
Dinukil dari Tirto.id (22/8/2019), pernyataan itu disampaikan di Hotel Aryaduta dalam acara bertajuk “Mengapa Indonesia Butuh Manajamen Talenta.” Dalam kesempatan itu, Moeldoko melihat orang Indonesia kerap menganggap orang asing lebih superior. Ia pun mengasosiasikan ini dengan mentalitas orang Indonesia yang pernah dijajah. Moeldoko menambahkan, untuk melawannya harus menyuguhkan ide bahwa mentalitas itu perlu diganti dengan penjajah. Salah satu contoh yang Moeldoko maksud menjajah di sini adalah berusaha memperluas jangkauan perekonomian Indonesia ke negara lain. Ia juga menyebutkan jika perlu orang Indonesia yang sudah berprestasi dan dilatih melalui manajemen talenta untuk bekerja di perusahaan-perusahaan ternama dengan membawa merek Indonesia.
Mental Penjajah
Yang perlu digarisbawahi adalah kalimat: melawan superioritas asing dengan membangun mental penjajah. Apa korelasinya? Mengapa harus memakai konotasi “mental penjajah?” Mengapa tidak memilih istilah yang lebih netral? Misalnya, memakai istilah “hegemoni ekonomi.” Atau, istilah lain yang lebih netral. Menurut saya, itu jauh lebih netral. Meskipun, pernyataan itu tidak disebutkan secara spesifik, ingatan kita soal kolonialisme membuktikan bahwa kita sudah terpapar mental penjajah sejak lama. Apakah supaya pernyataan itu kelihatan bombastis didengar forum? Atau, sengaja dilontarkan untuk memicu polemik? Justru, itu sebuah blunder, sebab menggunakan istilah “mental penjajah” kelihatan bahwa kita ingin membangun ciri khas utama kolonialisme dalam budaya bangsa kita.
Saya pikir, memakai istilah “mental penjajah” adalah bentuk ketidakpercayaan bangsa menjadi berbeda dari bangsa Barat—sekalipun pada zaman kolonial. Akan tetapi, saya melihat, yang terbangun dalam masyarakat kita bukan cuma “mentalnya” semata, secara tak sadar pola pikir kolonial (colonial mindset) juga ikut dibangun. Pola pikir kolonial seperti itu tidak seharusnya disampaikan dalam forum penting semacam itu. Bukankah sudah jelas dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945 RI yang berbunyi “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Jadi, jelas bahwa segala bentuk penjajahan harus ditiadakan atau lebih tepatnya dibumihanguskan. Harus diingat bahwa perasaan traumatis terhadap kolonialisme masih menghantui bangsa ini. Jika Anda pembelajar sejarah yang serius, kolonialisme itu ada dalam banyak defenisi. Pada dasarnya, kolonialisme boleh dikatakan sebagai sebuah kekuatan otokratis yang diberikan oleh negara-negara kuat pada negara-negara yang lebih lemah. Ini merupakan suatu cara memperluas kekuasaan dan melindungi kegiatan komersial atau perdagangan mereka. Ketika orang-orang kolonial memasuki wilayah-wilayah baru, mereka selalu berusaha mendominasi masyarakat dengan perdagangan dan kekuatan militer.
Kolonisasi sebuah negara maju akan memberi mereka cengkeraman kuat pada wilayah itu dan akses tanpa hambatan ke sumber daya daerah. Ini adalah fokus utama mereka. Tetapi, ketika mereka mulai hidup di sebuah negara jajahan, maka secara otomatis mencoba untuk mempengaruhi masyarakat dengan bahasa dan budaya mereka sendiri dan juga agama dalam banyak kasus. Begitu pulalah cara agama-agama menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dalam satu kata, kolonialisme dimulai karena keserakahan. Beberapa negara kolonial hanya berusaha mengeksploitasi koloni mereka tanpa mengembangkannya sama sekali.
Syahdan, kolonialisme bisa juga dikatakan sebagai hubungan dominasi dan subordinasi. Jadi, dengan kata sederhana itu dapat diartikan sebagai penaklukan (integrasi ekonomi) suatu negara (negara kolonial) oleh negara lain (negara metropolis) melalui berbagai cara untuk kepentingannya. Kolonialisme mengadopsi berbagai kebijakan, seperti cara politik, kebijakan ekonomi, kebijakan budaya, kebijakan pendidikan, kebijakan legislatif dan lain-lain. Kolonialisme berkembang dalam berbagai tahap dan pada setiap tahap menggunakan kebijakan yang berbeda untuk menaklukkan negara lain. Perubahan dari satu tahap ke tahap lainnya dan cara untuk diadopsi tergantung pada perubahan pola di negara metropolitan dalam bidang sosial, ekonomi atau politik. Juga, pilihan cara atau kebijakan oleh negara metropolis tergantung pada faktor-faktor lokal koloni. Beberapa kebijakan mungkin tidak ada di satu koloni tetapi mungkin ada di koloni lain.
Kolonialisme juga bicara soal hubungan antara mayoritas pribumi (atau diimpor secara paksa) dan minoritas penjajah barat. Keputusan-keputusan mendasar yang mempengaruhi kehidupan orang-orang jajahan dibuat dan dilaksanakan oleh para penguasa kolonial untuk mengejar kepentingan-kepentingan mereka. Kolonialisme juga berusaha menolak kompromi budaya dengan populasi yang dijajah. Para penjajah diyakinkan akan keunggulan mereka sendiri (superiority) dan mandat mereka yang ditahbiskan untuk memerintah yang terjajah (inferiority).
Dalam pemikiran Marx, ia memandang kolonialisme sebagai sesuatu yang terkait erat dengan pembangunan yang tidak merata. Menurutnya itu adalah "instrumen penghancuran usaha, ketergantungan dan eksploitasi sistematis yang menghasilkan ekonomi terdistorsi, disorientasi sosial-psikologis, kemiskinan besar-besaran dan ketergantungan neokolonial."
Mendarah daging
Lantas, “mental penjajah” seperti itukah yang kita inginkan? Meskipun, pernyataan semacam itu tidak disampaikan secara terbuka dalam forum, toh bangsa kita sudah terjajah sejak zaman kolonial. Bukan hanya dijajah secara ekonomi tapi dalam banyak aspek. Tak hanya dijajah oleh “produk” barat, bangsa kita juga turut menjajah masyarakatnya sendiri. Bagi siapapun yang terlalu banyak bicara akan dibungkam. Bagi siapapun yang membaca buku kiri akan ditangkap dan diinterogasi. Secara kasat mata melanggengkan hegemoni superioritas vs inferioritas, negara vs rakyat.
Mentalitas kolonial, meskipun tidak mungkin secara terbuka dikumandangkan di era modern ini tetapi secara implisit mendiami setiap bangsa yang pernah terjajah. Mentalitas yang memicu perasaan inferioritas sistemik dalam beberapa masyakarat yang menjadi sasaran kolonialisme itu sendiri. Ia tetap hidup sebagai momok. Hanya bermetamorfosa dalam bentuk lain, meskipun isinya tetap sama. Ada yang bilang dengan istilah-istilah yang lebih halus: imperialisme, kolonialisme, merkantilisme, kapitalisme, revolusi industri dan istilah-istilah lainnya. Ini hanya soal kulit belaka, tetapi tujuannya tidak jauh beda dan persis sama: menjajah!
Pada titik ini, mentalitas kolonial seperti sudah mendarah daging. Ia bukanlah barang baru bagi bangsa kita. Sebagian masyarakat Indonesia telah dibutakan oleh budaya kolonial, efek ekonomi, perbedaan budaya dan status sosial yang harus lebih baik. Karena tidak adanya pilihan, gengsi, merasa budayanya sudah kuno mau tidak mau mengikuti aturan dan hidup di bawah “mental penjajah.” Seiring berjalannya waktu, sebagian masyarakat Indonesia kemudian berpikir bahwa orang barat jauh lebih baik ketimbang mereka. Budaya barat lebih baik daripada mereka. Ada sebuah “pride” ketika masyarakat kita menjunjung tinggi nilai-nilai barat. Pikirnya, kearifan barat lebih baik ketimbang kearifan timur (lokal) yang mereka miliki.
Mereka melihat orang barat mampu melakukan apapun yang diinginkan. Perlahan, mereka menghubungkan superioritas dengan orang-orang barat sebagai manifestasi diri, sehingga berpikir jika mereka bisa meniru—atau, mencoba memodifikasi—meskipun bau budaya barat masih tercium kuat. Hal ini dilakukan oleh masyarakat kita untuk mencapai puncak superioritas. Lambat laun, keyakinan asli masyarakat kita mulai memudar dan semakin dilupakan. Celakanya, makin tergerus. Tidak ada keseimbangan antarbudaya, justru yang terjadi ketimpangan sosial-budaya. Fenomena itu bahkan terjadi hingga hari ini. Kendati demikian, mau tidak mau, semua bangsa memang harus turut terjerembab di dalamnya.***
Penulis adalah Dosen PSP ISI Yogyakarta; Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan