Literasi Medsos Hindarkan Paparan Radikalisme

literasi-medsos-hindarkan-paparan-radikalisme

Oleh: Juandi Manullang

Media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter tidak asing lagi buat kita. Rata-rata pasti kita sudah memiliki media sosial (medsos) untuk berinteraksi maupun bersosialisasi dengan teman, sesama maupun orang lain di luar sana. Selain itu, medsos mengajak kita mem-posting foto, baik itu sedang liburan, jalan ke mal, makan maupun sebagainya serta membuat status-status sedang apa kita sekarang.

Namun, perlu disadari bahwa penggunaan medsos harus terkontrol dengan baik, apalagi untuk anak-anak usia 5-10 tahun. Mereka mungkin sudah tahu membaca, namun belum mampu berpikir kritis, mana berita yang bagus, mana foto yang bagus buat mereka konsumsi. Bahayanya, yang mereka baca dan lihat adalah berita-berita hoaks, ujaran kebencian dan penyebaran paham radikalisme ekstrem. Itu sangat berbahaya jika anak bangsa terkontaminasi hal tersebut.

Anak-anak ketika mendapatkan informasi berkaitan paham radikalisme contohnya, biasa mereka penasaran, bukan takut. Justru teroris memanfaatkan rasa penasaran itu dengan menggiring mereka untuk mengakses informasi itu, kata mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Maria Advianti, belum lama ini.

Literasi oleh orangtua

Sebab itu, lagi-lagi orangtua sangat berperan penting dalam hal memutus penyebaran paham radikalisme menyentuh pikiran anak. Orangtua adalah titik pangkal untuk mengawasi anak, mengajari dan tidak membiarkan anak menggu­nakan gadget atau handphone secara terus-menerus tanpa melarangnya.

Alangkah baiknya, untuk anak-anak dari umur balita (1-5 tahun) sampai umur 10 tahun tidak diberikan menggunakan handphone dan akses menggunakan medsos sehari-hari. Lebih baik anak tidak memiliki gadget atau handphone sejak dini ketimbang nantinya si anak akan hancur masa depannya karena perbuatannya terjerumus paham radikalisme, hoaks dan kebencian.

Perlu orangtua paham bahwa anak tidak membutuhkan gadget atau handphone pada umur yang dijelaskan tadi. Anak tidak butuh berko­munikasi sama siapa saja, apalagi sama temannya. Jika ingin berkomunikasi, bisa langsung bertatap muka saja di sekolah maupun di sekitar lingkungan rumah.

Begitupun untuk berkomunikasi dengan orangtua, sebaiknya langsung bertatapan muka saja di rumah, di sekolah sembari menjemput anak sekolah. Itu lebih baik. Orangtua harus memahami itu sejak sekarang bahwa gadget atau handphone dapat merusak masa depan anak karena dapat membuatnya terkontaminasi paham radikalisme ekstrem.

Selain itu, anak di atas umur 10 tahun sebaiknya diawasi saat diberikan menggunakan medsos melalui gadgetnya. Pengawasannya dengan memperhatikan segala kegiatannya memakai gadget tersebut, sedang melihat dan membaca apa. Sekaligus diberikan pemahaman oleh orangtua, bagaimana konten atau berita-berita yang layak konsumsi dan tidak.

Tentu orangtua sudah lebih berpengalaman dalam hal membaca dan melihat foto dan berita mana yang bermutu untuk anaknya. Maka, ajarkanlah itu agar anak tahu dan mampu memfilter setiap foto dan berita yang beredar di medsos. Kita takut kalau anak melihat foto-foto berbau pornografi, kekerasan dan sebagainya. Membaca berita-berita yang menghasut, membenci pemerintah maupun pejabat negara dan pribadi lainnya dan berita yang mengajak untuk melakukan kekerasan.

Peran orangtua di sini sangat penting dan dibutuhkan memberi literasi medsos kepada anaknya. Orangtua jangan asyik sibuk dengan gadgetnya, dengan pekerjaan maupun bisnisnya, sehingga anak telantar dan sesuka hatinya menggunakan medsos. Bahaya sekali jika sudah begitu.

Literasi medsos ini dibutuhkan untuk semua keluarga Indonesia, baik itu yang berada di perkotaan, pedesaan, di pinggiran maupun di kampung. Semua keluarga Indonesia dapat dipengaruhi dan dihasut dengan penyebaran paham radikalisme, hoaks dan ujaran kebencian. Karena itu, perlu sebenarnya sosialisasi dan perhatian mengenai literasi medsos ini. Apalagi masyarakat yang ada di kampung atau di pinggiran kota, di mana akses informasi minim kesana tentang literasi medsos ini.

Kita bangsa Indonesia tidak bisa diam dengan penyebaran paham radikalisme ini. Karena benih-benih terorisme tak pernah habis di kehidupan kita. Lihatlah pengincaran dan penangkapan oknum teroris masih gencar. Sudah banyak yang dipenjara, tetapi belum mampu membu­mihangus­kan terorisme. Tetap saja, ada oknum-oknum baru yang muncul. Begitu juga penyebar hoaks dan kebencian.

Inilah ancaman negara kita saat ini. Indonesia sedang dijajah dengan maraknya penyebaran radikalisme, hoaks di medsos. Itu adalah musuh yang harus disingkirkan sebagaimana para pahlawan berhasil mengusir penjajah, maka demikian juga kita mengusir radikalisme dan hoaks.

* Juli 2019

()

Baca Juga

Rekomendasi