Oleh: Sam Edy Yuswanto. Wacana terkait diterapkannya kembali GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menimbulkan pro dan kontra. Wacana ini sebenarnya tak hanya mencuat pada pertengahan tahun ini saja, melainkan sudah pernah muncul beberapa tahun silam. Sebenarnya, sejauh mana fungsi GBHN dan seberapa pentingkah keberadaannya, sehingga perlu untuk diberlakukan kembali? Pertanyaan ini mungkin mewakili sebagian masyarakat kita. Mari kita bahas bersama-sama.
Bila kita merujuk pada laman Ilmudasar.ID, GBHN memiliki kaitan yang erat dengan pembangunan nasional di Indonesia. GBHN merupakan strategi yang dilakukan secara sistematis dalam proses pembangunan nasional dalam memberikan serangkaian perwujudan atas sikap masyarakat yang berkeadilan dan makmur berdasarkan ideologi Pancasila. Pada awalnya, GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Namun, melalui perubahan amandemen UUD 1945, GBHN menjadi tak diberlakukan lagi.
Penting Diberlakukan Kembali
Mengapa GBHN penting diberlakukan kembali? Zulkifli Hasan (Beritagar.id, 19/08/2016) berpendapat arti penting haluan negara adalah agar kekuasaan tak diselewengkan oleh selera pribadi, kelompok, dan golongan. Haluan negara menjadi rambu agar negeri ini tak mudah goyah oleh pergulatan global dan asing. Indonesia memerlukan haluan penyelenggaraan negara yang akan menjadi pedoman dasar (guiding principles) dan arahan dasar (directive principles). Ini agar kepentingan nasional kita menjadi terukur, terencana, terwujud, serta tak berhenti di pidato dan pada saat kampanye saja.
Sementara itu, dalam tulisannya (Watyutink.com, 23/05/2018) Maryono menguraikan, semenjak reformasi, kebijakan pembangunan nasional diserahkan kepada presiden terpilih. Arah kebijakan pemerintah senantiasa berubah begitu terjadi pergantian kekuasaan. Hal inilah yang meneyebabkan nasib bangsa Indonesia tak kunjung membaik. Banyak pihak meyakini, solusinya adalah menghidupkan kembali GBHN.
Tjahjo Kumolo, selaku Menteri Dalam Negeri, juga mendukung munculnya kembali GBHN dalam pokok-pokok haluan negara. Menurutnya, GBHN adalah bentuk perencanaan jangka panjang dalam pembangunan Indonesia. Ia berpendapat, negara harus mempunyai perencanaan jangka panjang, karena selama ini rencana pembanguna hanya 5 hingga 10 tahun mengikuti masa jabatan presiden. Yang mana rencana pembangun itu didasarkan pada janji kampanye (Tempo.co, 12/08/2019).
Danu Damarjati dalam tulisannya (Detiknews, 17/08/2019) memaparkan pendapat politikus Yusril Ihza Mahendra, yang juga mendukung dengan dihidupkannya kembali GBHN. Kepada wartawan, Yusril menjelaskan bahwa GBHN adalah sesuatu yang diperlukan bagi bangsa dan negara ini, agar arah pembangunan dan perjalanan bangsa selama lima tahun ke depan betul-betul merupakan kesepakatan seluruh warga bangsa yang diputuskan oleh MPR.
Tak Semua Sependapat
Tentu tak semua orang sependapat jika GBHN kembali dimunculkan. Presiden Jokowi misalnya. Wisnu Nugroho dalam tulisannya (Kompas.com, 14/08/2019) menjabarkan alasan Presiden Jokowi menolak adanya GBHN. “Saya ini produk pilihan langsung dari rakyat, masa saya mendukung pemilihan presiden oleh MPR,” ungkap Presiden Jokowi saat bertemu pimpinan media massa di Istana Kepresidenan pada hari Rabu (14/08/2019).
Selain Presiden Jokowi, Akbar Tandjung juga tak mendukung diberlakukannya GBHN kembali di negeri ini. Dalam tulisannya, Nur Azizah Rizki Astuti (Detiknews, 16/08/2019) memaparkan alasan ketidaksetujuan Akbar Tandjung, selaku Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, terhadap wacana dihidupkannya kembali GBHN. Menurut Akbar Tandjung, tidak ada urgensinya kita membuat adanya satu GBHN baru, apalagi kemudian menjadikan MPR lembaga tertinggi negara, dan kemudian pemilihan melalui MPR. Pasti nanti akan ada reaksi yang kuat dari masyarakat yang selama ini telah diposisikan sebagai pemegang kedaulatan. Kemudian terkait amendemen terbatas UUD 1945, menurutnya itu masih memungkinkan, mengingat selama ini UUD 1945 juga sudah mengalami empat kali amendemen. Namun, bila tak ada alasan jelas di baliknya, maka amendemen tak perlu dilakukan.
Harapan saya sebagai masyarakat umum, semoga pro dan kontra tentang wacana dihidupkannya kembali GBHN segera menemukan titik terang yang pada muaranya nanti dapat bermanfaat bagi seluruh rakyat dan kemajuan negeri ini. Apapun hasilnya nanti, yang jelas menurut saya, GBHN memang penting dan perlu diterapkan kembali di negeri ini. Alasannya, sebagai tolok ukur pembangunan jangka panjang ke depannya. Tentu saja, penerapannya harus berbeda dengan zaman Presiden Soeharto dulu. Juga perlu adanya pemilahan, artinya tidak sama persis dengan GBHN terdahulu. Atau dengan kata lain harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman kekinian. ***
Penulis adalah alumnus STAINU Fakultas Tarbiyah Kebumen.