Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan

hak-dan-kewajiban-peserta-bpjs-kesehatan

Oleh: Manosor Panjaitan. Beberapa perusahaan me­ngalami ke­re­potan yang cu­kup berarti saat masa tran­­sisi layanan jaminan peme­liharaan ke­sehatan pekerja swasta dari yang se­belum­nya ditangani oleh PT. Jaminan So­­sial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang ke­­­mudian dialihkan ke Badan Penye­le­ng­­­­gara Jaminan Sosial (BPJS Kese­ha­tan) terhitung mulai tanggal 1 Januari 2014.

Mengapa disebut repot? Karena tidak ada sosialisasi dari pihak BPJS Kesehatan dengan perusahaan ten­tang apa itu BPJS Kesehatan, mengapa harus ada transisi, dan apa langkah yang harus dilakukan oleh perusahaan? Perusahaan itu memi­liki hak memperoleh informasi dari pihak pertama dalam hal ini pemerintah, sebab iniformamsi ini nantinya akan disam­paikan kepada seluruh pekerja yang selama ini terdaftar di Jamsostek.

Format komunikasi dari BPJS Kese­ha­tan saat itu monolog yakni arahan ten­tang kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan. Tidak ada dialog. Aki­batnya saat itu saya sungguh repot saat mengisi masa transisi ini. Menjalankan kewajiban mutasi kepesertaan pekerja sambil mencari tahu tentang banyak hal yang belum saya fahami. Saat itu serasa BPJS Kesehatan tidak memiliki konsep ker­ja yang jelas dan terarah saat me­nerima estafet jaminan layanan kesehatan pekerja dari sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.

 Kewajiban

Ada terasa bahwa selama eksis­tensinya sepertinya format komuni­kasi yang dibangun oleh BPJS Kese­hatan lebih dominan tentang kewa­jiban pihak-pihak di luar BPJS Kese­hatan. Contoh, him­bauan terus diarahkan kepada ang­gota masya­rakat agar segera men­daftar­kan kepesertaannya di BPJS Kese­hatan, dengan kewajiban membayar iuran paling lambat tanggal 10 bulan berjalan. Seluruh perusahaan memperoleh him­bauan serupa, dimana ada “bonus” ke­bija­­kan yakni menggandeng pihak kejak­saan dan juga Dinas Tenaga Kerja un­tuk men­dongkrak kepatuhan peru­sa­haan da­lam menjalankan kewajiban men­daf­tarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan.

Dari sisi kepentingan perusahaan maka sesungguhnya ada manfaat yang ingin diperoleh perusahaan dengan didaftarkannya pekerja sebagai peserta layanan jaminan kesehatan di BPJS Kesehatan yakni, tidak lagi dipusingkan masalah layanan kesehatan pekerja.

Prakteknya, jika seorang pekerja terdaftar maka otomatis isteri/suami dan (maksimal) tiga orang anak akan mendapat layanan jaminan kesehatan dengan fasilitas kesehatan minimal kelas 2. Pembayaran iuran setiap bulan­nya dibayar oleh perusahaan dengan pekerja dari upah bulanan dengan perbandingan 4:1. Prinsipnya, layanan kesehatan yang prima akan menunjang kinerja pekerja di perusahaan.

Namun apa mau dikata, peru­sahaan sering pening kepalanya mendengar keluhan beberapa buruh yang tidak puas atas layanan kesehatan yang diterimanya. Dokter yang tidak berada di tempat, klinik rujukan yang tidak buka di malam hari, bahkan ada beberapa pekerja yang mengeluh tentang klinik yang ikut libur di hari libur.

Padahal, pemahaman semua orang layanan kesehatan itu untuk 24 jam! Atau menurut BPJS Kesehatan layanan kesehatan itu sesuai jam kerja? Keluhan pekerja ini pernah dilaporkan ke pihak BPJS Kesehatan dengan mengikuti format aduan yang disediakan. Hasilnya tetap memun­culkan pertanyaan, “hak layanan kesehatan pekerja, atau anggota masyarakat itu dalam kurun waktu 24 jam, atau sesuai jam kantor ?

Coba kita survei keberadaan klinik-klinik yang bermitra dengan BPJS Kesehatan, apakah tetap buka jika sudah di atas pukul 22.00 WIB. Apakah buka di hari libur. Mengapa? Sebab menurut hemat kita yang disebut layanan jaminan kesehatan itu adalah 24 jam! Bukankah setiap orang bisa membutuhkan layanan kesehatan sewaktu-waktu? Kita lihat misalnya pekerja yang menjadi peserta BPJS Kesehatan, bukankah beberapa perusahaan operasional 24 jam dengan kerja sistem 3 shift.

Nah, bagaimana kalau pekerja di shift malam misalnya pada pukul 23.00 WIB kakinya berdarah akibat menginjak paku di tempat kerja. Bagaimana pekerja tersebut mem­peroleh haknya apabila klinik rujukan sudah tutup. Jika ada kejadian seperti ini dan berakibat fatal, apakah pemerintah menyalahkan pihak perusahaan dengan mengkambing hitamkan fasilitas K-3 di perusahaan?

Seimbang

Di masa Jamsostek, pekerja merasa adanya keseimbangan antara hak dan kewajibannya sebagai pe­serta jaminan pemeliharaan kese­hatan (JPK). Jadi, Jamsostek tidak melulu bicara tentang kewajiban pekerja/perusahaan tapi juga “memiliki pemahaman yang utuh” bahwa pekerja/perusahaan memiliki hak yang sama kuatnya dengan kewajiban. Keseimbangan hak dan kewajiban ini tersimpul dalam kebijakan klaim pembayaran untuk layanan kesehatan emergency.

Artinya, ada beberapa kondisi yang dinilai butuh penanganan sesegera mungkin dan tidak perlu mengikuti prosedur perobatan biasa karena kondisi emergensi atau darurat. Hak mendapat­kan layanan kesehatan dinilai dapat me­ne­­robos prosedur formal layanan kese­hatan. Misalnya kondisi : diare, demam tinggi, muntah, luka mengeluar­kan darah, persalinan. Jika kondisi ini terjadi maka boleh berobat dimana saja, bayar duluan, dan bukti pembayaran bisa diklaim ke kan­tor PT. Jamsostek. Saya sendiri per­nah merasakan manfaat berharga layanan ini. Jadi, di titik ini ada keseimbangan hak dan kewajiban.

Tidak Berbanding Lurus

Dalam artikel “BPJS Kesehatan Defisit, Orang Miskin Menjerit” sang pe­nulis Wisnu AJ menyebut bahwa: “Karena selama ini di berbagai daerah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan kepada pesertanya tidak berbanding lurus dengan kewajiban yang mereka penuhi, sehingga muncullah komplain” (Analisa, 14/8/2019) Wisnu menambahkan bahwa untuk tahun 2018 BPJS Kesehatan menga­lami defisit sekitar Rp 29 triliun. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, defisit ini akibat banyaknya tunggakan peserta, umumnya kalangan non penerima upah tetap.

Untuk mengatasi defisit ini maka pemerintah telah menyiapan senjata pamungkas untuk mengatasinya. Salah satunya, menaikkan iuran BPJS Kese­hatan! Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut bahwa ada 3 (tiga) jalan keluar yang ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi defisit ini dimana salah satu opsinya adalah menaikkan besaran iuran peserta.

Seharusnya pemerintah juga harus pasang telinga untuk mendengarkan keluhan anggota masyarakat tentang layanan kesehatan. Jalan keluarnya harus dirumuskan dengan segera, sebab ini hak peserta. Misalnya, bagaimana hak layanan kesehatan peserta di malam hari, hari libur, dan sebagainya. Jika ada kemungkinan tidak terjangkau pihak medis maka apa solusi yang ditawarkan peme­rintah. Janganlah ketika ada masalah di BPJS Kesehatan maka yang tergambar di benak pemerintah adalah, “masalahnya di kewajiban peserta”.

Dimana keadilan itu? Hendaknya pemerintah dapat merasakan kebi­jakan manusiawi yang dulu dikenal di masa Jamsostek lewat klaim pembayaran untuk kondisi emer­gensi. Apakah selamanya topik komunikasi BPJS Kesehatan kepada masyarakat hanya sebatas kewajiban masyarakat atau peserta ?

Pemerintah bisa saja belajar dari BUMN PT. Jamsostek tentang pengelolaan layanan jaminan kesehatan buruh kala itu. Sepertinya di masa Jamsostek minim keluhan tentang layanan kesehatan, apalagi kabar berupa defisit? Seimbangkan hak dan kewajiban peserta BPJS Kesehatan. ***

Penulis: HRD di sebuah industri perkebunan.

()

Baca Juga

Rekomendasi