
Medan, (Analisa). Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU) bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Public Lecture Hukum Pidana Indonesia, dengan tema “Paradigma Baru Perlindungan Saksi dan Korban”.
Acara menghadirkan narasumber Wakil Ketua LPSK Dr. Maneger Nasution MA dan dipandu moderator Ibrahim Naenggolan SH MH di Auditorium FH UMSU, Jalan Kapten Mukhtar Basri Medan, baru-baru ini.
Kegiatan dibuka Rektor UMSU diwakili WR I Dr Muhammad Arifin Gultom SH MHum. Tampak hadir Dekan FH UMSU Dr Ida Hanifah, WD I Faisal SH MHum, pengurus BBH UMSU, PKSK UMSU, Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Sumut Amrizal SSi MPd, sejumlah dosen dan puluhan mahasiswa Fakultas Hukum UMSU.
Muhammad Arifin menyampaikan keberadaan LPSK dalam sistem ketatanegaraan masih tergolong baru sehingga dapat dipahami jika lembaga ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, sehingga belum bisa maksimal berkontribusi dalam penegakan hukum dan keadilan di republik ini.
Misalnya, katAnya, Undang-Undangan Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang masih banyak kelemahan, karenanya sangat perlu segera direvisi. “Belum lagi soal kedudukan LPSK yang ada cuma di Jakarta. Ini menyebabkan manfaat lembaga ini belum maksimal dirasakan oleh masyarakat, terutama di daerah,” ujarnya.
Dia mengingat begitu besar tugas lembaga ini, maka ke depan keberadaannya perlu dikuatkan lagi, diantaranya dengan memberikan wewenang yang lebih lagi kepada LPSK.
Memberikan Rasa Aman
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Dr Maneger Nasution MA mengakui selama ini keberadaan LPSK sebagai wakil negara yang hadir untuk memberikan rasa aman dan keadilan bagi warganya belum maksimal.
Hal itu dikarenakan masih banyak kelemahan LPSK yang perlu dibenahi dan diperbaiki. Kedudukan LPSK, kedudukan lembaga yang mandiri tidak disertai dengan wewenang yang memadai. “Karena itu, untuk perbaikan dan pembenahan tersebut, kedepan LPSK memerlukan paradigm baru perlindungan saksi dan korban,” ujarnya
Maneger mengatakan, dari perspektif akademis setidaknya ada dua hal bisa dan perlu diupayakan kedepan untuk membenahi LPSK. Pertama, dengan merevisi UU. Menurutnya UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Korban dan Saksi yang berlaku sejauh ini masih diskriminatif, yakni cuma terkait kasus kejahatan pidana saja, itupun tidak semua.
Idealnya, kata Maneger, semua bentuk kasus tindaan kejahatan harus terakomodir, termasuk yang terkait dengan kasus perdata dan administrasi. “Negara yang maju itu adalah yang melindungi seluruh warganya dari semua ancaman tindakan kejahatan,” ujar Maneger.
Kedua, ke depan tidak ada pilihan lain, sebagai negara kepulauan kita tidak cukup melihat persoalan Indonesia dari kacamata Jakarta saja. Artinya, harus diupayakan LPSK itu ada perwakilan di setiap daerah, sehingga dapat maksimal melayani masyarakat.
Terkait hal ini, lanjut Maneger, memang di dalam UU No 13 tahun 2006 dijelaskan bahwa LPSK itu “dapat” dibentuk di daerah. “Tapi justru disitulah persoalannya, dengan adanya kata ‘dapat’ itu maknanya jadi itu tak ada kewajiban. Seharusnya kata “dapat” itu dihilangkan, sehingga ada dasar hukum yang kuat untuk mewajibkan keberadaan LPSK ada sampai ke daerah-daerah,” tegasnya. (rel/maf)