Benteng Penyu, Pangeran Diponegoro, dan Sejarah

benteng-penyu-pangeran-diponegoro-dan-sejarah

Soal lidah, Coto, Mie Tietie, Bebek Pelekok, Konro, dan Pisang Ijo suah dikenal sebagai makanan khas Makassar, Sulawesi Selatan. Soal tempat, Pantai Losari juga tak kalah terkenal. Bicara Makassar, tak lepas pula dari bangunan-bangunan bersejarahnya, karena masih banyak peninggalan Kerajaan Gowa. Misalnya?

Oleh: Elfa S. Harahap. Pernah dengar Benteng Penyu? Lokasinya hanya berada satu kilometer dari Pantai Losari yang sudah mahsyur di telinga. Panasnya Losari disambut angin sepoi-sepoi cocok untuk segera melangkahkan kaki ke Benteng Penyu. 20 menit berjalan santai, Ben­teng Penyu terlihat diramaikan belasan becak dayung. Becak disini, seperti kebanyakan becak di Jawa. Dimana, pengemudinya ada di belakang dan penum­pang di bagian depan. Untuk menarik perhatian, becak dicat warnah cerah. Di bagian kanan sebelum pintu masuk, didesain taman mini dan tulisan ‘FORT ROT­TERDAM’. Di cat merah agar memudahkan pengunjung menemukannya.

Seperti benteng kebanyakan, Benteng Penyu atau biasa disebut Benteng Fort Rotterdam dipagari din­ding-dinding dari batu nan tinggi. Benteng bertingkat dua tersebut dijamin kokoh meski sudah 474 tahun berdiri. Sebab, batu yang digunakan adalah Batu Padas dari wilayah Maros. Pintu masuk dipagari besi berwana hitam setinggi tiga meter. Dua langkah melewati pagar hitam, pengunjung wajib berhenti sejenak untuk mengisi daftar pengunjung di sebuah pos sebelah kiri. Masuk ke wilayah benteng tidak dipungut biaya. Pengunjung hanya membayar biaya masuk jika ingin melihat koleksi museum.

Begitu memasuki halaman benteng, rumut hijau adalah pemandangan pertama yang menyita perhatian. Di batas rumput dan bangunan, ada jejeran pohon palem yang sudah meninggi. Dari 16 bangunan seluas 11.605, 85 meter persegi, yang didirikan di lahan 2,5 hektare, satu berada tepat di tengah-tengah. Secara fisik tidak berbeda dengan bentuk bangunan lainnya. Hanya dibedakan ukuran. Bangunan ini merupakan bangunan tunggal, tanpa tersambung dengan bangunan lain. Bangunan dijadikan tempat beribadah atau Gereja saat ini.

Biaya masuk ke dalam museum La Galigo sebesar Rp. 5.000 untuk orang dewasa dan Rp. 3.000 bagi anak-anak. Museum La Galigo memberikan informasi sejarah tentang zaman prasejarah saat masyarakat Sulawesi Selatan menggunakan senjata kuno, budaya Bugis, pajangan kitab kuno, patung Buddha pakaian adat, pelaminan Bugis, peralatan nelayan dan yang tak ketinggalan untuk dilihat adalah lukisan Soekarno. La Galigo terletak di sebelah kanan pintu masuk dan yang kedua berada di seberangnya, atau sebelah kiri pintu masuk. Memasuki kedua museum, pengunjung hanya membayar satu tiket saja.

Melihat ke teras museum, ditemukan penjual aksesoris. Mulai dari mainan kunci, hingga baju bertuliskan ‘Makassar’ yang bisa dibawa pulang untuk buah tangan. Selesai mencuri ilmu sejarah di museum, kita masih bisa melihat banyak hal. Terutama melihat spesifikasi benteng kokoh ini. Totalnya, ada lima benteng yang dibangun. Benteng pertama diberi nama benteng Bone. Benteng Bone dibangun di sebelah Barat atau di bagian tengah. Benteng Bacan diletakkan di sudut Barat Daya. Ada pula Benteng Buton di arah Barat Laut, Bastion Mandarasyah di Timur Laut dan terakhir Amboina di Tenggara.

Pohon-pohon rindang menaungi beberapa mahasiswa yang sedang berdiskusi sambil bersila. Tidak jarang benteng Rotterdam dijadikan sebagai tempat berkumpul mahasiswa yang ingin belajar sambil mengingat sejarah. Sesekali, terlihat pasangan yang menjalani prosesi pra-wedding. Apalagi siswa-siswi yang hilir mudik membawa rasa penasaran soal museum.

Kaki kembali melangkah lebih jauh. Bergeser ke arah Se­latan, sejarah museum tidak hanya menyoal peninggalan-peninggalan lawas. Jika dari pintu masuk, ruang mungil ini menghadap ke utara. Bentuk bangunan seperti kamar tahanan. Ya, memang ruangan yang dijadikan kamar tahanan. Papan kayu berbentuk tanda panah bertuliskan ‘Ruangan Diponegoro’ ditulis di atasnya. Pangeran Diponegoro pun ikut merasakan bagaimana dinginnya salah satu ruangan Fort Rotterdam. Pasca pecah perang 1825-1830, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda dan dipindahkan ke Manado. Tak lama di Manado, Fort Rotterdam menjadi lokasi tahanannya berikutnya. Ruangan dilengkapi pintu dan jendela. Pintu terkunci dan isi dari ruang bisa dilihat dari jendela. Jelas terlihat sebuah tempat tidur, kursi, meja dan peralatan sholat. Semua barang-barang yang ada disana merupakan kepunyaan dari Pangeran Diponegoro.

“Ruangan ini lebih sering ditutup. Ada sih, pinu di bagian belakang. Sepertinya untuk petugas saja. Tidak banyak barang yang ada di ruangan. Melihat dari jendela saja sudah cukup sih,” kata seorang pengunjung asal Makassar.

Matahari sudah mundur ke ufuk Barat. Panas tinggal meninggalkan bias jingga. Saat hari sudah seperti ini, aktivitas yang paling asyik dilakukan adalah duduk di atas benteng. Tepat sebelah kiri pintu masuk, ada jalan dua meter menuju atas benteng. Tempat ini merupakan ruangan terbuka. Dari atas, terlihat jelas sekeliling benteng yang sudah dipadati hutan beton. Satu-satunya yang terlihat luas adalah Pantai Losari.

Wajar, Fort Rotterdam terletak di tengah kota. Tepatnya di Jalan Ujung Pandang, Bulo Gading, Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sudah bisa dikunjungi pukul 06.00 waktu setempat hingga 18.00 WITA. Khusus weekend bisa sampai pukul 19.00 WITA.

Sejarah

Bangunan bersejarah Fort Rotterdam dibangun pertama kali oleh Raja Gowa ke-9, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa ‘risi’  Kalonna. Pertama kali dibangun, bahan dasar bangunan sebenarnya hanya dibuat dari tanah liat. Berganti menjadi Batu Padas setelah Raja Gowa ke-14, Sultan Alauddin bertahta. Inti dari pembangunan Benteng Penyu ada pada bentuknya. Disebut Benteng Penyu karena memang bentuknya yang dirancang mirip Penyu. Mengapa Penyu? Secara harfiah, Penyu adalah binatang yang diciptakan untuk dapat hidup di darat dan lautan. Kerajaan Gowa juga menjadi kerajaan yang sukses di daratan dan lautan selama kepemimpinannya turun-temurun.

Benteng Penyu dan Fort Rotterdam adalah dua dari tiga nama yang ada. Nama lainnya yang juga dikenal adalah Benteng Ujung Pandang karena letaknya yang di Ujung Pandang. Dikenal sebagai Fort Rotterdam sejak Cornelis Speelman berhasil merebut benteng dari kerajaan Gowa untuk dijadikan pusat penampungan rempah-rempah untuk wilayah Indonesia Timur sejak tahun 1667. Fort Rotterdam diambil dari nama wilayah di Belanda, yang tidak lain adalah tempat kelahiran Cornelis. Sejak saat itulah Benteng Penyu lebih dikenal sebagai Fort Rotterdam dan sangat sedikit wisatawan yang mengetahui sebutannya sebagai Benteng Penyu. ***

(Penulis adalah Alumni UKM-LPM Teropong UMSU)

()

Baca Juga

Rekomendasi