Haji Mabrur

haji-mabrur

HARI ini Jumat, 23 Agustus 2019 kelompok terbang (kloter) I jemaah haji asal Sumatera Utara tiba di tanah air. Diucapkan selamat datang kepada seluruh “duyufurrahman” dengan harapan menjadi haji mabrur. Dengan suka cita kita sambut keda­tangan tamu Allah ini yang telah mengikuti serang­kaian pro­sesi ritual haji yang tidak mudah. Sebab, rukun Islam kelima ini merupakan ibadah istimewa sebagai puncak keberagamaan seorang muslim setelah syahadat, salat, puasa, dan zakat.

Ibadah haji memiliki dua makna, makna vertikal dan horisontal. Makna vertikal adalah haji sebagai manifestasi ketaatan seorang muslim kepada Sang Khaliq untuk menunaikan perintah-Nya berangkat ke Tanah Suci menuju baitullah (rumah Allah). Sedang­kan makna horisontal adalah prosesi ibadah haji syarat akan tenggang rasa dan toleransi kepada sesama. Hal itu terlihat dalam larangan ihram haji, antara lain, rafas, fusuq dan jidal, sebagaimana dalam Al quran surat al-Baqarah ayat 197. Rafas yakni mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh yang mengandung unsur keca­bulan (porno), prilaku yang menimbulkan naf­su syahwat dan berhubungan badan. Fusuq adalah segala perbuatan maksiat, baik disengaja ataupun tidak. Jidal adalah segala sikap dan perbuatan yang mengarah kepada perdebatan, per­musuhan, dan perselisihan dengan sesama.

Selain sejumlah larangan saat menunaikan ibadah haji, prosesi ritual haji yang wajib diikuti oleh jemaah haji adalah berihram, tawaf, sa’i, wukuf di Arafah, lempar jumrah,  dan tahallul, juga memiliki makna yang mendalam baik dalam dimensi vertikal atau horisontal. Selama berihram misalnya, jemaah haji mengenakan kain putih. Saat itu pula manusia dari seantero jagat, apa pun latar belakang suku dan warna kulit, harus menggunakan kain yang sama berwarna putih. Hal ini mengandung makna bahwa harus selalu menjaga kesucian dalalam bermam beribadah kepada Allah dan prinsip kesamaan sebagai mahluk Tuhan. Tidak boleh ada yang merasa lebih hebat, dalam kehidupan sosial. Prinsip, di atas langit ada langit mesti menjadi pegangan bahwa kita harus memiliki ahlakul karimah (akhlak yang baik) dalam bermasyarakat.

Doa yang selalu diberikan kepada calon jemaah haji ketika akan berangkat adalah “semoga menjadi haji yang mabrur,” sering didengar. Menjadi haji mab­rur bukanlah given atau otomatis tersematkan kepada orang yang baru pulang  berhaji. Proses berhaji yang benar, sejak keberangkatan, ongkos naik haji berasal dari hasil usaha yang halalan thayyiban (halal dan baik). Begitu pula niat berhaji seharusnya karena Allah, bukan karena gengsi sosial ingin berpredikat haji. Nilai haji mabrur memiliki keutamaan yang luar biasa.

Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hik­mah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diis­tilah­kan oleh para ulama dengan maqashid syari’ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih se­orang ham­ba, baik di dunia maupun di akhirat. Ada­pun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sab­da Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits qudsi),

Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekadar haji yang sah.  Mabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah. Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali menga­ta­kan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik lantaran jamaah haji yang baik.” Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga.

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu ma­lam ia tidur di atas kasurnya, dan ibunya me­mintanya untuk mengam­bilkan air minum. Ia mera­sakan berat untuk bangkit mem­berikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pu­jian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah. Sekali lagi, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka.

()

Baca Juga

Rekomendasi