Madinah Mengajarkan Keberagaman

madinah-mengajarkan-keberagaman

Oleh: Datuk Imam Marzuki

Simbolisasi Islam jangan terus digaungkan anti keberagaman, dengan menampilkan frame dari media mainstreem bahwa Islam terstigma radikalis, fundamentalis. Bahwa dalam risalah pembawa agama ini Nabi Muhammad Saw telah dahulu mengajarkan kebaikan dalam ruang pluralisme. Lihatlah dimana masyarakat Islam memberikan perlindungan kepada lingkungan sekitar walaupun berbeda agama. Belakangan gerakan-gerakan proxy war dari para kapitalisme ingin kembali melakukan koloninya dengan cara membenturkan Islam melalui opini sesat. Agar Islam dijauhi melalui stigma-stigma yang mereka produksi melalui media. Idiom Islam anti kebhinekaan, cendrung ekslusif dan memaksakan kehendak. Karena itu ketika menggali dalam riwayat sejarah dahulu nyata adanya pluralitas itulah yang terjadi dalam masyarakat Madinah, masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, etnis dan agama. Pluralitas penduduk Kota Madinah telah ada sejak sebelum kehadiran Nabi Muhammad SAW, bahkan telah menjadi bagian dari kehidupan integral kota itu. Penduduknya menjelang hijrah Nabi Muhammad SAW, terdiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang terbagi ke dalam beberapa suku. Sementara Suku bangsa Arab yang terkemuka adalah suku Aus dan suku Khazraj yang bermigrasi dari Arabia selatan.

Bangsa Yahudi terdiri dari tiga suku utama Bani Quraizah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa. Jika dilihat Pada periode awal dalam perjuangan menyiarkan Islam di Makkah, situasi yang dialami Nabi Muhammad SAW dan umat Islam begitu berat. Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin lainnya saat itu mendapati kenyataan bahwa mereka menanggung berba­gai tekanan, penyiksaan, pemboi­kotan, bahkan ancaman pembunu­han dari orang kafir Quraisy.Kota Yastrib akhirnya dipilih sebagai tempat dan pusat syiar Islam dengan alasan adanya tawaran dan permintaan orang Yastrib yang telah masuk Islam. Nabi Muhammad SAW pun kemudian memindahkan pusat syiar Islamnya ke tempat ini, Madinah (Yastrib).

Dengan kata lain, umat Islam di Madinah merupakan bagian dari komunitas masyarakat majemuk. Tidak lama setelah nabi menetap di Madinah, atau menurut semen­tara ahli sejarah belum cukup dua tahun dari kedatangan Nabi di Kota itu, beliau mempermaklumatkan satu piagam yang mengatur kehidu­pan dan hubungan antar komu­nitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat yang majemuk di Madinah. Piagam tersebut dikenal dengan Piagam Madinah. Berdasarkan piagam Madinah inilah dapat dijelaskan hakikat sebuah masyarakat madani itu.

Dalam komunitas yahudi serta sekutunya yang dipersatukan oleh Nabi Muhammad dalam satu umat berdasarkan Fakta historis, me­ngan­dung tiga unsur. Pertama, me­re­ka hidup dalam wilayah tertentu yakni Madinah sebagai tempat yang mengikat mereka untuk hidup bersama dan bekerja sama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan da­lam satu umat merupakan aktua­lisasi dari kesa­daran umum dan ke­inginan akan hidup bersama untuk bekerjasama dalam menca­pai tujuan umum yaitu untuk me­wu­judkan kerukunan dan kemasla­hatan mayarakat secara bersama-sama. Ketiga, mereka mengakui dan menerima Muhammad Saw sebagi pemimpin tertinggi atau pe­me­gang otoritas politik yang legal dalam kehidupan mereka. Otoritas ini dilengkapi dengan institusi peraturan, yakni piagam madinah yang berlaku bagi indivi­du-individu dan setiap kelompok.

Dengan dimikian, penduduk Madinah merupakan satu umat dan masyarakat politik. dalam masya­rakat madani, yaitu Pertama, meniadakan ketidak adilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, melindungi kepentingan penduduk yang universal seperti kelompok yang terdiri dari kala­ngan yang berbeda bergabung dalam satu kelompok dan menja­lankan kegiatan secara bersama-sama, kepentingan tersebut meli­puti elemen sipil, politik dan sosial. Negeri yang dipilih oleh Allah SWT sebagai tempat hijrah Rasulullah SAW dan sebagai pusat dakwah Islam menuju dunia luas. Juga kita dapat menggambarkan awal kelahiran masyarakat Islam yang berdiri.  Dalam segi agama, masyarakat Madinah menganut beberapa agama, yaitu agama Paga­nisme (menyembah berhala), aga­ma Yahudi dan agama Kristen teta­pi minoritas. Sebelum keda­tangan Nabi, masyarakat Madinah selalu diliputi konflik antar sesama suku. Masyarakat Madinah telah lama mengalami perang saudara kli­maksnya terjadi pada pepe­rangan Bu’ats pada tahun 618 M di mana hampir semua suku-suku Arab di Madinah terlibat di dalam­nya. Demikian juga suku-suku Yahudi, semuanya bersekutu dengan ke­lom­poknya masing-masing. Dian­tara penduduk Madi­nah itu juga terdapat komunitas-komunitas lain, yaitu orang-orang Yahudi dan sisa suku-suku Arab yang belum mau menrima Islam dan masih tetap memuja berhala.

Menurut Nurcholis Madjid, Negara Madinah merupakan Nega­ra modern pertama di dunia yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Paradigam ini apabila ditarik dalam konteks kein­donesiaan, yakni menurut Nur­cholis Madjid, masyarakat madani bukanlah sebuah tatanan masya­rakat tanpa meliter, tetapi sebuah masyarakat yang menyele­saikan persoalan dengan keadaban (cipi­lity).Yaitu masyarakat yang kepen­tingan anggotanya tentang hak milik, hak kehidupan, kebe­basan dan hak-hak lainnya terja­min. Yatsrib (Yunani: Yethroba), beliau ganti nama itu menjadi Madinah. Dengan tindakan itu, Nabi SAW telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam membangun masya­rakat madani, yaitu masyarakat yang berpera­daban (ber- “Madaniyah”) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din).

Kalau dilihat dari sudut pandang politik ialah tindakan Nabi untuk menganti nama kota itu menjadi Madinah, tindakan Nabi tersebut bukan hanya semata-mata perkara kebetulan, namun dibalik itu semua tekandung makna yang luas dan mendalam yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik Jazirah Arab dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau sistematis, perkataan Arab “Madaniyah” berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku akar semitiknya, yaitu” d-y-n (dal-ya-nun), dengan makna dasar “patuh”, sebagaimana dikatakan dalam tasrif dana-yadinu. Dari situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk “agama” ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh.

Kembali keperkataan “madinah” yang digunakan Nabi SAW untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menang­kapnya sebagai isyarat langsung, semacam devinisi Plokramasi atau Deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (berperaturan), sebagimana mestinya sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang di tegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada pera­turan atau hukum. Kerana itu per­kataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan bebe­rapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic civil, polis dan politiae (juga ‘polis’). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masya­rakat yang sering disebut “kota” (city, polis). Maka civil society atau masyarakat madani yang peradaban, dapat diartikan sebagai masyarakat yang utuh (solid) di mana kemajemukan dan kebersamaan sangat dihormati.

Penulis: Dosen STAIN Madina dan UMSU

()

Baca Juga

Rekomendasi