Mengurangi Ketergantungan Terhadap Kertas

mengurangi-ketergantungan-terhadap-kertas

Oleh: Deddy Kristian Aritonang.

Di tengah hingar-bi­ngar persoalan sampah plas­tik, kita mulai sedikit lupa -untuk tidak mengatakan abai- terhadap ketergan­tung­an pada kertas dan efek des­truktifnya pada peradaban ke­hidupan manusia. Lebih da­ri empat dekade lalu, te­patnya tahun 1978, Frederick Wilfried, seorang profesor asal University of Illinois sudah menberikan peringatan keras perihal keserakahan kita akan kertas.

Karena kata ‘keserakahan’ sudah mulai disebut, kita ha­rus mengakui bersama bahwa manusia dengan ketamakan­nya telah menjadi predator paling kejam. Kita jauh lebih kejam bila dibandingkan de­ngan hewan-hewan buas.

Pada 2015, Los Angeles Times mem­berikan fakta-fakta yang sangat tidak enak untuk diketahui. Pertama, manusia sudah membunuh populasi ikan dengan rasio 14,1 kali lebih banyak bila diban­dingkan dengan hewan predator di laut. Kedua, ma­nusia ternyata 9,2 kali jauh lebih kejam dibandingkan dengan hewan karnivora di darat.

Ketiga, manusia me­miliki tingkat naluri membu­nuh 3,7 kali lebih tinggi dibanding­kan binatang-binatang buas saat sedang memangsa hewan herbivora. Keempat, kera­kus­an manusia bahkan di­per­cayai telah menghabiskan se­kitar 20 persen spesies hewan buas per tahun.

Seakan tak pernah puas, kita juga turut ber­peran besar dalam berkurangnya jum­lah hutan-hutan yang ada di du­nia. Keru­sakan dan peng­gun­dulan hutan sangat dipe­nga­ruhi oleh konsumsi kertas kita sehari-hari.

Menurut data yang dila­porkan Kom­pas.com, pada tahun 2016 Indonesia kehi­langan hutan sekitar 684.000 hektar. Ang­ka itu menjadikan negara kita berada di urutan kedua sebagai negara yang kehilangan hutan tertinggi setelah Brazil.

Sedang menurut Ba­dan Pangan dan Pertanian Du­nia (FAO) berdasarkan da­ta dari Global Forest Resources Assessment, ada sekitar 7,3 juta hektar hutan di dunia yang hilang setiap tahun terutama akibat industri kertas.

Di Indonesia sendiri in­dustri kertas dan pulp berada pada tren yang positif. Pada tahun 2017, Kepala Badan Penelitian dan Pengem­bang­an Industri (BPPI) Haris Mu­nandar seperti yang dilansir dar­i laman www.­kemen­pe­rin.go.id, mengatakan, Indo­nesia berada di urutan ke-6 untuk pro­dusen kertas dan ke-9 untuk produsen pulp terbesar di dunia, masing-ma­sing dengan angka 7,98 juta ton dan 4,55 juta ton.

Berikutnya di tahun 2018 angka-angka tadi meningkat tajam. Produksi kertas dila­porkan sebesar 16 juta ton, sementara untuk pulp sebesar 11 juta ton. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mem­pre­diksi bahwa penca­paian-penca­paian hebat itu akan kembali mengalami peningkatan di tahun 2019 ini (sumber: bisnis.com).

Konon, untuk satu rim ker­tas diperlu­kan bahan baku yang berasal dari satu batang pohon berusia lima tahun. Dengan demikian memang tak bisa dimungkiri beta­pa hutan menjadi gundul dengan begi­tu cepatnya. Apalagi de­ngan keuntungan yang diper­oleh dari industri kertas, pe­nebangan hutan menjadi be­gitu gila-gilaan di banyak ne­gara.

Itulah sebabnya mengapa Frederick Wilfried mengga­gas konsep masyarakat tanpa kertas atau paperless society. Dia berkeyakinan bahwa kemajuan teknologi pada akhirnya akan mampu meng­hadirkan substitusi terhadap kertas yang jauh lebih ramah terhadap alam dan lingkung­an hidup.

Menariknya, meski indus­tri kertas dan pulp di Indonesia mengalami peningkat­an, untuk konteks global, industri kertas sesungguhnya sedang berada dalam tekanan akibat serangan era digi­tali­sasi yang mengakibatkan kebutuhan akan kertas menu­run.

Kita bisa menyaksikan sen­diri sudah begitu banyak peran kertas yang mulai di­gantikan oleh perangkat-pe­rangkat digital seiring de­ngan industri e-commerce yang semakin marak. Buku-buku ber­bahan kertas mulai dikemas dalam bentuk e-book.

Hasil-hasil penelitian dan publikasi ilmiah mulai dido­minasi oleh e-journal. Per­usa­haan-perusahaan di bi­dang surat kabar juga mulai hadir dengan konsep e-paper. Untuk keperluan surat-me­nyurat pun, kita tidak lagi bergantung pada kertas kare­na e-mail dan berbagai la­yanan messenger dapat de­ngan begitu mudahnya kita gunakan.

Malah, pekerjaan akan te­rasa lebih efek­tif diban­ding­kan ketika urusan ko­res­­pon­densi masih melalui moda kon­vensional. Masih banyak contoh-contoh lain yang tidak dapat saya uraikan di sini.

Sepintas, gagasan paper­less society ter­lihat berhasil atau minimal punya prospek yang cerah. Tetapi, kita seja­tinya memang tidak bisa be­nar-benar putus hubungan de­ngan kertas. Kecanggihan teknologi yang mereduksi kertas dalam wujud e-book, e-journal, e-paper messenger dan lain-lainnya ternyata juga mengakibatkan ketergan­tungan kertas dalam domain yang berbeda.

Menurut FAO, sejak tahun 2006 hingga 2016, rata-rata konsumsi cetak kertas du­nia turun sekitar 4,6 persen. Ke­mudian kon­sumsi kertas un­tuk urusan tulis-menu­lis juga turun sekitar 1,3 persen. Ma­salah­nya untuk keperluan-keperluan kita lain­nya yang memerlukan bahan baku ker­tas justru mengalami kenaik­an yang cukup besar.

Untuk tissue dan kemasan makanan saja selama sepuluh tahun terakhir telah terjadi pe­ningkatan masing-masing seki­tar 2,8 persen dan 2,3 per­sen. Itu masih dua kebu­tuhan, belum lagi aspek-as­pek kehidupan kita lainnya yang memerlukan bahan ba­ku kertas.

Tanpa bermaksud menge­cilkan ga­gasan visioner Fre­derick Wilfried, melihat pola hidup kita saat ini sepertinya untuk mewujudkan konsep paperless society ma­sih sa­ngat sulit. Namun demikian, bu­kan berarti kita hanya ting­gal diam dan me­nerima ke­adaan itu tanpa berbuat apa-apa.

Kalau pun kita tidak be­nar-benar bisa melepaskan di­ri dari kebutuhan akan ker­tas, setidak-tidaknya kita da­pat mengurangi tingkat ke­tergantungan itu. Kita bisa memulainya dengan melaku­kan hal-hal sederhana.

Untuk sekedar memberi­kan contoh, rumah-rumah ma­kanan bisa mengambil pe­ran dengan cara menggan­ti bungkus makanan yang ber­bahan kertas dengan daun pi­sang. Individu-individu yang rutin menggunakan tisu se­tiap hari bisa mulai me­ngu­rangi kebiasaan itu de­ngan memberdayakan sapu tangan.

Institusi pendidikan, per­kan­toran, perbankan dan lain-lain yang sarat dengan pe­ma­kaian kertas dalam ham­pir se­tiap kegiatan ope­rasionalnya bisa berperan de­ngan cara mengurangi pema­kaian kertas untuk dokumen-dokumen administratif yang bisa dikerjakan melalui format softcopy (perangkat lu­nak).

Jika setiap individu punya komitmen kuat dan kesadar­an yang tinggi akan hal ini, maka dampak buruk defo­restasi terhadap lingkungan yang selama ini seolah men­jadi tamu wajib kita seperti banjir bandang dan tanah long­sor niscaya lambat laun akan semakin berkurang.

Lagipula, alam sudah se­begitu baiknya memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan kita. Maka sudah sela­yaknya kita mem­balas kebaikan-kebaikan itu. Mungkin hidup kita di dunia ini ber­lang­sung rata-rata ha­nya sekitar puluhan tahun. Tapi kita tidak boleh melu­pakan nasib generasi penerus kita yang akan mewarisi bu­mi ini. Mereka juga berhak atas alam yang bersahabat dan membe­rikan banyak ke­baikan. Mari selamatkan ling­kungan.

(Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Suto­mo 2 Medan, dan dosen PTS)

()

Baca Juga

Rekomendasi