Oleh: Jones Gultom
SEPTEMBER mendatang, Edy-Ijek genap setahun menjabat Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Utara (Sumut). Selama setahun itu, saya menilai belum kelihatan apa terobosan yang telah dilakukan keduanya. Padahal, ketika kampanye, Edy-Ijek kerap berjanji, 100 hari pertama mereka akan membuat gebrakan untuk menjadikan Sumut bermartabat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, di hari-hari pertama menjabat, Edy malah sering memunculkan kontroversi yang tidak produktif.
Misalnya bagaimana ia menampar salah seorang suporter PSMS saat tengah menyaksikan pertandingan PSMS versus Persela di Stadion Teladan, Medan, September 2018. Meski Edy telah mengklarifikasi bahwa dia tidak menampar, video yang terlanjur viral itu terlanjur dikonsumsi masyarakat dengan tendensi negatif.
Di bulan yang sama Edy, juga menuai kritik karena mengusir emak-emak yang menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sumut, Jalan Diponegoro, Medan. Kala itu sekelompok nelayan dengan membawa keluarnya berdemonstrasi meminta agar teman mereka yang dituduh merompak ikan, dibebaskan. Pengusiran terjadi saat seorang ibu menyela Edy yang tengah berbicara. Ibu itu langsung diusir dari kerumunan massa aksi.
Masih di bulan September 2018, kejutan lain diperlihatkan Edy ketika ia diwawancarai salah satu televisi swasta secara live. Waktu itu ia dicecar dengan pertanyaan seputar kepimpinannya di PSSI yang dinilai tidak maksimal. Kasus mafia skor dan timnas yang dinilai minus prestasi dijadikan sampel oleh pewawancara. Dalam wawancara langsung itu, Edy marah dan memutuskan wawancara dengan nada dan ekspresi kesal. Belakangan, Edy pun menyatakan mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI, Januari 2019 lalu.
Tidak hanya kepada masyarakat sipil, Edy juga pernah bersitegang dengan DPRD Sumut di sidang paripurna yang mengevalusi kinerjanya. Edy sempat beradu mulut khususnya dengan Fraksi PDI Perjuangan. Dalam pengantarnya, entah guyon atau serius, Edy mengatakan dirinya juga bisa mengevaluasi kinerja DPRD Sumut. Ia pun menyebut nama salah seorang anggota Fraksi PDI Perjuangan, Sarma Hutajulu yang akan ia evaluasi. Pernyataan itu membuat Sarma dan Fraksi PDI Perjuangan marah sehingga suasana sempat riuh. Edy pun meminta maaf.
Sebelumnya, Edy juga mendapat kecaman dari sejumlah bupati di KDT, terkait porsi pembagian annual fee PT Inalum yang tidak fair. Kabupaten Samosir yang mendapat porsi paling kecil protes karena secara adiministrasi wilayahnya paling luas berada di KDT. Begitu juga dengan bupati lainnya di KDT yang besaran yang mereka terima lebih rendah dari Langkat maupun Medan.
Beberapa hari terakhir ini, Edy kembali disorot publik karena ngotot akan memenjarakan sejumlah aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Medan. Pasalnya GMKI Medan menolak meminta maaf atas kerusakan gerbang kantor Gubsu saat mahasiswa ini berunjuk rasa, 26 Juli lalu.
Dalam aksinya GMKI Medan meminta agar Edy menutup sejumlah perusahaan yang merusak Kawasan Danau Toba (KDT). Karena tidak juga ditanggapi, mahasiswa menggoyang gerbang kantor Gubsu yang menyebabkan bagian atas gerbang patah. Massa GMKI berkilah tidak berniat merusak gerbang, mereka menggoyang gerbang sebagai kekesalan karena aksi mereka tidak ditanggapi.
Masih terkait Danau Toba, Edy yang mantan Pangkostrad ini juga menjadi buah bibir, sekaitan dengan beredarnya fotonya di media sosial. Foto-foto itu memperlihatkan Edy terkesan menjauh dari rombongan Presiden Jokowi saat berkunjung ke sejumlah kabupaten di KDT pada akhir Juli lalu. Foto-foto itu juga menuai respon beragam dari masyarakat.
Bermartabat
Janji menjadikan Sumut bermartabat yang menjadi taglinenya saat kampanye dulu, kini menjadi bumerang bagi Edy dan Ijek. Bagaimana pun masyarakat akan menagih sejumlah janji itu baik sebelum maupun sesudah ia terpilih. Misalnya Edy pernah menyampaikan akan merevitalisasi sungai di Kota Medan dengan menghadirkan sejumlah pakar tata ruang kota. Ia juga sempat berucap akan mengembalikan Lapangan Merdeka seperti fungsinya sedia kala. Tapi hingga 1 tahun menjabat, rencana-rencana itu masih belum kelihatan prosesnya.
Di luar kekurangannya itu, secara pribadi saya termasuk yang mengagumi sosok Edy. Selain beran, ia juga sosok yang cerdas. Meski tutur katanya yang tembak langsung dan terasa kasar untuk ukuran pejabat publik, namun bila ditelaah isinya memang berbobot. Ia pun termasuk cerdas dalam memotivasi orang.
Akhir Juli, saya simak bagaimana ia memotivasi ratusan pelajar yang menghadiri sebuah festival beasiswa yang berlangsung di Unimed. ”Saya mau tanya, kalian mau dapat beasiswa, karena tidak mampu atau karena pelit. Saya mau katakan, kalau kalian pelit, awas malaikat akan mencatat. Mau berhasil itu harus dengan perjuangan. Seribu tahun pun kalian dapat beasiswa kalau tidak berjuang, tidak ada artinya,” kata Edy.
Edy kemudian memaparkan bahwa setiap orang harus bisa beradaptasi. Ia memperlihatkan gambar dua binatang, yakni kecoa dan dinosaurus. “Dua-duanya adalah binatang purba. Tapi kecoa bisa bertahan karena mampu menyesuaikan keadaan,” katanya. Menariknya lagi, dalam kesempatan itu, Edy secara spontan menyebut besaran sudut dalam teori phytagoras. Ia menyebut berapa besar sinus 30, cosinus 45, tangent 45 dan semua jawabannya benar.
Pernah pula saya membaca berita bagaimana ia memotivasi mahasiswa pertanian di USU dalam sebuah kuliah umum. Kepada mahasiswa itu Edy mengatakan, seorang petani itu harus periang. Harus rajin bernyanyi supaya tanamannya tumbuh gembira dan senang berbuah. Saya merasa pernyataan-pernyataan Edy ini cukup unik untuk kapasitas seorang Gubernur Sumut yang selama kita hanya melulu bicara politik.
Terkadang Edy mirip mantan Gubernur Sumut Syamsul Arifin. Pernyataannya ceplas-ceplos dan tak jarang membuat audiens tertawa. Hanya saja bedanya, gaya bicara dan ekspresi wajah Edy lebih ketat, walau sedang berhumor sekalipun. Ia pun mengakui itu. Dalam sebuah wawancara dengan satu media dia mengaku memang begitulah dia apa adanya.
Karena itulah saya berharap di tahun kedua menjabat, Edy sudah harus menunjukkan janji-janjinya itu. Saya kira tidak harus jor-joran, dengan menujukkan langkah awal saja, masyarakat Sumut akan kembali mulai memberikan kepercayaannya. Contoh misalnya, dengan memulai merevitalisasi sungai bersama Pemko Medan sebagaimana yang ia janjikan. Edy mungkin bisa memulai langkah itu dengan turun ke masyarakat pinggiran sungai, mendengar dan memberi masukan. Tentu berhadapan dengan masyarakat urban, kesabaran ekstra mutlak diperlukan. Mungkin keputusan tidak bisa diambil sebulan, dua atau tiga bulan. Yang terpenting jangan mengedepankan arogansi apalagi kekerasan.
Sikap tegasnya kepada bupati/walikota, dalam beberapa kasus, menurut saya juga cukup baik. Dalam kasus ini, tinggal pesannya saja yang harus sampai ke publik. Apalagi soal pencemaran KDT yang memang penanganannya cukup kompleks itu. Saya yakin Edy juga mahir dalam urusan diplomasi.
Terakhir, Edy harus menyadari, jabatan gubernur adalah politis, berbeda dengan ketika ia masih menjadi Pangkostrad. Apalagi di masa sekarang, setiap tindak-tanduknya akan selalu menjadi sorotan publik. *** Penulis adalah jurnalis.