Full Moon

full-moon

Oleh: Sumiati Al Yasmine

Hush….semiribit angin berkelak kelok mempermainkan pucuk-pucuk pepohonan eboni yang berderet rapi di sepanjang jalan, jalanan begitu lenggang, sepi, gelap, mencekam. Sunyi seakan meraung-raung hendak menerkam, langit gulita, siluman-siluman bermata iblis bergelantungan di atas langit, kedua mata mereka memerah dengan endapan darah yang mengental, mendadak angin fohn membentuk ring of fire, di dalamnya bersembunyi siluman berkepala serigala, ia mengaum, ia kehilangan mangsanya yang bersembunyi di balik kabut malam, aku terperangah….

Untuk pertama kalinya kupijakkan kakiku ke rumah yang tak kuinginkan ini, rumah yang jauh dari keramaian, bahkan bangunan­nya sudah tua, ada bagian pondasi rumah yang mulai keropos, lihatlah pagar rumahnya benar-benar tak terurus, berkarat dan berjamuran, cat rumahnya sudah memudar bahkan mengelupas, bentuk jendela yang kuno lantaran terbuat dari kayu semakin memberikan kesan bahwa rumah ini sangatlah primitif, ukiran yang ada di atas pintu sangatlah menggangguku, betapa tidak mengganggu, ukiran tersebut membentuk gambar seekor ular yang menjulurkan lidahnya yang bersimbah darah, aku ingin muntah jika melihatnya. Entah apa alasan ayah memilih rumah tua ini untuk kami tempati, padahal rumah yang dulu masih begitu layak untuk dihuni, se­menjak ibu tiada, ayah tak lagi nyaman tinggal di sana, rumah yang kami tinggalkan menyimpan banyak kenangan tentang ibu, mungkinkah kenang­an itu selalu menyiksa ayah? Hal tersebut seper­ti­nya menjadi alasan mendasar kenapa kami pindah ke rumah tua dan kumuh ini. Sial! Di rumah jelek inilah aku akan tinggal dalam jangka waktu yang lama.

 Segala tentang rumah ini bernilai minus, di ruangan tamu banyak benda-benda aneh yang tak kusukai, ada gerabah dan kendi-kendi dengan motif perempuan berta­ring, lihatlah beberapa guci kusam yang terletak di setiap sudut ruangan membuat penilaianku terhadap rumah ini ber­tam­bah miris, bahkan ada sebilah samurai berteng­ger di atas dinding ruang­an yang tak jauh dari kamar, hal tersebut sa­ngat­lah mengganggu pemandanganku, ditambah lagi dengan lemari hias yang dipenuhi dengan keris-keris keramat kian membuatku merinding. Tempat tinggal macam apa ini, segalanya dipenuhi dengan benda-benda penuh misteri yang membuat tengkuk leherku bergidik. 

“Aku tak menyukai rumah ini.”

“Sayang, nantinya kau akan terbiasa tinggal di rumah ini, ayah yakin itu.”

“Aku lebih suka rumah kita yang dulu, aku ingin pulang ke sana!”

“Kita tak akan pernah kembali ke rumah itu lagi.”

“Kenangan tentang ibumu membuat ayah tersiksa, kita harus bangun kehidupan kita lagi dengan nuansa yang baru, jika kita kembali ayah tak kuasa menahan rasa kehilangan yang begitu dalam, hal tersebut membuat ayah selalu berlarut-larut dalam kesedihan, ayah harap kau mengerti tentang perasaan ayah.”

“Kuharap ayah juga mengerti perasaanku, aku tak ingin tinggal di rumah ini, ayah sudah tak sayang lagi padaku….”

Bergegas aku pergi meninggalkan ayah, tak lagi kuhiraukan saat ia berulangkali memanggil namaku, saat ini yang ada dalam hatiku adalah rasa amarah yang meletup-letup yang tak akan lama lagi akan meledak, aku lebih suka tinggal di rumah yang dulu karena aku merasa ibu tak pernah pergi menjauh dariku, ayah begitu tega, memisah­kan aku dari ibu.

Hari-hari yang kulalui sangatlah berat, aku harus memulai dari nol lagi, di sekolah yang baru aku harus belajar mengenal lingkungan tempatku belajar, aku benci saat beberapa orang temanku bertanya perihal ibuku, apakah dengan tidak memiliki ibu hal tersebut adalah sebuah aib yang besar? Aku benci jika mereka mulai menanyakan tentang penyebab kematian ibu. Yang kulakukan adalah membanting benda apa saja yang ada di dekatku, jika teman-temanku mulai menyinggung tentang ibuku lantas aku berteriak-teriak dengan penuh histeris. Alhasil teman-temanku sering meledekku sebagai anak aneh yang suka kesurupan. Bagiku sama saja di sekolah mau pun di rumah, kedua tempat itu bagiku seperti neraka.

Sama dengan hari-hari sebelumnya, ayah masih disibukkan dengan membenahi taman dan pelataran depan rumah, untunglah ayah mengerjakannya tidak sendirian karena dibantu mang Oman, sementara bibi Lastri yang tak lain adalah istrinya, ia bekerja sebagai pembantu setia di keluarga kami. Dari balik jendela kamarku aku melihat ayah dengan semangatnya menata bunga-bunga yang ada di taman, ia berusaha untuk mengisi waktu cuti bekerjanya dengan sebaik mungkin. Kenapa ayah tidak memotong pohon gandaria yang tumbuh menjulang tinggi di samping rumah? Dedaunannya sangatlah lebat, rimbun dan semak, akar-akarnya telah menghujam kuat sampai ke ruas-ruas tanah, pohon itu seram, di atasnya dipenuhi perdu yang rerantingnya menjulur hingga ke tanah. Jika malam menjelang pohon itu sepertinya berjalan, semua akar-akarnya berkeluaran dari tanah, reranting perdunya bergerak-gerak seperti tangan-tangan zombie yang hendak membunuh dengan brutal.

Usai makan malam, aku bergegas masuk ke dalam kamar, menyelesaikan tugas yang paling aku sukai yakni membuat gambar ibu di buku gambar kesayanganku. Malam yang pekat menghantarkanku pada kesunyian yang meranggas, aku tertidur sembari memeluk gambar ibu….

Aku tersentak saat terbangun dari tidur, kamarku mendadak remang-remang, udara di sekelilingku terasa pengab, serasa ada yang mengetuk-ngetuk jendela kamarku, lampu di kamarku padam lalu hidup lagi begitu seterusnya, kudengar suara bergemu­ruh dari arah pintu kamarku, aku bergegas berlari, yang ada di dalam pikiranku hanya satu yakni ayah, aku ingin bersama ayah. Aku terus melangkah, ketika melewati dapur kulihat bibi Lastri telah tergeletak di atas lantai dengan bersimbah darah di sekujur tubuhnya, kepalanya telah terpisah dari tubuhnya. Aku berteriak penuh kegamangan, saat sosok bayangan hitam menghampiriku hendak membunuhku, aku terus berlari, degub jantungku berdetak tak karuan, keringatku mengucur bagaikan gerimis yang turun di tepian tundra.

“Ayah…! Ayah….!”

“Ayah di mana? Ayah….!!!”

Kedua simpul kakiku menggeletar, ketika berlari ke arah ruangan tamu kulihat mang Oman telah sekarat, kepala dan dadanya telah remuk redam di cengkeram bayangan hitam, seakan aku tak bisa menjerit lagi, jendela ruangan tamu telah porak poranda, hancur berkeping-keping, kulihat reranting perdu yang berasal dari pohon gandaria bergerak-gerak dengan liar bagai lidah siluman lalu menyeret tubuh mang Oman kemudian melilitnya, dalam sekejap mata tubuh itu telah terbenam ke dalam tanah. Panik! Aku berlari sekuat tenaga, tubuhku bergemetar, saking ketakutannya airmataku merintik, ku tutup mulutku dengan kedua tanganku, aku takut suara isakan tangisanku akan terdengar. Aku terus mencari ayah, langkahku semakin gesit saat kulihat pohon gandaria berubah menjadi monster yang menakutkan, akar-akar yang tadinya menghujam ke bawah tanah kini berham­buran keluar hendak memburuku, aku terus berlari, aku tak tahu sampai kapan aku mampu bertahan.

“Ayah…Ayah….!”

“Ayah…Ayah….!”

Aku mengendap-ngendap di balik lemari, jangan sampai keberadaanku diketahui oleh monster yang ingin menghabisiku, aku memutuskan bersembunyi di dalam lemari untuk melindungi diriku, dari kejauhan aku melihat ayah, aku ingin berteriak memanggil namanya, hal yang tak terduga terjadi, dari dalam perut monster itu keluar siluman-siluman berkepala serigala, mereka menca­bik tubuh ayah dengan sadis, ayah meronta kesakitan, aku menjerit dan menghampiri ayah.

“Jangan sakiti ayahku. Aku sudah kehilangan orang yang paling aku cintai. Aku tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.”

“Jangan mendekat Quin, larilah, pergi sejauh mungkin.”

“Aku tak mungkin meninggalkan ayah sendirian.”

“Quin pergilah!!!” Suara ayah terdengar lantang, darah segar telah merembes dari tubuhnya, perlahan seluruh tubuh ayah terlilit reranting perdu.

Beberapa siluman berkepala serigala mendekatiku, seluruh tubuhnya dipenuhi dengan belatung dan nanah yang busuk, dengan sekuat tenaga aku berlari, kekuatan berlariku tak bisa menyamai kecepatan reranting perdu yang terus mengejarku, sebagian kakiku telah terlilit, siluman berkepala serigala membuka rahang mulutnya dengan lebar, kuraih benda terdekat yang ada di sekelilingku, kedua kakiku telah mati rasa, belatung-belatung menjijikan itu berjatuhan ke arahku, dengan tertatih-tatih aku terus memberontak, kuraih keris yang ada di dalam lemari, kuhunuskan berulang kali tepat di kepala monster tersebut, bukannya cidera tapi siluman tersebut semakin murka, ia kembali membuka rahang mulutnya dengan begitu lebar, ular-ular berbisa berhamburan keluar dari mulutnya, aku terus berlari menyusuri ruangan tamu. Aku menjerit, berharap ada seseorang yang menolongku, kedua mataku menatap tajam ke arah pintu, aku tercekat, kulihat gambar ukir-ukiran di atas pintu sama persis dengan ular-ular yang kini tengah memburu dan menyerangku. Kutancapkan keris yang ada di tanganku tepat di atas pintu, darah kental berwarna merah saga telah merembes dari permukaan pintu, aromanya begitu amis dan anyir, kutarik kembali kerisnya lantas kutancapkan ke atas pintu dengan berulang kali, darah kental muncrat mengenai seluruh tubuhku bahkan membanjiri seluruh ruangan tamu, kulihat siluman-siluman berkepala serigala dan ular-ular berbisa yang tadinya memburuku kini mereka telah hancur lebur menjadi puing-puing abu.

Aku berlari sembari terisak dalam tangisan, tangisan yang tertahan karena ketakutan, aku mencari ayah, aku ingin segera memeluknya. Biar ketakutan yang ada di hatiku segera terkikis dan lambat laun akan menghilang.

“Ayah…!”

“Ayah…!”

Kulihat ayah telah tergeletak tak berdaya dengan usus terburai, biji mata sebelah kirinya mendosol keluar, tubuh ayah tercabik bahkan koyak menganga lebar, aku menangis histeris bagai orang gila.

“Ayah…”

“Quin, kenapa kau menangis sayang!”

“Ayah….”

Tangisku melerai bagai hujan drizzle yang berloncatan, aku menatap ayah dengan pandangan yang nelangsa, dalam diam aku merintih dalam kepedihanku.

“Ayah, benarkah kau ayahku? Lantas siapa yang terbujur kaku di sana?”

“Tak ada siapa pun di sana sayang.”

“Kau pasti berkhayal lagi dengan duniamu sendiri.” Ayah mengelus kepalaku dan memegang kedua tanganku dengan erat.

Ayah menuntunku dengan lembut, sesekali ia elus pipiku, ayah begitu sabarnya merawat putrinya sendiri terlebih ketika ibu telah tiada, ia tak pernah menganggap beban apalagi merasa aneh melihat tingkah laku putrinya yang mengalami “skizofrenia” yakni terjadinya ketidakseimbangan emosi dan pikiran, seakan-akan orang tersebut memiliki dunia sendiri, penderitanya tidak dapat dilepaskan dari pengobatan, mereka harus mendapatkan perawatan seumur hidupnya. Ayah tak pernah menganggapku “berbeda”, ia selalu mengatakan bahwa aku adalah full moon, bulan purnama kesayang­an­nya, bulan purnama yang sempurna tanpa meninggalkan cacat****

(Taman Imajinasi Sumiati Al Yasmine, Masjid Ubudiyah, ketika langit menyentuh imajinasiku 2018)

()

Baca Juga

Rekomendasi