
Oleh: Qis Natasya Z
DUA tahun lalu, sejak duduk di Kelas III SD Darul Ilmi Murni, aku memiliki kucing. Tidak tahu dari mana asalnya. Setahu ku, ketika pagi, ia sudah menunggu di depan pintu. Saat membuka pintu, aku melihat ia mengeong dan segera lari ke dapur. Sebab, ketika itu mama menggoreng ikan. Harumnya ikan yang digoreng mama, membuat ia kelaparan.
Aku mulai menyayanginya. Ketika tiba waktu makan, aku selalu memanggilnya untuk makan bersama. Walaupun ia hewan dan aku manusia, tetap harus saling menyayangi dan menjalankan kewajiban sebagai makhluk yang berakal.
Saat ini ia sudah terlalu tua. Ia kuanggap sebagai anggota keluarga. Kumisnya sudah panjang dan wajahnya sudah menunjukkan kerutan. Tetapi aku bangga padanya. Di saat usianya sudah tua, tulangnya sudah mengecil, serta belang di bulunya pun tidak menawan lagi, namun ia kucing yang gagah dan kuat. Ternyata Ia merawat tulang dan ototnya selama ini. Pagi hari kucingku senam dan bermeditasi. Sehingga di usianya menua, tetap kuat dan energik. Dengan menggunakan alat geraknya, kaki, ia bolak-balik berjalan menghantarkan makanan kepada anak kucing yang tersudut malu tak bisa berbuat apa-apa tanpa rasa lelah. Setiap hari ia merawat kucing yang tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa.
Aku semakin sayang padanya, dan aku memanggila dia selama ini dengans sebutan, “Belangiku Tersayang”.
(Siswi kelas 5 RA Darul Ilmi Murni, Namirambe)