri UUD yang baru, yang berisi kefahaman keadilan yang menentang individualisme dan libe­ralis­me, yang berjiwa kekeluargaan dan gotong royong”.

Dalam memperingati hari kons­titusi, hal yang menarik untuk kembali kita refleksikan kembali yakni ihwal amandemen atau perubahan UUD 1945, dimana didalam rumusannya akan memberlakukan kembali Garis-Haris Besar Haluan Negara (GBHN) se­bagai sebuah haluan dalam kehi­du­pan berbangsa dan bernegara. Wacana amandemen UUD 1945 serta meng­hi­dup­kan kembali GBHN, mulai diser­ukan dalam partai pemenang Pemilu 2019, PDI-Perjuangan, melaui se­buah Kongres V dengan mereko­men­dasikan amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi ne­gara dan GBHN.

Menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan adanya GBHN sebagai produk MPR, tentu saja tidak akan berpotensi mengunci presiden dalam menjalankan peme­rintahan. Kita ketahui, GBHN meru­pakan panduan rencana pembangunan nasional dalam jangka waktu tertentu yang perlu dijalankan secara konsisten meski struktur pemerintahan berganti. Saat ini, sistem perencanaan pem­bangunan yang ditopang oleh undang-undang telah menimbulkan kecen­derungan perencanaan pembangunan yang dapat berubah-ubah dan pelak­sanaan perencanaan pembangunan tidak konsisten karena tidak bernuansa paradigmatik dan berdasarkan oto­nomi daerah.

Pola pembangunan nasional yang tidak berkonsepsikan pada negara yang berintegralistik antara peme­rin­tah pusat dan pemerintah daerah se­ba­gai­mana yang dianut dalam kerang­ka penyelenggaraan pembangunan na­sional di Indonesia. Dengan demikian, terlihat jelas konsep pembangunan nasional saat ini menyeimbangkan antara kepentingan pemerintah pusat dan daerah. Dalam kenyataannya, bahwa pemerintah tidak dapat meng­in­tegrasikan kewenangan peren­ca­naan pembangunan nasional kepada daerah, karena daerah juga mem­pu­nyai kepentingan dan rencana pem­bangunannya secara masing-masing.

Landasan Operasional

Landasan ideal pembangunan adalah Pancasila, merupakan landasan nilai dan jiwa bangsa Indonesia yang harus menjiwai seluruh pembangunan nasional, dan menjiwai penyusunan ke­­putusan/ketetapan MPR. Pancasila mempunyai peran sentral dalam mem­fil­ter gejala liberal kapitalis, agar pe­ren­canaan pembangunan nasional tidak berpotensi dalam melunturkan wa­­­wasan nusantara dan ketahanan na­sional, khususnya persatuan dan ke­sa­tuan bangsa yang dapat meng­gang­gu kelancaran pembangunan nasio­nal dimasa mendatang. Lan­dasan ope­rasional pembangunan adalah kepu­tu­san/ketetapan MPR mengenai GBHN, merupakan misi pembangu­nan nasional dan pengembangan visi jang­ka panjang pembangunan nasional.

Dalam ketentuan UUD 1945 saat ini, MPR merupakan sebuah institusi yang berdiri sendiri serta tidak me­mi­liki peran yang rutin, meskipun se­sung­guh­nya peran dari MPR tersebut sangat vital dalam struktur bernegara kita. Revitalisasi peran MPR perlu se­gera digalakkan kembali untuk da­pat memberikan eksistensinya sebagai sebuah lembaga perwujudan rakyat. Adapun hal untuk merevitalisasi peran MPR yakni memberikan ruang kepada MPR dalam merumuskan GBHN.

GBHN perlu dihidupkan kembali guna memperjelas arah pembangunan Indonesia mendatang. Sejak GBHN di­ha­puskan, arah pembangunan ne­gara ini seakan hanya stagnan, maka per­lunya GBHN dihidupkan kembali agar rumusan bersama tentang haluan kita bernegara, ke arah mana perja­lanan bangsa ini ke depan. Rumusan tersebut dapat dituangkan oleh DPR dan Presiden dalam bentuk undang-undang, tapi rancangannya tersebut disiapkan terlebih dahulu oleh MPR dengan melibatkan seluruh pihak stakeholder yang ada. Dengan demi­kian, memberlakukan GBHN tidak han­­ya dapat merevitalisasi peran MPR, melainkan juga dapat mem­beri­kan kejelasan arah pembangunan bangsa dan negara ini kedepannya.

Kini, dalam merefleksikan peringa­tan hari konstitusi, tentu saja dapat kembali menyadari kita terutama pemimpin republik ini untuk senan­tia­sa mengawal konstitusi sebagai da­sar kehidupan berbangsa dan ber­negara. Mengawal konstitusi, tidak lain dengan mematuhi segala perintah dan amanat konstitusi, yakni men­capai terwujudnya kehidupan yang berdaulat, makmur dan sejahtera, serta berkeadilan kepada seluruh bangsa sebagaimana yang tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. ***

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UMSU, pPengurus Pusat Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama).

()

Baca Juga

Rekomendasi