Planet Bumi Diteror Global Warming

planet-bumi-diteror-global-warming

Planet bumi masih di bawah bayang-bayang teror pemanasan global atau global warming. Mau tahu ba­gaimana mengerikannya efek global warming? Sila­kan tonton film fiksi ilmiah (science fiction) berjudul Geostorm yang diproduksi Warner Bros. Film tersebut bercerita kondisi kritis planet bumi dihantam berbagai ben­cana efek dari global warming dan menyajikan gambar­an dahsyat kehancuran planet bumi di sana sini.

Oleh: Suadi

TEROR global warming ti­dak terlepas dari banyak fak­tor penyebab. Di antaranya mening­katnya produksi kar­bon monoksida dan polusi asap yang dihasilkan dari pab­rik industri dan pemba­karan jutaan kendaraan ber­motor di seluruh dunia.

Selanjutnya efek gas ru­mah kaca, perusakan hutan secara brutal, menipis­nya jumlah pepo­honan hijau di planet bumi, dan pemboros­an penggunaan energi baik berupa energy listrik, minyak bumi, batubara maupun bio­diesel.

Dalam film Geostorm yang rilis pertama kali 11 Oktober 2017 dan dibintangi Gerard Butler tersebut diper­lihatkan bagaimana upaya umat manusia khususnya il­muwan utusan dari 17 ne­ga­ra bersatu membangun sis­tem satelit pengon­trol cuaca yang dinamakan Dutch Boy.

Upaya tersebut berhasil menetralkan dampak dah­syat global warming yang sebe­lumnya dina­rasikan di pem­buka film memicu es kutub me­le­­leh, temperatur udara me­ningkat tajam dan pola cuaca berubah-ubah sehingga menyebab­kan badai es di Af­ghanistan, kekeringan, ban­jir, angin topan tornado dan badai petir di berbagai belah­an dunia.

Tentu kita tidak mau hal itu terjadi dalam kehidupan nyata. Namun, akibat ulah se­gelintir manu­sia serakah yang bersembunyi di balik to­peng korporasi, dampak-dampak global warming yang ada di film satu per satu sudah muncul dan menghan­curkan planet bumi. Gempa bumi se­cara tiba-tiba, gu­nung api meletus padahal berstatus tidak aktif, banjir di sana-sini dan kekeringan me­landa lahan pertanian.

Apakah itu bagian dari dam­pak global warming yang sangat mengkhawa­tirkan peng­huni planet bumi?

Wallahu a’lam. Kita tidak tahu. Kemungkinan besar ya, karena alam sudah menun­jukkan tan­da-tanda agar ma­nusia sadar dan bertobat me­la­kukan langkah preventif se­kaligus kuratif untuk me­lestarikan alam lingkungan sekitar.

Planet bumi sudah tua. Merujuk data dari Wi­ki­­pe­dia, usia planet bumi diukur melalui pe­nanggalan radio­metrik meteorit dan usia be­batu­an tertua yang diteliti ter­nyata usia planet bumi sudah mencapai 4,543 miliar tahun. Hasil studi/riset teranyar dari University of East Anglia, Ing­gris memprediksi bahwa planet bumi masih bisa ber­ta­han sampai 1,75 miliar ta­hun mendatang.

Kondisi planet yang sudah tua berungkali digambarkan dalam film sains fiksi di ma­na kondisi planet bumi sudah tidak layak ditinggali dan ma­nusia dengan teknologi­nya berusaha melakukan mig­rasi mencari kehidupan/koloni baru sampai ke luar angkasa mencari planet baru yang bisa dihuni seperti di­gambarkan dalam film Interstellar dan Armageddon.

Bahkan dalam kehidupan nyata, bulan Oktober 2016 seorang ilmuwan Rusia, Igor Ashur­beyli meluncurkan se­buah proyek gila-gila­an, yai­tu menciptakan negara anta­riksa ber­na­ma Asgardia yang di­proyeksikan akan me­nam­pung ratusan sampai jutaan manusia.

Mereka dirancang akan mengapung di ang­kasa di atas ketinggian antara 161-321 kilometer dari permukaan bu­mi. Jumlah pendaftar dari seluruh dunia untuk menjadi warga negara Asgardia pada 2017 sudah mencapai 280.­000 orang, termasuk 10.000 orang dari Indonesia.

Kondisi planet bumi yang sudah sangat tua itu makin di­perparah dengan aktivitas eksploitasi besar-besaran oleh segelintir manusia tanpa perduli kerusakan lingkung­an di sana-sini. Lahan rawa-rawa ditimbun dibangun pe­rumahan di atasnya dan jalan air (got, sungai, biopori) di­sumbat dengan beton yang dibangun.

Lapisan kulit bumi yang sudah tua pelan-pelan dibor, dikeruk dan dipreteli dalam aktivitas tambang. Sementara Pohon-pohon besar berku­rang drastis diambil kayunya untuk kebutuhan rumah tang­ga (perabot, meubel, tu­lang rumah) maupun untuk industri.

Efek dominonya, sumber air bersih baik air dalam ta­nah, sungai, danau dan telaga tercemar berat. Perbukitan dan dataran tinggi ambrol long­sor tiba-tiba. Banjir ti­dak terelakkan di mana-ma­na.

Hal yang paling menge­rikan, iklim dan temperatur cuaca mengalami anomali di seluruh dunia. Lebih horror lagi, di atas angkasa planet bumi juga penuh polusi, asap pabrik dan asap kebakaran hutan.

Menurut data dari Global Carbon Project, total planet bumi menghasilkan gas emi­si CO2 sebesar 46 miliar met­rik ton.

Ada empat negara pengha­sil emisi dan polusi terbesar di dunia, yaitu Tiongkok yang menghasilkan emisi se­besar 10.357 juta metrik ton per tahun, Amerika Serikat 5.414 juta metrik ton, India 2.274 juta metrik ton dan Rusia 1.617 juta metrik ton.

Saking parahnya, kawasan industri dan kota-kota di ne­gara tersebut selalu berkabut dan tidak mendapatkan sinar matahari cukup.

Hari Bumi Tinggal Sere­mo­nial

Tanpa disadari, planet bu­mi benar-benar diambang kia­mat. Rentetan kerusakan di sana-sini yang memicu glo­bal warming bukan mus­ta­hil hal itu mengundang ba­nyak bencana dan mencip­ta­kan kiamat lebih dekat.

Ma­nusia sebagai aktor utama sudah pasti men­cip­­ta­kan kiamatnya sendiri. Tanpa kesa­daran kolektif di seluruh dunia, maka mustahil pence­gahan global warming ter­wu­jud.

Tanggal 22 April memang menjadi tonggak adanya Hari Bumi yang terus diper­ingati tiap tahun guna me­nya­darkan kondisi bumi terkini. Namun, tanpa aksi di seluruh dunia dan seluruh la­pisan dari masyarakat awam sampai pemegang pemerin­tahan, maka momen tersebut tinggal seremonial belaka. Seremoni yang diperingati dengan takzim tapi ompong tindakan nyata di lapangan.

Banyak gerakan perduli lingkungan seperti protocol Kyoto yang diratifikasi 181 negara di dunia dan Green­peace. Lembaga-lem­baga lain­ yang perduli isu ling­kungan baik luar dan dalam negeri, juga aktif menyua­ra­kan hal serupa.

Namun semuanya kurang greget, karena korporasi be­sar dengan modal raksasa sukses mem­bungkam semua lembaga maupun peme­rintah setempat dengan senjata uang yang disa­markan dalam ben­tuk investasi. Sehingga mere­ka leluasa mengeruk dan mengeksploitasi lingkungan.

Memulai dari Individu

Isu global warming me­mang terdengar sema­cam film sains fiksi itu sendiri. Banyak orang per­caya, tapi tidak perduli dan masa bodo. Kon­disi seperti itu mungkin karena bencana yang diwan­ti-wanti akibat global warming memang belum datang menghantam. Jika sudah da­tang lalu sadar dan bertobat, maka sudah terlambat dan ti­dak ada gunanya.

Ada hal-hal kecil yang bi­sa dilakukan tiap individu un­tuk menangkal global warming. Diantaranya adalah hemat menggunakan bahan bakar fosil, menanam pohon hijau di sekitar rumah dan la­han yang dipunya, hemat lis­trik, dan memaksimalkan ener­gi alternatif.

Global warming sudah la­ma didengungkan oleh para ilmuwan seluruh dunia dan meminta semua manusia per­duli dan melakukan upaya menangkalnya sedini mung­kin. Jika bukan dimu­lai dari diri kita sendiri, lantas mau berha­rap dari siapa lagi untuk perduli isu global warming itu?

(Penulis alumnus S1 UM­SU & S2 UNNES. Dosen STAIN Mandailing Natal)

()

Baca Juga

Rekomendasi