Mengkristalkan Persatuan Bangsa

mengkristalkan-persatuan-bangsa

DARI banyaknya tantangan internal yang kita hadapi, di antara yang mendasar dan vital ialah persoalan persatuan dan kerukunan bangsa. Kita dituntut mampu mengelola isu-isu tersebut, terutama memperkuat kedua nilai itu. Reformasi mental lewat pendidikan menjadi salah satu kunci percepatan agar hasilnya bisa kita gapai setidaknya mulai lima tahun ke depan sekaligus menjadi tonggak kukuh sebagai identitas nasional dalam mencapai visi "Indonesia Emas 2045".

Kita harus mengakui, persatuan dan kerukunan bangsa merupakan masalah yang mengemuka dalam 20 tahun terakhir. Banyak faktor penyebabnya. Rezim Orde Baru termasuk yang paling bertanggung jawab karena doktrin "serba tunggalnya" yang menuntut keseragaman. Tidak heran, ketika Era Reformasi bergulir, tuntutan yang mencuat dari rakyat di antaranya ialah penghargaan dan perlakuan adil terhadap daerah. 

Sebagian tuntutan tersebut sudah diberikan dan menjadi kebijakan pemerintah sampai sekarang, tapi sebagian tuntutan itu terus disuarakan. Padahal, tidak sedikit pula yang potensial membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terpecah. Misalnya tuntutan kemerdekaan. Selain itu, juga yang bernuansa etnisitas, golongan, dan sejenisnya.

Berbagai tuntutan ini bukan hanya mengancam integrasi Indonesia di muaranya, tetapi juga kerukunan bangsa di hilir. Rasa saling tidak percaya atau curiga mencuat ke permukaan. Dewasa ini, guncangan terhadap kerukunan yang dipicu oleh hal-hal bernuansa perbedaan itu, bahkan sepele, sungguh terasa. Padahal, kerukunan adalah bagian dari nilai-nilai yang kita junjung bersama saat mendirikan bangsa Indonesia ini--gotong royong dan hidup berdampingan secara harmonis adalah sebagian dari nilai-nilai tersebut.

Tantangan internal ini butuh pemecahan cepat dan tepat di tengah kencangnya arus tantangan dari luar, seperti kemajuan teknologi komunikasi yang sebagiannya juga mengandung ancaman serupa. Lebih dari itu, solusi itu merupakan kebutuhan bangsa untuk bisa maju lebih cepat di tengah berbagai peluang yang ada. Misalnya, kita segera menikmati bonus demografi. Bila kita mampu menguatkan persatuan dan kerukunan, bonus ini menjadi berkah. Sebab, nilai-nilai persatuan dan kerukunan itu bisa menjadi pemandu kita dalam membangun bangsa.

Selama lima tahun terakhir, Presiden Joko Widodo senantiasa menyampaikan berbagai kekayaan dan keragaman bangsa Indonesia. Presiden mengajak masyarakat menyadari bahwa kita terdiri dari beragam suku bangsa, bahasa, atau kekayaan alam. Tanpa indoktrinasi, Presiden mengingatkan bahwa kita adalah "Bhinneka Tunggal Ika", walaupun berbeda tapi satu jua, yang menjadi gambaran dari sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia.

Tentu, itu saja tidak cukup. Reformasi mental harus menukik lebih dalam, lebih cepat, dan membumi--mudah masuk dan diterima oleh seluruh warga negara. Tiada cara lain yang lebih baik kecuali melalui pendidikan. Karenanya, bangsa ini harus mampu membumikan persatuan dan kerukunan itu lewat berbagai kebijakan dan program pembangunan, baik formal melalui institusi pendidikan maupun informal lewat lembaga kemasyarakatan.

Upaya mengkristalkan kembali persatuan dan kerukunan itu hendaknya tidak melalui indoktrinasi. Dengan besarnya jumlah generasi muda saat ini, upaya itu harus sejalan dengan alam kehidupan mereka. Di era Revolusi Industri 4.0 sekarang, membumikan kedua nilai tersebut bisa kita lakukan dengan memanfaatkan teknologi. Kita mesti mampu mengemas pendidikan itu secara cermat. Pendekatan seperti peribahasa "Ibarat mengambil jarum dalam tepung" bisa menjadi salah satu metode. Kesuksesan kita menyelenggarakan Asian Games 2018, termasuk prestasi yang diraih dan upacara pembukaannya yang memunculkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia menjadi salah satu contoh mutakhir dan terbaik.

Sekarang juga merupakan momentum tepat untuk mengatasi tantangan di atas. Sebab, pemerintah fokus membangun sumber daya manusia dalam Nawa Cita Jilid II. Penguatan SDM sangat dibutuhkan untuk mengkristalkan kembali nilai persatuan dan kerukunan bangsa ini. Ini sejalan dengan reformasi mental yang disampaikan Presiden Jokowi bertahun-tahun lalu, yakni reformasi mental dilakukan dengan menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan pembangunan bangsa yang lebih manusiawi. Lebih dari itu, sejarah pun telah dengan sangat benderang mengajarkan kita tentang hal ini: benih persatuan sebagai sebuah bangsa mulai tumbuh, berkembang, dan mewujud ketika anak bangsa ini tumbuh terdidik hingga akhirnya kita meraih kemerdekaan yang selama ratusan tahun telah kita perjuangkan.

()

Baca Juga

Rekomendasi