Badut

badut

Oleh Azmi TS. MENDENGAR kata badut, orang akan teringat kepada prila­ku kocak yang biasa menghibur da­lam arena seni pertunjukkan. Badut ini sering muncul dalam pertunjukkan sirkus, terutama ketika parade lainnya sudah selesai.

Dengan cepat penonton akan bereaksi riuh ketika muncul. Kehadiran para badut ini membawa kesan tersendiri pula, sehingga penonton terpuaskan.

Terkadang juga para badut ini muncul dalam acara peringatan ulang tahun yang sangat digemari anak-anak. Selain penam­pilannya yang mengundang tawa, juga tindak tanduknya terkesan mengarah kepada humoris.

Tanpa bicara sepatah kata pun, dengan gestur, dia sudah benar-benar lucu. Gerak-geriknya mirip gaya para pemain pantonim, dengan asesoris yang juga tak kalah lucunya.

Bahkan ada sebahagian penonton, hingga seniman yang sampai mengidolakan tokoh badut itu. Badut pun sudah tak dapat leluasa ber­gerak, tetapi kelucuan itu masih terlihat ada­nya, dalam makna penafsiran yang ber­beda. Ternyata para badut ini sudah ber­ubah, tempa­tnya tidak di atas panggung, tetapi sudah berada dalam lukisan di atas kanvas.

Pelukis Dede Eri Supria punya cara lain untuk mengungkapkan ekspresi tentang para badut ini. Beberapa tampilan badut dikemas dengan menggunakan dirinya sendiri sebagai model objek lukisan. Cara ini lebih aman ketimbang meminjam tubuh orang lain yang akan ia sindir. Jadi dari dalam dirinya dia buat perumpaan, sehingga ekploitasi apa pun pastinya berkaca dari diri pribadinya.

Gaya seperti ini juga selalu dipergunakan pelukis lain, seperti Affandi, Van Gogh, dan lainnya. Bedanya, kalau Affandi melukiskan dirinya karena kehilangan objek yang sedang dicari. Sebagai pelampiasan kekesalan itu, dia tumpahkan sepenuhnya kepada wajahnya sendiri. Sedangkan Dede, objek dirinya adalah sebagai jalan pintas untuk mengkritik dirinya dahalu, baru ditujukan ke orang lain.

Lukisan-lukisan badut Dede adalah suatu gayanya untuk memarodikan kehidupan sosial kaum urban, terutama yang berjejal di ibu kota. Kita sering menyaksikan fenomena sosial di kawasan ini banyak menggambarkan miniatur problem sosial dan budaya. Ketim­pangan masalah tinggal di kota besar, begitu gamblang tersaji menyiratkan relung lain tentang ibu kota.

Relung yang bermakna kehidupan menjadi relung imajinasi Dede yang mele­dak-ledak, muncul dalam sapuan kuas nan unik. Kema­hiran menyatukan objek dengan lin­tasan cahaya jadi kelebihan makna lu­kisannya. Seniman yang mengandalkan intui­si dalam lukisan Dede ini, begitu menyentuh batin si penikmat lukisan bergaya realis.

Dalam luksannya yang lain, ia juga ingin mengkritik para politikus yang rakus kekua­saan, sehingga melupakan nasib kaum miskin. Istilah para badut mungkin saja krusial, sudah tak lucu lagi, tapi anehya badut-badut politik tetap saja tak bergeming. Walaupun sindiran sudah berulang-ulang di lontarkan Dede lewat lukisan, tetap saja badut politik itu merajalela, malah lebih serakah.

Selain berisi parodi politik, lukisan Dede juga banyak mengesankan membela nasib kaum terpinggirkan di Jakarta. Daerah ibu kota memang banyak membuat orang mengimpikan hidup hedonisme (lebih berkecukupan), tetapi harus bersaing dulu. Terkadang persaingan itulah yang menim­bulkan gesekan sehingga tindak kriminal semakin tajam.

Kehidupan di ibu kota yang dihuni beragam strata sosial inilah yang menjadi perhatian seorang pelukis realisme seperti Dede. Selain lahir dan besar di ibu kota, tentu dia punya memori kenangan indah dan pahit.

Tak mengherankan dari sudut pandang mana pun, wilayah Jakarta sudah masuk dalam radar visualnya. Sejak berkiprah, Dede memang tampil lain, terutama caranya memunculkan multidimensi warna dan perspektif dari pelukis sealiran dengannya.

Radar-radar visual itu diolahnya lagi dengan berbagai studi lingkungan, sehingga lukisan Dede ibarat sekumpulan mosaik kehidupan. Kepingan memori ibarat kisah perjalanan sebagai penduduk sekaligus seniman dia rangkai dalam satu bingkai. Kepingan yang tercabik-cabik itu seolah-olah seakan mencuat menjadi elemen visual.

Melihat elemen visual yang diutarakannya melalui lukisan badutnya, menyiratkan berapa ia punya kepekaan rasa di atas rata-rata. Sungguh langka pekanya, dia menyiasati apa pun suka duka tinggal di ibu kota. Selain bisa bertahan hidup, tentunya dia juga peduli terhadap lingkungannya sendiri. Itulah pilihan sulit buat seniman otodidak seperti dirinya.

()

Baca Juga

Rekomendasi