Ketika Demokrasi Menjadi Democrazy!

ketika-demokrasi-menjadi-democrazy

Oleh: Ahmad Afandi

PERISTIWA terbakarnya 3 polisi saat mengamankan demo yang di­do­minasi mahasiswa di wilayah Cianjur menyadarkan kita semua akan mana sesuatu yang benar dan salah. Terkhusus bagaimana cara seseorang memaknai kata demo­krasi. Yang kemudian kata tesebut selalu berwujud demonstrasi sebagai bentuk aktualisasi. Maka penting pula tentang bagaimana setiap kita bersikap sebagai pemberi hak demokrasi. Harus diakui, peristiwa yang disinggung di atas merupakan peristiwa bersejarah, bukan ditoreh dengan tinta emas melainkan tinta hitam sebagai simbol mencoreng proses demokrasi yang sebenarnya sedang dievaluasi negara dari segi hukum dan etisnya. Tentu bukan hanya dengan cara demonstrasi. Bagaimana mungkin sebuah prinsip memperoleh keadilan merusak proses keadilan itu sendiri.

Bahwa jalan mencari keadilan itu dibutuhkan pengorbanan itu benar, namun bukan sesuatu yang dikorbankan merusak kebahagiaan orang lain, lucunya bahkan sampai melukai orang lain. Jadi, kalau banyak elit politik yang mengatakan masyarakat kita telah dewasa dalam berproses mencari dan menemukan keadilan lewat demokrasi, bagi saya itu hanya gimik belaka. Lihatlah contoh dari orang-orang yang jelas-jelas memiliki rekam jejak pendidi­kan tinggi, sekelas mahasiswa yang seharusnya termasuk dalam orang-orang dewasa berdemokrasi malah merusak semua arti padanan kata demokrasi itu sendiri. Miris sekali!

Boleh setuju atau tidak, kata demokrasi akhir-akhir ini berubah makna menjadi demo-crazy. Meski hanya asumsi saya yang mengambil dua kata yang kurang lebih ber­makna sebuah “Demo Gila”, jika di­ban­dingkan dengan realita pada hari-hari ini dibenarkan oleh be­berapa orang di sekitar kita. Entah da­tang dari golongan mana, orang-orang ini pula seperti sengaja meng­geser makna demokrasi yang di­maksud. Mungkin alasan eksis­tensi atau hanya sekedar ikut-ikutan be­laka. Atau barangkali sudah tersusun secara sistematis dari upaya peng­hancuran prinsip dari makna demo­krasi itu sendiri.

Demo+Crazy yang saya sebutkan merupakan 2 implikasi maksud dari berjalannya demokrasi. Yang perta­ma, faktor tidak terwujudnya keinginan dari pihak yang bersang­kutan dengan beberapa dalil pem­bela­an. Yang kedua, setiap hal yang ti­dak dapat lagi menimbulkan ne­go­siasi, maka cara paling kotor biasa­nya sudah dipersiapkan. De­ngan artian, demokrasi dirusak oleh me­reka yang bergelut di dalamnya de­ngan tujuan mencari jalan kea­dilan. Pertanyaan besar kita yang mun­cul, apakah demokrasi jalan me­nuju terciptanya keadilan atau de­mokrasi menciptakan banyak ke­mu­ng­kinan pertikaian yang mampu menyulut emosi, barulah tercipta keadilan?

Contoh, jika kita runut kejadian terbakarnya 3 polisi Cianjur, awal mula terjadinya tiga anggota polisi Cianjur terbakar ini, saat gerom­bolan mahasiswa melakukan unjuk rasa untuk menyuarakan aspirasi berkaitan dengan evaluasi adanya pe­ng­ang­guran atau sedikitnya kapangan pekerjaan, serta pen­didi­kan di Kabupaten Cianjur. Namun, saat melakukan aksi, mereka tak berhasil menemui pimpinan daerah yang dimaksud para gerombolan mahasiswa. Hal inilah yang mem­buat pengunjuk rasa melakukan aksi bakar ban. Peristiwa pembakaran ban meluapkan emosi para maha­siswa yang kemudian beberapa orang menyerukan untuk menyiram­kan bensin di kerumunnan polisi yang menghadang.

Dengan cepat api menyambar polisi yang terkena siram bensin. Maka jika kita balik sedikit jauh ke belakang. Kita masih ingat bagai­mana gerakan mahasiswa adalah gerakan paling ditakuti di Indonesia saat tahun 1998 di mana pemerintah diktator berjalan lebih dari puluhan tahun, dengan ide, inisiativ, gagasan ditambah gerakan para mahasiswa mengepung dan memerdekakan hak masyarakat yang selama ini dikuasai penuh negara. Hal tersebut masih bisa dikategorikan sebagai hal besar, dengan catatan “sama biadabnya” dengan kasus Cianjur.

Yang jelas para pelaksana dari kegiatan sejarah dan Cianjur yang lalu merupakan orang-orang pencari keadilan. Mereka yang ingin benar merasakan kemerdekaan tanpa ditindas siapapun. Bedanya kasus Cianjur merupakan nol koma sekian persen saja contoh yang diperjuang­kan. Dan saya yakin para mahasiswa yang berdemonstrasi telah mem­per­hitungkan segala tindakan yang mungkin terjadi. Menurut data beberapa orang yang diduga meru­pakan mahasiswa aktif. Selain itu, ditengarai oleh para provokator yang kemudian memancing mahasiswa lain menyiramkan bensin kepada pihak kepolisian.

Saya tetap berprasangka baik, namun saya tetap mengutuk keja­dian tersebut dan sepenuhnya adalah para pendidik dan terdidik dari kam­pus yang bersangkutan. Pasal­nya dalam Undang-undang dijelas­kan jenis demo yang dilarang se­ba­gai­mana diatur dalam Peraturan Ka­polri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pela­ya­nan, Pengamanan, dan Pe­na­nga­nan Perkara Penyampaian Pen­dapat di Muka Umum (“Per­kapolri 7/2012”), beberapa di antaranya yaitu: demo yang menya­takan per­mu­su­han, kebencian atau pe­ng­hina­an, de­mo tanpa pem­berita­huan ter­tulis kepada Polri, demo yang me­li­bat­kan benda-benda yang mem­bahayakan.

Kedepankan Keadilan

Salah satu unsur yang dilanggar dalam Undang-undang tersebut akan dikenakan sangsi hukum pidana serta denda yang harus dibayarkan bila terdapat pihak yang dirugikan. Sehingga muncul sebuah persepsi bahwa demo juga harus memiliki konsep dan skema yang baik. Dikonsep secara berkeadilan serta memiliki aturan yang harus diper­tim­bangkan. Tanpa perencanaan yang baik dan matang, proses demokrasi yang harusnya ditempuh akan melahirkan proses demo+crazy yang dimaksud.

Akan ada demo gila lainnya yang tentu sama sama tidak kita harapkan. Satu hal penting yang mesti diwujud­kan dalam hal ini yakni jangan sampai demonstrasi menghilangkan visi dan tujuan dari kegiatan tersebut. Satu hal yang mengedepankan nilai keadilan itulah yang harus dijunjung. Na­mun tetap, bukan dengan cara apa­pun yang penting tercapai me­lain­kan berdasarkan norma-norma dan nilai yang berlaku. Khususnya menjunjung tinggi nilai ketimuran bangsa ini. Jika visi dan tujuannya sudah sangat jelas, jangan belokkan dengan visi yang lainnya. Dalam hal ini diperlukan kordinator lapangan yang berwibawa dan bertanggung jawab menyam­bungkan pendapat dan aspirasi dari pihak penuntut dan pihak yang dituntut ditambah para petugas keamanan.

Selanjutnya, upaya untuk mencapai tujuan dari kegiatan demonstrasi sebenarnya adalah bentuk evaluasi bersama dari pihak pemerintah selaku pembuat kebijakan. Adapun yang harus diperbaiki seperti yang disinggung di atas bahwa ja­ngan sampai setelah ada kegiatan demonstrasi barulah hak terpenuhi. Sangat mudah sebenarnya jika dua jiwa yang te­nang dan kepala-kepala yang dingin bersanding, demons­trasi akan menjadi sebuah forum uji siapa yang benar dan siapa yang salah. Kemudian hasil mufakat yang didapat adalah bentuk hak yang harus diwujudkan. Perlu koordinasi dan sinergitas antara pengguna wewenang dan penerima hak melalui cara-cara terbaik. Dan tak perlu adalagi sejarah demokrasi yang dicoreng oleh tinta hitam bahkan oleh mereka yang berpendidikan. Semoga saja, terimakasih! ***

Penulis adalah mahasiswa perbankan syariah Universitas Potensi Utama Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi