Kontroversi “Daun Ajaib” Kratom

kontroversi-daun-ajaib-kratom

Oleh: Esdras Idi Alfero Ginting SSos

BELAKANGAN ini publik ra­mai mem­­perbincangkan daun kra­tom yang diduga kuat memiliki kan­du­ngan penyebab kecanduan atau adi­ksi. Efek kratom dianggap sama de­ngan akibat penyalahgunaan nar­kotika. Di sisi lain, sebagian masya­rakat menganggapnya sebagai obat mu­jarab yang mengatasi berbagai masalah kesehatan.

Umumnya tumbuhan yang juga dikenal dengan sebutan “daun ajaib” dari Kalimantan ini dikeringkan se­be­lum dijadikan serbuk seperti bu­buk teh. Serbuk itu kemudian dise­duh dengan air panas dan dinikmati layaknya minum teh.

Berdasarkan cerita yang tersebar di masyarakat, ada banyak manfaat dari seduhan kratom ini. Manfaat uta­manya adalah mendongkrak pro­duktivitas kerja dan mengusir rasa lelah bagi yang sibuk berkerja. Orang yang mengonsumsinya juga per­caya “daun ajaib” ini bisa mengatasi ke­canduan opioid, mengilangkan rasa sakit maupun kecemasan.

Jauh sebelum menjadi trending to­pic di jagad maya dan media elek­tronik, daun kratom telah lama akrab di kalangan masyarakat Kalimantan, ter­­utama Kalimantan Barat. Tana­man ini banyak ditemukan tumbuh liar di kawasan hutan Kapuas Hulu. Selain di Indonesia, vegetasi kratom juga ditemukan di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Myan­mar, dan Thailand.

Karena nilai ekonomisnya yang tinggi, tumbuhan ini dicari bahkan dibudidayakan sebagian petani. Penghasilan yang didapat jauh lebih baik dibandingkan dengan budi daya ko­moditas lain. Tidak hanya untuk konsumsi masyarakat Indonesia, ada juga petani yang mengekspornya ke luar negeri. Pemasarannya bahkan marak melalui media online.

Kratom memiliki nama ilmiah mi­trag­yna speciosa dari famili ru­biaceae. Tinggi pohon ini bisa men­capai 16 meter. Biasanya tumbuh de­ngan baik di daerah aliran sungai. Ciri khasnya adalah daunnya seperti ber­lapis lilin, sehingga terlihat licin. Tulang daunnya berwarna kemera­han. Tumbuhan yang juga dikenal de­ngan sebutan purik atau ketum juga ini memiliki bunga berbentuk bulat bergerigi.

Kandungan zat kratom belaka­ngan ini menjadi kajian menarik para peneliti. Diketahui kratom memiliki bahan aktif alkaloid mitraginin dan 7-hydroxymitragynine yang dapat mem­berikan efek analgesik, an­tiin­flamasi, dan pelemas otot.

Peneliti mengungkap kratom bisa menjadi tanaman medis rekreasi. Kon­sumsi dalam dosis rendah, kra­tom bisa berperan sebagai stimulan serta membantu meningkatkan fo­kus. Namun penggunaan dosis ting­gi, kratom bisa menjadi obat pene­nang yang menghasilkan efek anti­nyeri layaknya candu. Kratom sama ampuhnya seperti morfin dalam hal menghilangkan rasa nyeri. (CNN, 26/12/2016)

Kratom tak hanya menjadi perde­ba­tan di Indonesia saja. Di banyak ne­gara, tumbuhan ini juga menjadi kon­troversi seputar manfaat dan efek negatif yang ditimbulkannya. Di Ame­rika Serikat, sejak 2016 kratom dimasukkan dalam daftar tanaman yang dianggap perlu mendapat pe­ngawasan. Kebijakan tersebut ke­mu­dian dicabut lagi karena menuai protes dari banyak pihak.

Adapun di Indonesia, hingga saat ini daun kratom belum memiliki status hu­kum sebagai zat berbahaya yang bisa menyebabkan adiksi. Da­lam Peraturan Menteri Kesehatan ter­baru yaitu Permenkes nomor 50 Tahun 2018 tentang penggolongan nar­kotika, tak ada tercantum tana­man kratom. Tanaman itu tak masuk di antara 161 jenis narkotika golo­ng­an I, 91 jenis narkotika golongan II, maupun 15 jenis golongan III dalam Permenkes tersebut.

BNN sebagai leading sector bi­dang Pencegahan dan Pemberan­tasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) tak tinggal diam melihat kontroversi kratom di masyarakat. Menurut kajian BNN, efek daun kratom 10 kali lipat lebih berbahaya dibandingkan kokain atau ganja.

Menunggu Permenkes

Karena itu, status kratom perlu di­perte­gas. Deputi Rehabilitasi BNN, Yunis Farida Oktoris, mengatakan pi­hak­nya telah meminta Kemen­terian Kesehatan sebagai pihak yang berwenang menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 agar memasukkan daun kratom sebagai narkotika golongan I. (Kumparan,25/7/2019).

Jika nantinya dimasukkan sebagai nar­kotika golongan I, daun kratom akan bernasib sama dengan daun khat atau catha edulis yang meng­ingatkan kita pada kasus Raffi Ah­mad pada tahun 2013. Kala itu Raffi ditangkap petugas BNN karena diduga terlibat dalam pesta narkoba bersama beberapa temannya.

Dalam proses pendalaman, Raffi di­­nyatakan positif mengonsumsi kati­­nona. Raffi mengaku memakai khat untuk menunjang performanya da­lam menghadapi berbagai kesi­bu­kan syuting. Kasusnya menjadi rumit karena pada saat itu zat tersebut ter­nyata belum tercantum dalam lam­piran penggolongan narkotika Un­dang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Karuan saja Raffi tak bisa dijerat me­­­nurut undang-undang tersebut. Ka­sus­nya pun sempat berlarut-larut. Lo­los dari jerat pidana narkotika ak­hir­nya suami Nagita Slavina itu men­jalani rehabilitasi medis di Balai Re­habilitasi milik BNN di Lido, Bogor.

Setahun pasca kasus Raffi akhir­nya lampiran UU nomor 35 Tahun 2009 diperbaiki dengan terbitnya Per­menkes nomor 13 Tahun 2014 ten­tang Perubahan Penggolongan Nar­kotika. Ka­tinona sebagai zat ber­ba­­haya da­lam daun khat dimasukkan sebagai nar­kotika golongan I di poin ke 35. Bahkan pada peraturan pem­ba­­haruan selanjutnya yaitu Permen­kes nomor 2 tahun 2017, tanaman khat juga dimasukkan dalam lam­pi­ran narko­tika golongan I, poin nomor 114.

Sejak saat itu tanaman khat atau lebih dikenal dengan istilah teh arab yang banyak tumbuh di kawasan Puncak, Bogor dilarang untuk dibu­di­dayakan. Seluruh tanaman yang terlanjur sudah dibudidayakan petani harus dimusnahkan. Siapapun yang menanam dan memeliharanya secara ilegal bisa dijerat dengan UU nomor 35 Tahun 2009.

Sesuai dengan ketentuan UU Narkotika pasal 8, narkotika golo­ngan I dilarang dipergunakan untuk ke­pentingan kesehatan. Dalam jum­lah terbatas, narkotika golongan I han­ya dapat digunakan untuk pe­ngem­bangan ilmu pengetahuan - tek­nologi dan untuk reagensia diag­nostik, serta reagensia laboratorium se­telah mendapatkan persetujuan men­teri atas rekomendasi Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makan­an.

Ancaman pidana juga mengintai orang yang nekat membudidaya­kannya. Pasal 111 UU No 35 Tahun 2009 mengatur bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hu­kum menanam, memelihara, memi­liki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana penjara 4-12 tahun dan denda Rp 800 juta-Rp 8 miliar.

Bahkan jika kedapatan mela­kukan perbuatan tersebut melebihi 1 kg atau 5 batang pohon, pelaku dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 5-20 tahun. Selain itu juga dikenakan pidana denda maksi­mum ditambah sepertiga sesuai ketentuan pasal 111.

Hal itu juga pernah dialami oleh Fidelis, seorang PNS di Pemkab Sanggau, Kalimantan Barat, yang kasusnya heboh pada 2017. Ia divonis bersalah atas kepemilikan 39 batang ganja yang notabene merupakan narkotika golongan I sebagai bahan pengobatan isterinya yang menderita penyakit langka syringomyeila. Ia menanam tum­buh­an narkotika tersebut di bela­kang rumahnya.

Tak berapa lama setelah ditahan, isteri Fidelis akhirnya meninggal karena tak lagi mendapat pasokan ekstrak ganja untuk pengobatannya. Setelah melalui proses peradilan, Fidelis divonis melanggar Pasal 111 dan 116 UU Nomor 35 Tahun 2009. Ia harus menjalani hukuman dela­pan bulan penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu bulan kurungan.

Berkaca pada kedua hal di atas, penetapan suatu zat atau tanaman tertentu menjadi golongan narkotika akan berdampak terutama bagi kelompok yang mendapat nilai eko­nomisnya. Hanya saja berbeda de­ngan khat yang berasal dari Arab, kratom telah ditetapkan Kemen­terian Lingkungan Hidup dan Kehu­tanan sebagai tanaman endemik di Kalimantan Barat. Perdebatannya diprediksi bakal alot.

Meski begitu, kita juga tidak bo­leh lupa bahwa saat ini hampir 5 juta penduduk Indonesia kecanduan narkoba. Penyalahgunaan narkoba membawa mereka terjerembab pada jurang kehancuran. Mereka teran­cam kehilangan masa depan dan bahkan bisa berakhir dengan ke­matian sia-sia jika tidak direhabi­litasi. Narkoba adalah mesin pem­bunuh nomor satu. Mari kita renung­kan!***.

Penulis adalah penyuluh narkoba, ber­tugas di BNNK Deli Serdang

()

Baca Juga

Rekomendasi