PADA 2045, bertepatan 100 Tahun Kemerdekaan republik ini, kita berharap terwujudnya Indonesia Emas, yakni menjadi bangsa maju dengan mampu melebihi kemajuan bangsa-bangsa lain. Salah satu modal besar yang segera menjadi peluang keunggulan tersebut adalah bonus demografi. Menurut perkiraan, kita akan menikmati bonus demografi itu selama sekitar 16 tahun, yakni dalam rentang 2020-2036. Dalam periode ini, jumlah penduduk usia produktif Indonesia diperkirakan mencapai 52 persen dari total jumlah penduduk yang mencapai 255 juta jiwa.
Namun, banyak kalangan dan ahli mengingatkan, tanpa perencanaan dan pengelolaan mumpuni, bonus demografi itu bisa menjadi petaka. Bukan akan menjadi modal membangun bangsa, justru sebaliknya: menjadi beban berat dari semua sisi seperti ekonomi, kesehatan, sosial, dan politik. Karenanya, kesempatan emas ini tidak boleh disia-siakan. Seluruh elemen bangsa, terutama pemerintah di segala jenjang, harus berperan aktif dalam mengelolanya.
Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan saat menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-74 Republik Indonesia, Jumat (16/8/2019), membahas persoalan ini secara gamblang. Disampaikan, Indonesia harus melakukan lompatan agar bisa melampaui negara-negara lain. Caranya, membentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Kriteria SDM unggul tersebut memiliki kriteria, antara lain, berbudi pekerti luhur, berkarakter kuat, toleran, jujur, berhati Indonesia, berideologi Pancasila, berakhlak mulia, pekerja keras dan berdedikasi.
"Kita butuh SDM yang berbudi pekerti luhur dan berkarakter kuat. Kita butuh SDM yang menguasai keterampilan dan ilmu pengetahuan masa kini dan masa depan," demikian antara lain pidato Jokowi. Selama lima tahun ke depan, Presiden sendiri telah menetapkan kebijakan, pembangunan SDM akan menjadi fokus utama pembangunan nasional tanpa meninggalkan fokus pembangunan sebelumnya. Kebijakan periode ini adalah demi mewujudkan visi besar yang diusung adalah "SDM Unggul, Indonesia Maju".
Tantangan untuk mewujudkan visi di atas harus diakui sangat berat dan kompleks. Dalam banyak aspek, kita masih banyak tertinggal dibandingkan dengan banyak negara, terutama negara maju. Ketertinggalan itu bisa dilihat dari ukuran standar internasional yang berlaku. Misalnya, dari aspek pendidikan. Dunia pendidikan kita masih jauh tertinggal. Demikian juga dengan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja, tingkat pertumbuhan ekonomi yang belum optimal dibandingkan potensi dimiliki, dan tingkat kesejahteraan.
Dalam konteks inilah, lompatan kemajuan merupakan ikhtiar tak bisa ditawar-tawar. Kemajuan yang ingin dicapai, tidak bisa lagi dengan menerapkan cara biasa. Juga berbagai indikatornya. Misalnya, bila kita tertinggal selama puluhan tahun dibandingkan negara-negara lain, target capaiannya mesti bertujuan mengatasi, minimal mempertipis kesenjangan itu. Program dan kebijakan pembangunan yang dilakukan harus juga merupakan lompatan kemajuan sejauh belasan, bahkan puluhan tahun.
Benar, kita semua harus bergerak. Namun, peran terbesar berada di tangan pemerintah. Sebagai penguasa, pemerintah adalah pihak paling paham dan terdepan dalam menerjemahkan visi. Karenanya, segenap sumber daya yang ada harus dikerahkan. Melalui peran besarnya tersebut, pemerintah mengajak rakyat untuk bergotong-royong mengatasi tantangan maupun mengoptimalkan potensi yang dimilikinya untuk melakukan lompatan-lompatan kemajuan.
Di satu sisi, kita akui beratnya tugas pemerintah itu. Namun, di sisi lain, banyak hal dan realitas yang sebenarnya bisa menjadi energi kolektif untuk mengurangi beban tersebut. Dewasa ini, kesadaran akan besar dan kompleksnya persoalan bangsa telah muncul pada tataran publik. Kita bisa membuktikannya lewat kacamata sosiologis. Misalnya, kesadaran akan pentingnya meningkatkan akses dan mutu pendidikan serta akses teknologi untuk berbagai bidang.
Sesungguhnya, bangsa kita tidak pernah kekurangan potensi untuk maju. Kita memiliki banyak sumber daya. Kekurangan saat ini hanyalah nilai komparatif. Kondisi inilah yang menjadi tugas bersama untuk kita bangun sejak sekarang. Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk itu. Kita harus mau bergerak bersama. Dalam lima tahun ke depan, kita optimis andai energi besar bangsa itu dipacu sebesar-besarnya mulai saat ini. Dalam lima tahun ke depan, SDM unggul itu sudah bisa menjadi realitas dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun belum di titik puncaknya, namun SDM unggul itu telah menjadi bukti bahwa kita menikmati bonus demografi menuju Indonesia Emas!