Oleh: Riduan Situmorang
Andil H. Siregar pernah menuliskan bahwa ada sesuatu yang benar-benar tak kita sadari terlupakan dari negeri ini: maritim. Kita lupa bahwa fisik Indonesia hampir lebih tiga perempatnya adalah lautan. Kita juga lupa bahwa nenek moyang kita adalah pelaut dan pernah jaya di laut.
Maka, terlepas dari beberapa spekulasi, saya meyakini bahwa mandeknya pembangunan di Indonesia salah satunya dan utamanya adalah karena kurangnya perhatian pada laut.
Sebaliknya, saya meyakini dan karena itu berharap, dari lautlah Indonesia akan menemukan kejayaannya. Hal itu sendiri sudah diamini Bung Karno pada pidatonya dalam National Maritime (1963)…,”untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building bagi negara Indonesia, maka negara harus dapat menguasai lautan.
Ungkapan Bung Karno ini bukanlah isapan jempol sebab dari segi geografi dan kulturnya, Indonesia merupakan negara bahari terbesar di dunia. Kenyataan nilah yang meneguhkan Indonesia sebagai negara maritim dan tertuang di UNCLOS pada 1982.
Menurut sejarah panjangnya sebagai negeri bahari, terdapat beberapa milestone atau titik waktu ketika peradaban mencapai puncak-puncak pencapaian tertingginya. Ada yang luput dari ingatan dan ada pula yang tak kita pedulikan hingga simpul-simpul generasi ke generasi lainnya seperti terputus.
Basis Kejayaan
Sekadar menyebut contoh, lihatlah bagaimana Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dapat menjadi kerajaan kuat hanya karena kemampuannya mengorkestrasi laut. Sekurang-kurangnya pada masa itu, ada beberapa periode yang membuat negeri ini diisi pencapaian luar biasa.
Menurut penjelasan yang didapat dari kitab Negarakrtagama, Kerajaan Majapahit bahkan memiliki luas wilayah lebih besar daripada negara Indonesia saat ini. Itu berarti bahwa nadi Indonesia sejak dari sononya sudah ada pada laut.dalam produk-produk kultural positifnya, terutama dalam hal kelautan.
Tentu saja kerajaan pesisir besar lainnya seperti Tarumanagara, Samudera Pasai, Bantan, hingga Ternate, Tidore, Gowa, tak bisa diabaikan sehingga pada akhirnya kita lelap dengan lagu heroik ini: Nenek Moyangku Seorang Pelaut.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia sekarang? Indonesia belum juga memanfaatkan natur objektifnya. Kita tahu, sebagai arsipelago yang terbesar dari jenisnya di dunia, Indonesia tentu berposisi dan berpotensi strategis terhadap pola dari sirkulasi global samudra. Tetapi, harus ditegaskan, kita belum sepenuhnya sadar bahwa kita masih melupakan potensi fisik tersebut.
Padahal, dalam teori pembangunan ekonomi dinyatakan, sebuah negara akan berhasil apabila pembangunannya didasarkan pada kondisi objektif geografis negara bersangkutan.
Hal ini selaras dengan semboyan yang menyatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat memanfaatkan kekayaan sumber daya wilayahnya secara optimal seperti yang telah berhasil dilakukan Tiongkok, Singapura, Jepang, Korea, dan sebagainya.
Tetapi kita justru kebalikannya. Sejak merdeka hingga era pemimpinan sebelum Jokowi, arah pembangunan kita masih berorientasi ke daratan. Akibatnya, terjadi kesenjangan pembangunan kewilayahan yang cukup besar antara Indonesia timur yang didominasi lautan dan bagian barat yang didominasi daratan.
Padahal, sekali lagi, seperti kata Bung Karno, "Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang kuat kalau rakyatnya tidak kawin dengan laut."
Potensinya Dahsyat
Rear Admiral Alfred Thayer Mahan dalam bukunya, The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783, menjelaskan, sea power merupakan unsur yang sangat penting bagi kejayaan suatu bangsa.
Dalam konteks Indonesia, hal itu relevan sekali karena negeri ini dihubungkan oleh laut yang sedemikian luas, sekitar 5,9 juta kilometer persegi, atau 75,32 persen dari total area nasional. Potensi laut kita sangat dahsyat.
Untuk setiap satu kilometer persegi air laut, selain oksigen dan hidrogen, terdapat 35 juta ton garam, 66.000 ton bromium, 200 ton litium, 50 ton yodium, serta 1 ton titanium, uranium, perak, dan emas.
Di dasar lautan bahkan masih terdapat bungkalan-bungkalan berbentuk kentang yang mengandung mangan (30-50 persen), besi (15 persen), nikel (1-3 persen), sejumlah tembaga, kobalt, titanium, dan vanadium.
Hal itu tentunya sudah sangat terang menjelaskan bahwa dengan laut, negeri ini akan hebat sehingga dia harus diberdayakan untuk kesejahteraan bersama. Caranya, tak lain tak bukan, mari kembali ke laut.
Kembali ke laut berarti kembali ke dua titik penting: masa depan dan sejarah atau kultur kita. Mari mengingat pesan Jasmerah Bung Karno. Beliau ketika meresmikan Insititut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya berharap supaya bangsa ini kembali menjadi bangsa pelaut.
Waktu itu dengan semangat Presiden Proklamator itu berkata,”Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos di kapal, melainkan dalam arti cakrawati samudera.
Bangsa pelaut mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang laut itu sendiri”.
Maka itu, marilah memanfaatkan dan mengisi kemerdekaan ini untuk kembali melaut. Tentu tidak sekadar melaut dan menjadi budak, tetapi mampu mengorkestrasi dan memanfaatkan sumber daya laut murni untuk kita. Teknologi sudah mapan dan semua sudah terbuka.
Apalagi baru-baru ini, Jokowi menggelorakan agenda Tol Laut. Dwelling time sudah semakin baik. Itu pertanda positif. Namun di atas itu, ada satu hal yang perlu dipikirkan lagi, yaitu agar pemerintahan Jokowi tak lupa mengagendakan pendidikan berbasis kelautan.
Pendidikan seperti ini pun harus diintegrasikan dengan iptek. Dengan begitu, mimpi untuk menjadi bangsa besar dapat kita wujudkan hanya dengan satu tema besar: kembali memandang laut! Nenek moyang kita jaya di sana.
Potensi kita juga ada di sana. Bukankah kita terkenal dengan Kapal Pinisi, bahkan Jokowi selepas pelantikannya berpidato di Kapal Pinisi? Sekali lagi, marilah memandang laut, demi masa lalu dan masa depan kita!
(Penulis adalah guru Bahasa Indonesia di SMA N 1 Dolok Sanggul, aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum)