Oleh: Deddy Kristian Aritonang
MENJADI seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak dapat dimungkiri, merupakan cita-cita yang didambakan oleh banyak orang di negeri ini. Bagaimana tidak, profesi ini dianggap memberikan garansi atau safety ketimbang profesi-profesi yang bukan ASN atau orang-orang yang bekerja di perusahaan swasta.
Komparasinya seperti ini. Saat seseorang sudah pensiun sebagai ASN, ia akan tetap mendapatkan gaji tiap bulannya. Berbeda dengan pekerja swasta. Kalau tidak punya tabungan yang mencukupi, masa pensiun boleh jadi akan berubah menjadi saat-saat mengkhawatirkan. Sebab pada saat produktivitas sudah tidak memadai lagi, tuntutan hidup tetap mengharuskan diri untuk mencari penghasilan.
Keunggulan itulah yang diyakini menjadi daya tarik kuat profesi ASN. Ini sekaligus menjadi jawaban mengapa banyak orang yang berlomba-lomba menjadi PNS. Lihat saja setiap kali pemerintah membuka lowongan ASN (Calon Aparatur Sipil Negara), pendaftarnya selalu membludak.
Belakangan muncul gagasan yang cukup menyita perhatian masyarakat. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Syafruddin membuka kemungkinan bagi para ASN untuk bisa bekerja dari rumah. Jika ditafsirkan sekilas, gagasan ini akan menambah daya tarik profesi sebagai ASN. Sudah dapat kepastian dana pensiun, jam bekerjanya pun sangat fleksibel.
Meski masih sebatas wacana, ide itu tampaknya sangat serius. Pemerintah dikabarkan akan terus mengkaji sehingga rencana itu bisa diimplementasikan pada tahun 2024. Inspirasi atas gagasan ini muncul setelah melihat eksistensi perusahaan-perusahaan rintisan (startup). Mereka lebih banyak beroperasi dengan mengandalkan kecanggihan perangkat digital. Orang-orang di bidang itu sekarang bisa bekerja kapan saja dan di mana saja. Mereka tidak terikat oleh waktu dan tempat namun menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam bekerja.
Dikaji Secara Matang
Memang harus diakui, perubahan besar-besaran era digital membawa efek domino terhadap dunia kerja. Pada satu sisi, teknologi mendatangkan banyak kemudahan dan meningkatkan efektivitas kerja. Tapi di sisi lain, kemunculan artificial intelligence atau kecerdasan buatan sebagai salah satu marka kemajuan era digital, menyebabkan banyak pekerjaan manusia yang mulai diambil alih oleh robot atau mesin. Pada akhirnya, banyak orang yang justru menjadi tersisih dan harus kehilangan pekerjaan.
Kalau pemerintah benar-benar akan merealisasikan wacana itu, ada poin-poin penting yang harus menjadi perhatian. BKN (Badan Kepegawaian Negara) dan Kemenpan RB memang sudah memberikan infografis soal ini terkait syarat-syarat seperti tersedianya payung hukum/peraturan, tersedia aplikasi/virtual office, terkoneksi internet, ada target kerja/produktifitas, dan ada standar operasi serta prosedur.
Hal pertama yang benar-benar harus diperhatikan adalah soal mental bekerja para ASN. Ini sangat erat kaitannya dengan tingkat kedisiplinan dalam bekerja. Tidak bisa dimungkiri apabila selama ini citra ASN masih relatif buruk di mata publik akibat perilaku negatif sebagian besar oknum-oknum ASN saat bekerja.
Sekedar memberikan contoh, banyak oknum ASN yang sering terlambat masuk kerja. Lalu saat hari-hari pertama masuk kerja pasca libur hari besar agama dan cuti bersama, banyak instansi pemerintahan yang sepi. Maka tidak heran apabila belakangan kepala-kepala daerah punya kecenderungan untuk melakukan inspeksi mendadak guna mengikis tradisi buruk itu.
Ada juga oknum-oknum ASN yang bisa berkeliaran di tempat-tempat perbelanjaan pada saat-saat jam kerja. Mereka memang pagi hari datang ke kantor untuk absensi fingerprint, tapi selepas itu mereka bisa menghilang entah ke mana dan kembali lagi pada sore hari untuk melakukan absensi fingerprint. Saya tidak sedang menghakimi seluruh ASN. Saya percaya banyak ASN yang punya integritas tinggi dalam bekerja. Tapi fenomena-fenomena yang saya sebutkan tadi memang kerap kita jumpai.
Ini menunjukkan masih ada problematika yang cukup pelik di ranah profesionalisme para ASN serta pada soal pe-ngawasan kinerja. Oleh sebab itu, pemerintah juga harus mampu mendesain sistem pengawasan yang ekstra ketat dan memberlakukan sanksi yangtegas bagi yang melanggar. Jangan sampai wacana bekerja dari rumah justru akan semakin memperburuk tingkat kedisiplinan kerja para ASN itu.
Yang kedua adalah masalah klasik yakni ketidakmerataan kondisi di lapangan. Banyak daerah-daerah yang belum memiliki infrastruktur digital yang memadai. Kalau di sebuah daerah sudah ada produk-produk digitalisasi dalam wujud, katakanlah, e-Planning, e-Kinerja, e-Budgeting dan lain-lain, sementara di daerah lain belum ada sama sekali, ketimpangan ini malah bisa menjadi masalah serius.
Secara logika, kebijakan ASN bekerja dari rumah ini pasti akan cenderung menyasar ke daerah-daerah yang sudah siap. Baik dari sisi perangkat digital maupun dari sisi sumber daya manusia. Artinya, daerah-daerah yang belum memiliki kesiapan untuk itu kemungkinan harus gigit jari karena tidak diikutsertakan. Atau mereka harus menunggu dalam waktu yang mungkin tidak sebentar sampai mereka benar-benar siap. Dampaknya jelas: akan muncul kecemburuan sosial yang justru akan semakin memperbesar disparitas yang sudah ada.
Yang ketiga, meski teknologi sudah canggih bukan berarti semua ASN bisa melakukan pekerjaannya dari rumah. Aspek-aspek pekerjaan yang berkaitan dengan layanan publik tetap membutuhkan tatap muka dengan masyarakat. Dengan demikian, pekerjaan itu harus tetap dilakukan di intansi terkait agar tidak merugikan masyarakat.
Jangan Hanya ‘Copy Paste’
Belakangan ini, pemerintah sepertinya muncul dengan manuver-manuver kebijakan yang cenderung kurang populer di mata masyarakat. Dan kebijakan-kebijakan yang diambil itu juga terkesan karena alasan negara lain sudah berhasil. Impor rektor, misalnya, digagas Menristekdikti untuk menaikkan peringkat PTN Indonesia karena melihat keberhasilan Singapura. Demikian pula halnya dengan flexible working arrangements atau bekerja secara fleksibel untuk ASN ini. Deputi bidang SDM Aparatur Kementerian PANRB, Setiawan Wangsaatmaja meyakini sistem ini perlu dicoba karena telah melihat keberhasilan di Australia dari sisi produktivitas pegawainya.
Mengadopsi sistem dari negara lain sah-sah saja. Hanya, cara-cara itu tidak boleh dilakukan secara parsial. Tidak boleh dilakukan atas kebijakan reaktif tanpa benar-benar mengkaji kesiapan setiap unsur-unsur penting di lapangan. Tentunya ada proses panjang yang sudah dilalui oleh negara seperti Australia sehingga mereka bisa pada sampai titik itu. Itulah yang harus dikaji secara mendalam. Kalau kita hanya memandang titik keberhasilannya saja, bisa-bisa rencana ini hanya akan berakhir sebagai ajang coba-coba karena dipandang instan.
Sebagai penutup saya ingat ucapan Steve Jobs“If you want to make everyone happy, don’t be a leader. Sell ice cream.” Begitulah kebijakan. Ia tidak mungkin bisa, atau begitu sulit, untuk menyenangkan semua pihak. Setiap kebijakan akan cenderung menghadirkan dua sisi pro dan kontra. Namun hendaknya kita tidak perlu terlalu alergi atau merasa anti. Dunia selalu berubah. Kita pun mau tidak mau harus adaptif terhadap perubahan. Sebagai warga negara yang baik, kita bisa memberikan kritik yang sifatnya konstruktif terhadap pemerintah demi kebaikan bersama.
Mudah-mudahan pemerintah mampu mengkaji dan mengeksekusi wacana ini secara maksimal dan proporsional. Sebab apabila mampu direalisasikan secara efektif, akan banyak hal-hal positif yang bisa dirasakan oleh bangsa ini terutama dari sisi peningkatan percepatan kinerja, penghematan anggaran negara serta efisiensi dari segi waktu dan tenaga. Semoga. ***
Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS.