Romansa di Balik Topeng Anandita (2)

romansa-di-balik-topeng-anandita-2

Oleh: Venny Mandasari

Sambungan Minggu lalu

“Kata Anandita dia tinggal sendirian. Berdua dengan pembantunya, yang katanya masih gadis. Orangtua Anandita di Singapura. Waktu pindah ada sih yang membantunya mengangkat barang, cowok yang seper­tinya sebaya dengannya.”

“Alasannya pindah kemari apa?”

“Kau ini seperti wartawan saja. Yang aku tahu, lingkungan rumah lamanya ramai. Dia nggak suka keramaian.”

“Aku ragu dengan alasan itu.” Aku memiliki intuisi lain.

“Dasar kau penulis.” Lolly memukul pundakku, membuatku tersentak. “Apa kau ingin menulis tentang Anandita?” Dia baru menyadari kenapa aku banyak bertanya tentang Anandita. Aku hanya diam.

“Hu...” Lolly mencubit pundakku kemudian pergi.

Aku termenung. Mungkin Anandita perempuan yang tak baik. Buktinya dia selalu berganti pasangan. Kata Lolly tadi, yang membantunya pindah cowok sebayanya. Mungkin pacar di kampusnya. Lalu pria pertama yang dewasa itu pasti pacarnya juga. Kemu­dian yang sekarang, laki-laki tua itu barusan mencium kening Anandita sebelum pergi. Ter­nyata di balik kecantikan dan kebaikannya, Anandita gadis yang buruk. Rasanya aku perlu menyelidikinya. Aku akan me­ngun­jungi rumahnya besok. Anggap saja sebagai riset.

* * *

Setelah lama di rumah terus, sepertinya aku perlu refreshing jalan-jalan keluar. Biasanya aku hanya ke toko buku sekadar mengecek novelku berapa yang sudah terjual. Hari ini setelah ke toko buku, aku akan menonton film di bioskop lantai atas mall. Sudah lama aku tidak menonton di bioskop. Tadinya aku ingin mengajak Lolly. Tapi nonton bersamanya sangat ribut. Semua tokoh pemain dikomen­tarinya jika menonton.

Ketika menaiki tangga eskalator, aku melihat Anandita di tangga turun digandeng cowok brondong tinggi berkulit putih. Mereka habis menonton di bioskop juga. Laki-laki itu belum pernah kulihat sebelumnya. Kenapa dia selalu bersama cowok? Apa dia tak punya teman cewek? Anandita tak menyadari dari jauh aku sedang memperha­tikannya. Menit kemudian pipi Anandita dicium oleh brondong itu. Mataku melotot melihatnya.

Saat menonton, aku tidak fokus pada cerita. Aku memikirkan Anandita. Aku baru ingat, jam segini bukankah Anandita ke kampus? Atau selama ini dia cuma mengaku kuliah? Pantas saja cowok yang mengantarnya setiap hari berganti-ganti.

* * *

Dari menonton aku tidak langsung pulang ke rumah. Rasa penasaranku memuncak. Untuk itu aku mampir ke rumah Anandita. Di luar  tampak sepi tapi aku yakin Anandita ada di rumah. Pagarnya tidak terkunci, jadi langsung saja aku masuk. Di depan pintunya, aku mengucapkan salam.

Salam pertama tak ada jawaban. Sampai tiga kali, terdengar sahutan dari dalam. Keras, namun suaranya merdu. Aku masih ingat, itu suara Anandita. Munafik!

“Siapa?” tanyanya dari dalam tanpa kujawab. Orang itu segera membukakan pintu.

“Hei, tamu istimewa rupanya,” seloroh Anandita sebaik melihatku. Meski hanya di rumah, pakaiannya sopan tertutup, mengenakan celana panjang dan baju kaos yang juga berlengan panjang. Di balik semua itu padahal dia perempuan nakal.

“Kok bengong? Masuk, dong!”

Aku tersenyum kaku.

“Tadi aku dari mall, langsung kemari. Ini kubawakan makanan.” Kukeluarkan sekotak donat yang sengaja aku belikan untuknya. Bagaimanapun dia tetanggaku. Tidak enak rasanya bertamu dengan tangan kosong.

“Wah, ada-ada saja. Dekat rumah kenapa  harus bawa buah tangan segala? Makasih ya? Aku sendiri belum sempat ke rumah kalian. Masih banyak tugas kampus,” katanya merasa tidak enak. Aku paling tidak suka suasana basa-basi seperti ini.

“Sebentar, aku buatkan minum,” katanya kemudian. Baguslah....

Kuperhatikan sekeliling rumahnya. Banyak hiasan keramik. Rata-rata guci. Dari guci kecil sampai yang besar. Rumah yang besar dan mewah. Pandanganku terhenti pada sebuah potret. Foto Anandita dengan seorang laki-laki lain lagi, berpose sangat dekat, dengan pipi yang bersentuhan. Gila!

Aku terhenyak, Anandita da­tang membawakan dua gelas jus jeruk.

“Tetanggaku cuma kau yang baru datang kemari. Bagaimana kalau kau makan siang di sini?”

“Nggak usah, aku tadi sudah makan di mall.”

“Oh, begitu ya?”

“Oya, itu fotomu dengan pa­car?” Aku menunjuk ke foto tadi. Benar-benar penasaran.

“Oh, itu abang kandungku. Sekarang tinggal di Jakarta.”

“Lalu pacarmu yang mana?” Akh, aku keceplosan. Dia memi­cing padaku.

“Ya ampun, penasaran siapa pacarku ya?” Tiba-tiba Anandita tertawa garing.  “Aku belum punya pacar.” What? Dia ber­kilah?

“Pantes, tak pernah kulihat cowok datang ke rumah ini.” Aku berusaha memancing.

“Siapa bilang?” Anandita tampak kaget dengan ucapanku. “Yang mengantar dan membantuku pindah sepupuku, cowok. Yang menjemputku di kampus tiga hari lalu, teman kampusku. Dua hari lalu, yang menjemput di kampus, pamanku. Dan tadi, aku nonton sama adik kandungku cowok, yang  manja banget sama aku. Aku memanggilnya Dul. Kami  ketemu seminggu sekali. Dia juga mengantarku sampai rumah tadi.”

Aku tak percaya dengan penuturan Anandita barusan. Dia seolah menjelaskan apa yang selama ini ingin kuketahui.

Hening beberapa saat.

“Kau sudah melupakan aku.” Tiba-tiba Anandita berucap dengan suara yang sangat pelan. Aku melihatnya menunduk putus asa.

“Maksudmu?” Aku tidak mengerti.

“Kupikir yang dikatakan Lolly benar. Katanya aku cinta pertamamu. Dia bilang kau selalu mengingatku sampai SMA. Ternyata Lolly salah dan keputusanku pindah kemari sepertinya juga salah.”

Aku menatapnya dalam. Dia juga menatapku.

“Tata...?” Aku berucap lirih.

Dia mengangguk pelan.

Itu panggilannya saat kecil. Dulu Anandita adalah tetanggaku, lalu mereka sekeluarga pindah ke Singapura. Pantas saja aku langsung terinspirasi saat melihatnya, ingin menjadikan dia peran utama dalam tulisanku. Padahal sebenarnya dia adalah peran utama dalam hidupku.

“Aku merindukanmu, Ta,” ucapku kemudian, tulus.

* Maret 2019

()

Baca Juga

Rekomendasi