Peradi: KPK Belum Berhasil Berantas Korupsi

peradi-kpk-belum-berhasil-berantas-korupsi

Jakarta, (Analisa). Advokat dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Petrus Selestinus menilai selama 15 tahun keberadaan Komisi Pem­berantasan Korupsi (KPK) belum berhasil memberantas dan mencegah korupsi, termasuk belum berhasil memba­ngun suatu sistem pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien sesuai dengan wewenangnya yang diatur dalam UU KPK.

"Tugas utama KPK adalah mencegah dan memberantas korupsi, hingga lem­baga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi yakni Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan, berfungsi secara efektif dan efisien memberantas tindak pidana korupsi," kata Petrus Selestinus, di Jakarta, Selasa.

Menurut Petrus Selestinus, indikator suksesnya KPK mencegah dan mem­berantas korupsi adalah lahirnya budaya masyarakat, khususnya penyelenggara negara, untuk hidup dan berperilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). "Selama penyelenggara negara masih menjadikan KKN sebagai bagian dari gaya hidup dan bahkan mengi­do­lakan korupsi sebagai gaya hidup, kata dia, maka KPK dianggap belum berhasil memberantas korupsi," ka­tanya.

Mantan Komisioner Komisi Peme­riksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPK­PN) ini menegaskan, selama ini KPK hanya memberantas kejahatan korupsi pada bagian hilir saja, tetapi kejahatan nepotisme dan kolusi tidak pernah disentuh, bahkan pasal mengenai kejahatan nepotisme dan kolusi malah mati suri.

"Padahal awal mula dari kejahatan korupsi adalah adanya kolusi dan nepotisme, kemudian terjadilah apa yang disebut korupsi, yang selama ini tidak pernah tercabut dari habitatnya," katanya.

Petrus menjelaskan, KPK sering mengekspose keberhasilannya melaku­kan operasi tangkap tangan (OTT), tapi keberhasilan OTT itu hanya sebagian kecil dari kewenangan KPK yang sangat besar seturut amanah UU KPK. "OTT hanya menangkap koruptor kecil pada bagian hilirnya saja, sedangkan keja­hatan korupsi besar pada bagian hulunya di balik kejahatan suap itu, tidak ter­dengar dilakukan oleh KPK," katanya.

Menurut dia, kerja KPK yang hanya mengejar target OTT membuat KPK berada pada posisi dilematis, karena memiliki kekuasaan besar sebagai lembaga penegak hukum superbody, tapi tidak berdaya dalam pelaksanaan di lapangan.

Petrus menambahkan, OTT memang tidak dikenal dalam KUHAP, yang dikenal adalah "tangkap tangan" yaitu tertangkapnya seseorang yang tengah melakukan kejahatan atau yang sesaat setelah terjadi kejahatan.

Di dalam Undang Undang KPK dan Undang Undang lainnya, kata dia, tidak ditemukan aturan yang mengatur meka­nisme tentang OTT, karena itu OTT KPK sebagai terobosan perluasan dari pengertian "tangkap tangan" terha­dap keja­hatan yang sedang terjadi boleh dilakukan siapa saja.

Karena itu, kata dia, semua prasangka buruk tentang kinerja KPK, harus dibuktikan melalui audit forensik guna memastikan sebab-sebab mengapa KPK dinilai gagal dalam 15 tahun pemberan­tasan korupsi.

Menurut dia, hasil audit forensik terhadap kinerja KPK dimaksud diha­rapkan menjadi bahan refleksi untuk perbaikan kinerja KPK ke depan. "Tanpa adanya perbaikan kinerja KPK, maka kejahatan korupsi tidak akan pernah berkurang. Ketika KPK menutup lubang yang satu maka akan muncul banyak lubang lain dimana KPK tidak memiliki cukup tangan yang kuat untuk menjangkaunya," katanya.

Petrus menjelaskan, usul revisi UU KPK dengan melahirkan kewenangan surat perintah penghentian perkara (SP3) bagi KPK justru berpotensi memperlemah KPK dalam pembe­rantasan korupsi. Adanya kewenangan SP3 maka akan muncul kriminalisasi terhadap sejumlah penyelenggara negara hanya untuk kepentingan menje­gal lawan politik menuju suksesi.

"Lalu setelah kepentingannya terca­pai, maka SP3 bisa dikeluarkan dengan alasan penyidikan sudah berlangsung satu tahun tetapi belum selesai, jadi dihentikan dengan SP3. Jadi, SP3 tidak perlu ada karena KPK sudah punya wewenang mengalihkan proses penun­tutan perkara menjadi gugatan perdata manakala tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata keuangan negara dirugikan," katanya. (Ant)

()

Baca Juga

Rekomendasi