Ke-Mabruran Seorang Haji

ke-mabruran-seorang-haji

Insha Allah, jemaah haji asal Debarkasi Medan akan tiba kembali ke tanah air. Tentu saja kepulangan mereka akan disambut dengan sukacita oleh para keluarga. Keluarga maupun jemaah haji tersebut sangat rindu untuk berte­mu. Kerinduan ini semakin memuncak menje­lang kepulangan jemaah ke tanah air.

Terlepas dari persoalan kerinduan tersebut, dalam ajaran Islam, semua aspek yang berkai­tan dengan ibadah memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Para ulama menjelaskan hikmah dan tujuan itu disebut maqashid syari’ah, yaitu ber­bagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.

Pada saat kita berada di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh ketika kita menjalankan ajaran Islam tersebut. Adapun untuk maslahat akhirat ada kenikmatan yang tiada tara yang terangkum dalam hadits qudsi:

“Allah berfirman (yang artinya): Telah Aku siapkan untuk hamba-hambaKu yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terdetik di hati manusia.”

Khusus untuk ibadah haji maslahatnya bila di dunia antara lain, menambah keimanan dan ketakwaan, menambah teman atau kolega, memahami tradisi atau napak tilas yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta Nabi Muhammad Saw.

Sementara untuk maslahat di akhirat, secara khusus Rasulullah Saw bersabda:“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.”

Apa itu haji mabrur? Haji mabrur adalah sebuah predikat yang memang tidak semba­rang orang bisa mendapatkannya. Walaupun setiap tahun banyak saudara-saudara kita yang berangkat menuju tanah suci untuk melaksa­nakan ibadah haji, tetapi yang mendapat predi­kat haji mabrur tidaklah seluruhnya, karena memang untuk mendapatkan predikat ini tidak­lah seperti membalikkan telapak tangan. Cita-cita boleh, tetapi jika cita-cita itu tidak diiringi dengan sebuah amalan dan keikhlasan, dia tidak akan tercapai.

Kita tidak tahu, mana di antara para jemaah haji yang nantinya pulang ke tanah air, kelompok para haji-haji yang mabrur. Haji mabrur bu­kanlah hanya berasal dari ucapan tetapi lebih banyak berasal dari perbuatan. Karena itu, walaupun kita tidak tahu mana di antara para jemaah haji tersebut yang mendapat ke­mabru­ran, tetapi paling tidak ada indikator yang mencoba mendekatkan kita mana haji yang mabrur dan mana haji yang mardud (tertolak)

Perlu digarisbawahi penilaian mabrur tidak­nya haji seseorang, bukanlah berasal dari justi­fikasi manusia tetapi hanya datang dari Allah semata. Manusia tidak bisa memastikan apakah haji seseorang itu adalah haji yang mabrur atau tidak. Namun, indikasi awal apakah mereka yang pulang dari tanah suci itu men­dapatkan haji yang mabrur atau tidak, para ulama me­nyebutkan adanya tanda-tanda ke-mabruran haji seseorang berdasarkan ketera­ngan Alquran dan Alhadits.

Di antara tanda-tanda apakah seseorang itu mendapatkan haji mabrur atau tidak, menurut para ulama adalah:

Pertama: Harta yang dipakai untuk haji ada­lah harta yang halal, karena Allah tidak mene­rima kecuali yang halal.

Jika harta yang kita gunakan berasal dari yang haram jelaslah, haji kita tidak akan men­capai kemabruran. Karena itu orang yang hen­dak perhaji hajinya harus bisa memastikan bahwa harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal bukan yang haram.

Kedua: dalam sisi amalan, seseorang tidak lagi berpatokan kepada banyak sedikitnya pahala amalan tersebut. Seperti jika ia salat di Masjidil Haram maka nilai amalnya 100 ribu, sementara kalau salat di Masjid Nabawi maka amalannya sebesar 1000. Dalam konteks kemabruran, hal-hal semacam ini tidak lagi ia perhitungkan, ia hanya melakukan dengan ikhlas, karena keikhlasan itulah amal bisa diterima Allah Swt.

Banyak kisah-kisah yang berkaitan dengan sisi keikhlasan ini, dan ini harus menjadi teladan bagi para jemaah haji. Ia harus menanamkan keberangkatan dan kepulangan dirinya dari tanah suci karena memang ia lakukan semata-mata demi Allah.

Ketiga: Hajinya banyak dipenuhi dengan berbagai macam amalan yang baik, seperti dzikir, salat di Masjidil Haram, salat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan dan sebagainya. Ingat haji bukan hanya berpatokan hablum minallah semata, tetapi juga banyak bersinggungan dengan hablum minanash, dan ketika itu terjadi seluruhnya dikembalikan kepada Allah.

Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.

Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam Islam, apakah itu rafats maupun fusuq. Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.

Sementara fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

Kelima: terjadi perubahan setelah ia kembali ke tanah air. Perubahan inilah yang harusnya terjadi pada diri jemaah haji. Karena ia sudah sampai kepada kesempurnaan rukun Islam. Perubahan itu adalah perubahan dari yang tidak baik menuju kepada kebaikan, bukan sebaliknya.

Dalam hal perubahan ini yang kadang-kadang bisa kita lihat pada diri seseorang yang baru pulang dari haji.

Apakah sifat-sifat syaithaniyah dan sifat kebinatangannya masih melekat di dirinya atau hilang sama sekali. Jika masih menyelimuti jiwa kita maka tentulah haji yang ia lakukan tergolong mardud (tertolak).

Inilah beberapa parameter sederhana untuk melihat apakah seseorang itu mendapat predikat haji mabrur atau tidak, dari kacamata manusia. Oleh karena itu mari kita doakan agar para hujjaj ini mendapatkan haji yang mabrur. Insha Allah.

()

Baca Juga

Rekomendasi