Oleh: Irfan Hasibuan
BUJAS! Sontak dia terkejut mengeram kesakitan. Kaki kanannya bengkak sehabis tertimpa buah kelapa sawit. Dia terduduk sambil memegang kaki kanannya yang lebam. Tak berapa lama, dia mengambil sebiji buah kelapa sawit untuk mengobati kakinya. Sesegera mungkin dia memecahkan buah kelapa sawit itu. Dia membalurkan ke kaki kanannya yang bengkak.
Biasanya buah kelapa sawit ampuh untuk meredakan nyeri sakit pada tubuh. Perlahan rasa sakit di kaki menghilang. Tinggal denyutnya saja yang tersisa. Seperti berjalan yang tersandung batu masa silam. Tentu perihnya yang dia dapat akan mengacaukan mimpinya mala mini.
“Istirahatkah kau dulu. Minum teh manis kau dulu, sudah inang siapkan tadi pagi. Kau ambil saja di tas kerja inang di pondok itu.” Inang menyuruhnya istirahat.
“Iya, Bang. Jangan terlalu dipaksakan yang bekerja itu,” ujar Ucok sambil memasukkan buah kelapa sakit ke atas angkong untuk dikumpulkan di depan pondok.
Gimor baru saja bisa bekerja hari ini setelah beberapa hari lalu dia tak dapat bekerja. Tiga hari yang lalu dia pergi ke kota. Di sana dia bertemu dengan opung Godang yang sedang membuka toko jam miliknya. Dia meminta tolong ke opung Godang agar bisa meminjamkannya uang untuk membiayai pengobatan istrinya. Sudah beberapa tahun ini, istrinya mengidap kanker rahim. Di mana membuat istrinya tidak bisa mengandung anak.
Matahari sudah melesat jauh melintasi kepalanya. Baru setengah pekerjaan yang di selesaikan Gimor. Buah sawit yang dikumpulkan Gimor, inang, dan Ucok harus dibawa ke pengepul agar bisa berganti dengan uang.
Azan Magrib berkumandang di langit senja. Inang menyuruh Gimor dan Ucok menghentikan pekerjaannya dan mengajak mereka pulang ke rumah. Sebelum pulang, buah sawit yang sudah terkumpul dimasukkan ke dalam keranjang buah yang besar untuk dibawa pulang ke rumah. Dua keranjang buah terisi penuh, berharap besok bisa mendapatkan banyak uang dari pengepul.
Setibanya di rumah, Gimor meletakkan buah sawit di samping rumahnya juga egrek diletakkan persis di atas tumpukan buah sawit. Semua peralatan pekerjaan sudah diletakkannya dengan rapi. Setelah itu, dia mengayunkan langkah kaki masuk menuju rumah.
Di dalam rumah, dia melihat seorang wanita tertidur di atas kursi rotan. Tiba-tiba hatinya terhenyak kala melihat wanita itu tertidur pulas. Wajahnya memudar, segenggam air mata tumpah membasahi pipinya. Dia tidak kuat melihat istrinya mengalami penderitaan yang sangat menyayat batinnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya berdoa meminta pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Sejenak dia mengelus kening istrinya. Tak lama dia terbangun dan melihat Gimor berada tepat di hadapannya. Dia terkejut melihat suaminya menangis tersedu sedan.
“Bang, kau kenapa?” tanya istrinya.
“Aku tidak apa-apa, Dik.” Gimor menjawab singkat sembari mengelus lembut pipi istrinya.
“Tapi, kok Abang mendadak menangis begini.”
“Abang sedih, bagaimana caranya Abang bisa menyembuhkanmu. Aku tak sanggup melihatmu menderita seperti ini.”
“Sudahlah, Bang jangan bersedih lagi. Semua ini harus kita jalani dengan sepenuh hati. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja.”
“Iya, Dek. Abang harap semuanya akan baik-baik saja.”
Dia memeluk istrinya dengan erat. Air matanya semakin deras tumpah di pipi. Segala cara dia tempuh demi kesembuhan istrinya.
Lina, istrinya yang dia nikahi lima tahun silam mengidap penyakit kanker rahim. Penyakit di mana Lina tidak bisa mengandung anak. Seperti dihantam badai, hati Gimor dan Lina menuai luka yang teramat tajam. Lina sekuat mungkin tegar menghadapi kenyataan meskipun sesekali terbesit di hatinya bersedih tidak bisa merasakan nikmatnya mengandung.
Setiap malam sehabis menunaikan perintah Tuhan, Lina terus merangkaikan doanya ke langit. Dia ingin penyakit yang dia alami bisa disembuhkan dan bisa dikaruniai seorang anak.
* * *
Fajar menyapa. Gimor baru saja selesai mengasah parang di depan rumah. Saat dia menyiapkan peralatan pekerjaan, Inang datang menghampirinya. Di sana Inang ingin menyampaikan sesuatu kepada Gimor. Dia tidak tahu, tapi melihat raut wajah Inang yang datar sepertinya ini keadaan genting.
“Gimor. Inang mau ngomong sama kau,” cetus inang.
“Mau ngomong apa, Inang?” Gimor lekas berdiri dan menghentikan sejenak pekerjaannya.
Inang terus menatapi Gimor. Inang sangat gelisah di hadapan Gimor apalagi saat ini anaknya diterpa badai permasalahan. Demi kebaikan anaknya, inang kembali membuka perbincangan dengan Gimor.
“Gimor. Inang ingin sekali menggendong cucu. Sudah lima tahun setelah pernikahanmu Inang belum juga punya cucu.”
“Iya, Inang, aku tahu. Inang lihat sendiri keadaan si Lina. Aku enggak bisa memaksakan kehendak Inang.” Ujar Gimor.
“Kenapa kau tidak kawin lagi ? Supaya kau bisa mempunyai keturunan?” inang menyarankan Gimor untuk kawin lagi.
“Oi mak jang, Inang. Aku tidak mau. Aku sangat sayang sama si Lina.” Gimor terkejut mendengar ucapan inang.
“Kau lihatlah dia sampai sekarang belum juga dikasihnya aku seorang cucu.”
“Inang, bersabarlah. Suatu saat jika dia sudah sembuh pasti dia akan memberikan seorang cucu sama Inang.”
“Iya, tapi kapan!”
“Inang bersabarlah.”
“Kusuruh kau nikah lagi kau tidak mau. Kau pilih istrimu apa inang-mu sendiri! Sudahlah, aku pergi saja dari sini.” Inang pun pergi meninggalkan Gimor.
Gimor tidak sanggup untuk meninggalkan istrinya. Baginya, Lina adalah seorang wanita yang kuat dan sabar. Sanggup menghadapi permasalahan hidup. Itu sebabnya Gimor tidak kuasa meninggalkan istrinya. Bagi dirinya harta yang paling mulia adalah istri yang saleha.
Di luar semua pikiran Gimor, Lina tiba-tiba datang. Berderaikan air mata, Lina menyampaikan sesuatu hal. Gimor heran melihat Lina datang dengan membawa air mata.
“Bang, ada yang mau adek sampaikan sama Abang.” Cetus Lina.
“Iya bilanglah, tapi, kau kenapa menangis lagi?” Gimor mengusap air mata Lina yang membanjiri pipinya.
“Aku merestui jika Abang kawin lagi. Aku tahu kalau tak akan bisa memberikan anak untukmu juga untuk Inang.” Air matanya pun bercucuran, mendung sudah tiba di wajahnya.
“Kawin lagi? Haha..., tak mungkinlah aku kawin lagi. Satu saja sudah cukup bagiku untuk menemani waktu hidupku yang tersisa ini.” Gimor tertawa mendengar ucapan Lina.
“Bang, aku tidak enak hati sama Inang.”
“Sudahlah, Dek. Jangan kau dengarkan perkataan Inang. Yang terpenting kau akan selalu ada untukku.” Gimor mencium kening Lina dan tersenyum mengisyaratkan bahwa Gimor tak akan pergi meninggalkan Lina.
Lina mendengar percakapan Gimor dengan inang. Gegara percakapan itu, Lina mendadak hatinya terhenyak, tertimpa kata-kata dari inang barusan. Teruntuk pada impian sang mertua ia rela kalau Gimor menikah lagi.
Gimor kembali masuk ke rumah untuk mengambil beberapa peralatan kerja. Lina bediri memperhatikan suaminya keluar masuk rumah. Selang beberapa saat, inang datang ke rumah Gimor. Kedatangannya membawa hawa panas.
“Gimor! Gimor! Eh Lina mana si Gimor?” Inang membentak Lina yang sedari tadi berdiri.
“Ada di dalam Inang.” Lina menunjuk rumah.
“Kau panggil dia sekarang juga.”
“Iya, Inang.”
Lina bergegas masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah Lina memanggil Gimor. Gimor menyahut panggilan Lina di dapur. Lina mengatakan bahwa inang lagi marah-marah di luar rumah. Juga dia mengatakan bahwa inang mau bicara sama Gimor. Sekejap Gimor dan Lina keluar menghampiri inang.
“Gimor! Sekarang juga kau harus menceraikan si Lina.” Inang langsung bicara ke inti percakapan.
“Apa! Cerai?” Hati Gimor langsung terhentak.
“Iya cerai. Kalau tidak Inang yang akan menceraikan kalian berdua.”
“Alasannya kenapa Inang? Sampai-sampai Inang menyuruhku menceraikan si Lina.”
“Kau tahu, Gimor. Si Lina ini dulunya wanita penghibur. Inang tahu seletah beberapa tahun yang lalu. Si Ucok menyampaikan kebenaran ini. Dia ini wanita tidak baik, Makanya dia kena penyakit kanker rahim. Cepat kau ceraikan dia, Gimor.”
Langit tiba-tiba gelap. Petir silih beganti menyambar semesta dan angin berhembus kencang menyapu dedaunan kering. Hujan turun, teramat deras. Sekonyong-konyong air tumpah ke wajah Gimor yang sedang tertidur di pondok.
Gimor terbangun, dia menatap sekitar. Beruntung yang terjadi hanyalah mimpi yang hampir saja menjadi kenyataan. Dia tertidur setelah mengobatinya kakinya yang bengkak dan terbangun kala petir bersuara.