Oleh: Irvin S.T. Sihombing
BERBAGAI kekecewaan masyarakat terhadap praktek bernegara di Indonesia terus mengemuka. UUD 1945 dinilai sebagai salah satu sumber permasalahannya. Kajian terhadapnya pun terus dilakukan. Banyak pihak berpendapat UUD 1945 hasil amandemen keempat masih memiliki banyak kekurangan karena sifatnya masih tambal sulam, proses amandemen yang hanya terjebak pada kepentingan jangka pendek, perubahan tidak sistematik dan tidak terpola, serta kualitas dan substansinya tidak koheren dan inkonsisten. Amandemen kelima adalah pilihan yang tepat menurut beberapa pihak.
Menurutnya kalangan yang pro akan amandemen kelima UUD 1945, amandemen kelima mutlak diperlukan agar bangunan sistem politik dan pemerintahan lebih efektif, stabil dan juga produktif sehingga semakin mendekatkan bangsa pada cita-cita demokrasi secara substansial, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan perspektif hukum tata negara hal tersebut tentu tidak salah. Sebab konsep konstitusi itu dinamis. Konstitusi yang “final” itu tidak lah ada, karena konstitusi suatu negara itu bergerak bersama-sama dengan negara itu sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat. Bahkan secara terang-terangan Romano Prodi mengatakan, konstitusi yang tak bisa diubah adalah konstitusi yang lemah.
Namun jelas saja yang terpenting dalam konstitusi bukanlah amandemennya melainkan semangat dan kemauan politik (political will) para penyelenggara Negara. Meskipun dirumuskan dengan jelas bahwa UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat atau demokrasi, namun jika para penyelenggara negara tidak berjiwa demokratis dan tidak mempunyai tekad dan komitmen untuk mewujudkan demokrasi itu dalam kenyataan dan hanya menjadikan demokrasi sebagai retorika semata, maka demokrasi itu tidak akan terwujud. Satjipto Rahardjo bahkan menegaskan, “Selama UUD 1945 kita dijalankan orang-orang yang berjiwa kerdil, maka impian dan cita-cita UUD 1945 tidak akan pernah terwujud.”
Sebaliknya, meskipun perumusan UUD 1945 tidak sempurna tetapi apabila semangat para penyelenggara negara bersih dan tulus dalam menjalankan konstitusi, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, maka kekurangan dalam perumusan pasal demi pasal dalam UUD 1945 tidak akan merintangi jalannya penyelenggaraan negara. Tanpa hal tersebut tentu Indonesia akan kembali mengalami kekecewaan terhadap hasil amandemen nantinya. Dan akan menimbulkan keinginan kembali melakukan amandemen yang tentu akan menghasilkan kekecawaan yang sama kembali.
Di sisi lain, masyarakat juga harus memahami ketentuan dalam UUD 1945 sebagai wujud dari kesepakatan sosial. UUD 1945 baru dapat membumi dan dapat dilaksanakan dengan baik jika masyarakat mengetahui dan memahami hak-hak konstitusionalnya sehingga dapat melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara.
Masyarakat harus memahami ketentuan dalam UUD 1945 sebagai wujud dari kesepakatan sosial. UUD 1945 baru dapat membumi dan dapat dilaksanakan dengan baik jika masyarakat mengetahui dan memahami hak-hak konstitusionalnya sehingga dapat melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara.
Berdasarkan hal tersebut perlu ada upaya terus-menerus untuk mendekatkan UUD 1945 kepada masyarakat sehingga dapat menumbuhkan budaya sadar konstitusi. Upaya mendekatkan ini dapat dilakukan dengan menerbitkan UUD 1945 dalam berbagai versi bahasa daerah dan tulisan, sehingga ada kedekatan emosional serta dengan sendirinya merupakan sebuah upaya memelihara dan menghormati eksistensi bahasa daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 32 ayat (2) UUD 1945. Misalnya dapat dilakukan dengan cara menerbitkan terjemahan UUD 1945 dalam bahasa Jawa Ngoko, Batak, Hokkien, Papua, Nias, Sunda, Bali dan bahasa daerah lainnya.
Karena masih banyak warga negara yang belum fasih berbahasa Indonesia. Bahkan perlu juga dibuat terjemahan konstitusi dalam huruf braile. Guna memberi sosialisasi bagi warga negara yang tunanetra. Karena pada dasarnya, mereka juga adalah saudara sebangsa. Bahkan dapat pula dibuat komik konstitusi dan media pembelajaran lain bagi pelajar untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi sedari dini. Hal ini dengan sendirinya akan membuat konstitusi akrab dengan masyarakat untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi.
Domestikasi UUD 1945
Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya amandemen UUD 1945 adalah karena pembahasan masalah konstitusi dan materi muatan yang terkandung didalamnya selalu menggunakan kerangka pikir, rujukan teori, dan rujukan praktik yang berasal dari luar negeri. Bahkan, saat ini Indonesia belum memiliki pakar Hukum Tata Negara ataupun politik yang menguasai Hukum Tata Negara Adat.
Padahal hukum yang baik sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari jiwa rakyat, berdasarkan teori volksgeist dari Von Savigny. Hukum itu ditemukan bukan dibuat. Hukum lahir dan berasal dari kehendak dan kesadaran suatu bangsa yang berbentuk tradisi, kebiasaan, praktik-praktik kemasyarakatan dan keyakinan bangsa tersebut. Dalam konteks ini hukum Indonesia yang baik adalah manifestasi dari spirit dan jiwa dari bangsa Indonesia itu sendiri.
Kondisinya, hukum nasional yang diadopsi dari hukum luar negeri tersebut justru menjadi beban untuk komunitas lokal. Bernard L. Tanya dalam disertasinya menemukan kenyataan bahwa hukum nasional tidak selalu compatible dengan hukum lokal. Disertasi yang menggunakan masyarakat Sabu sebagai objek penelitiannya mengatakan bahwa masyarakat Sabu adalah masyarakat yang sederhana.
Bagaimanapun sederhana, masyarakat tersebut bukannya hidup tanpa tatanan, tanpa norma sosial, yang memandu kehidupan mereka. Mereka sudah merasa “di rumah” dan bahagia dengan itu. Kehidupan mereka penuh dengan dimensi spirit, seperti bahasa, aksara, simbol-simbol komunikasi serta berbagai negosiasi maknawi lainnya. Ditengah situasi seperti itu datanglah hukum nasional yang memaksa untuk diterima oleh masyarakat Sabu. Hal ini sebuah contoh bagaimana efek dari diadopsinya sistem asing dan tidak compatible. Alih alih hukum menjadi obat (lex simper debet remedium) justru menjadi duri yang menusuk kedalam daging.
Untuk itu, diperlukan upaya domestikasi UUD 1945, yaitu menjadikan UUD 1945 dan pengkajiannya dilakukan dengan merujuk pada pengalaman bangsa Indonesia dan problem nyata yang dihadapi oleh masyarakat. Pengkajian sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia selama ini masih terbatas mulai penjajahan Belanda. Padahal, sebelumnya terdapat kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara yang dapat dibandingkan dengan sistem dengan sistem ketatanegaraan modern.
Sebagai contoh, pembagian fungsi kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif sudah terbentuk walaupun kekuasaan raja cukup dominan karena menjadi ketua dari semua lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan tersebut tapi bukan berarti bentuk dari Trias Politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif) itu tidak ada. Kenyataan-kenyataan sejarah tersebut dapat dijumpai di kerajaan dan satuan pemerintah lain di berbagai wilayah nusantara, seperti di Goa, Palembang, Mataram, Raya, Siantar dan lain-lain.
Dengan elaborasi pengalaman bangsa Indonesia sendiri dan dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam UUD 1945, maka masyarakat akan merasakan bahwa sistem dan pemikiran yang menjadi materi muatan UUD 1945 bukan lagi sebagai hal yang asing, tetapi tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Jika hal ini diiringi dengan upaya mendekatkan UUD 1945 dengan masyarakat, misalnya melalui penulisannya dalam bahasa dan huruf daerah, masyarakat dapat menjadikan UUD 1945 benar-benar sebagai landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat akan dapat mensikapi masalah yang dihadapi berdasarkan norma-norma konstitusional. Hal ini menjadi awal dari berkembangnya konstitusi yang membahagiakan. ***
Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pegiat Hukum Tata Negara