Tingginya Komisi Perbankan Dibanding “Fintech’’

tingginya-komisi-perbankan-dibanding-fintech
Jakarta, (Analisa). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat melontar­kan sindirian mengenai tingginya komisi (fee) yang dipungut perbankan sebagai lembaga persepsi untuk setoran peneri­maan negara, dibanding komisi yang diminta perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech).

Dalam sambutannya saat melun­curkan Modul Penerimaan Negara Ge­nerasi Tiga (MPN G3) di Jakarta, Jumat (23/8), Bendahara Negara itu mene­gaskan akan menekan perbankan agar mau menurunkan tarif komisinya.

“Sekarang ada Bukalapak, Toko­pe­dia. Itu mereka jadi mitra kami. Saya se­nang tadi dibisiki sama ‘Fintech’ bahwa komisinya lebih kecil daripada bank. Nah saya akan tekan bank,” ujar Sri Mulyani.

Sayangnya, Sri Mulyani tidak merin­ci perbandingan tarif komisi yang di­minta perbankan dan “Fintech” dalam mengelola setoran penerimaan negara tersebut.

“Menteri Keuangan memang begitu. Kalau bisa menawar, menawar terus Ja­di ini akan memberikan tekanan ke perbankan bahwa ‘hei teknologi sudah datang, kalian harus turunkan biaya’,” ujar Ani, sapaan akrabnya.

Dalam Modul Penerimaan Negara Generasi Tiga (MPN G3) atau sebuah portal elektronik baru untuk menerima semua setoran penerimaan negara, Ke­menterian Keuangan memang meli­bat­kan lembaga persepsi baru dari industri “Fintech” yakni Bukalapak, Tokopedia, dan PT Finnet Indonesia. Sebelumya otoritas fiskal lebih banyak meng­gan­deng bank umum untuk mengelola pene­rimaan negara.

Meskipun melibatkan “Fintech” yang tergolong industri baru dibanding per­bankan, Sri Mulyani meminta Bukala­pak, Tokopedia, dan PT Finnet Indonesia untuk meningkatkan kapasitasnya dalam segi keamanan dan layanan Tek­nologi Informatika.

“Ketika bayar, penerima pajak lang­sung dapat pesan elektronik dan SMS. Itu lebih bagus, aman, dan tidak akan hi­lang kertasnya. Maka itu, sekarang kalau ada pesan elektronik dan SMS dari Kementerian Keuangan, jangan dihapus. Itu bukti atau tagihannya,” ujar dia.

Dengan bergabungnya “Fintech” di MPN G3 ini, setoran penerimaan negara dapat melalui layanan dompet elek­tro­nik, transfer bank, rekening virtual (virtual account), dan kartu kredit yang di­lak­sanakan oleh agen penerimaan lem­baga persepsi lainnya seperti pusat niaga daring (e-commerce), penjual ritel, dan perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech).

Modul Penerimaan Negara Generasi Ketiga (MPN G3) ini memiliki ke­mam­puan menerima setoran penerimaan ne­gara hingga 1.000 transaksi per detik atau meningkat signifikan dari modul sebelumnya yakni MPN G2 yang hanya 60 transaksi per detik.

Sebagai gambaran, dengan MPN G3 ini, setiap penyetor penerimaan negara dapat mengakses satu portal penerimaan negara (single sign-on) agar bisa men­dapatkan kode billing untuk seluruh jenis penerimaan negara. Kemudian ko­de biling itu menjadi akun untuk menye­tor penerimaan negara.

“Ini adalah sebuah kemudahan bagi pe­nyetor dibandingkan harus mengak­ses portal yang berbeda untuk jenis penerimaan negara yang berbeda. Mo­der­nisasi sistem penerimaan negara dan pengelolaan APBN ini harus dilakukan,” ujar Sri Mulyani

Modernisasi APBN ini, ujar Sri Mul­yani, dilakukan untuk meningkatkan kolektibilitas penerimaan negara, me­mu­dahkan penyetor untuk memenuhi ke­wajibannya, dan mengadaptasi peru­bahan teknologi informasi.

MPN merupakan salah satu sistem utama di Kemenkeu. Pada 2018, dari Rp2.064 triliun penerimaan negara, Rp1.904 triliun disetor melalui MPN, atau sekitar 92 persen.

Sisanya berasal dari potongan Surat Perintah Membayar dan setoran lang­sung ke rekening kas negara. MPN juga mem­proses 95,1 juta transaksi yang me­liputi 94,9 juta transaksi dan 174 ribu transaksi dalam dolar Amerika Se­rikat. Hingga 15 Agustus 2019, MPN te­lah mem­proses setoran penerimaan negara sebanyak 58,3 juta transaksi pada seba­nyak 83 bank/pos persepsi mitra MPN. (Ant)

()

Baca Juga

Rekomendasi