Ke Mana Kau Menghilang, Janter?

ke-mana-kau-menghilang-janter

Oleh: Biolen Fernando Sinaga

Tak banyak yang mengenalmu, Janter. Kalau pun ada yang sempat mengenalmu, mereka tentu sudah lupa padamu. Sebab kemunculanmu hanya dalam hitungan tahunan.

Dulu wajahmu memang sempat sering terlihat di televisi, menyanyikan lagu anak-anak yang kala itu cukup terkenal, berjudul ‘Katakan Mama’, yang bercerita tentang seorang anak yang begitu ingin membuat bahagia ibunya yang telah janda. Sang anak ingin membantu meringankan beban ibunya, meski harus menyemir atau menjual koran sepulang sekolah.

Janter, saat aku mendengar lagumu itu, aku telah kehilangan ibuku yang telah wafat saat aku masih duduk di kelas lima SD. Jadi lagumu itu sung­guh menyentuh hatiku, apalagi irama­nya begitu syahdu. Saat itu aku berpikir, dirimu masih lebih beruntung dariku, karena masih bisa merasakan kasih sayang ibumu, sedangkan aku tidak lagi. Padahal aku anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga kami, sehingga akulah yang paling dekat dengan ibu.

Album ‘Katakan Mama’ cukup sukses sehingga dibuat juga versi bahasa daerah kita: Tapanuli. Sebab kamu adalah seorang anak berdarah Tapanuli bermarga Simorangkir, yang konon berasal dari Tarutung, Sumatera Utara. Sepintas aku pernah dapat kabar, konon ibumu juga telah tiada. Lagu Katakan Mama versi Tapanuli ‘Paboa Inang’, juga sama syahdunya dengan versi asli, bahkan terdengar lebih menyayat karena dihiasi suara sulim (seruling Tapanuli) yang merdu itu. Lagu lainnya juga dalam album itu bervariasi antara lagu gembira dan lagu andung (ratapan). Sungguh, aku tak bosan-bosan mendengarnya. Tanpa sadar aku menjadi seorang pengge­marmu, yang tentu ingin suatu hari bisa bertemu denganmu.

Setelah album pertamamu ‘Katakan Mama’ yang sukses itu, kau masih membuat album baru. Intinya masih tentang orangtua —yakni perceraian ayah dan ibu—, namun aku lupa judulnya. Album itu juga lumayan laris di pasaran dan juga dibuat versi Tapanulinya.

Lalu suatu hari kau mendapat kecelakaan yang menyebabkanmu berjalan harus memakai kruk. Situasi itu memunculkan albummu yang baru, tentang seorang anak yang menghibur ibunya yang sedih karena putranya cacat oleh tabrakan. Kembali suaramu yang sendu menyihir banyak orang.

Lagu-lagumu kudengar dari tape recorder induk semangku, karena aku kos saat melanjutkan pendidikan di kota. Aku tak punya uang lebih untuk membeli kasetmu. Orangtuaku me­mang sangat sederhana, sehingga aku tak mendapat uang jajan yang luma­yan.

* * *

Namun, beberapa tahun kemudian, saat aku kuliah, aku bisa mendapat uang jajan agak lumayan dari hasil menulis puisi dan cerpen. Pengalaman hidupku yang lumayan sedih karena telah ditinggalkan ibu di usia muda, menempa jiwaku menjadi seorang yang perasa dan mencintai seni. Begitulah, bakat menulis yang dianu­ge­rah­kan Tuhan padaku memungkin­kanku untuk mendapatkan sejumlah  uang. Aku pernah menulis sebuah cerpen berjudul ‘Surat dari Ibu’ yang salah satu tokohnya seorang mahasis­wa bernama Janter Simorangkir. Aku juga agak heran namun gembira ketika seorang kakakku menamai anaknya Janter meskipun aku tak pernah menceritakan tentang kamu dan lagumu kepada kakakku.

Suatu hari aku melihat-lihat album lama di sebuah toko kaset. Ternyata aku menemukan satu albummu versi Tapanuli masih tersisa. Tanpa pikir panjang aku membelinya, dan men­den­gar­nya dengan tak bosan. Satu lagu berjudul ‘Rege Tumba’ yang berirama gembira, sungguh mampu membuat semangatku bangkit untuk melakukan tugasku dalam kehidupan. Tentu lagu ‘Paboa Inang’ tetap menjadi lagu paling kusuka. Ada pula lagu tentang ‘Rura Silindung’ alias kota Tarutung yang indah, tempat asalmu. Seluruh lagu dalam album itu amat memikatku.

Sayangnya, semakin hari pita kaset itu semakin sayup suaranya, karena terlampau sering kuputar. Padahal kaset seperti itu sudah tak lagi ada di toko.

Aku sungguh menyayangkan, mengapa kau tak lagi mengembangkan bakat menyanyimu. Mungkinkah suara remaja dan dewasamu menjadi tak seindah suara kanak-kanakmu? Atau adakah bakat lain yang lebih menarik bagimu? Aku tak tahu.

Aku selalu berusaha mencari informasi tentang keberadaanmu kini namun tak bisa kutemukan. Hanya satu dua lagumu dimasukkan orang ke Youtube, itu pun sulit didengar dengan nyaman karena sering buffering. Sedangkan profilmu di Facebook tak dapat kutemukan.

Seorang penyanyi anak-anak telah menyanyikan ulang lagu Paboa Inang. Suaranya juga cukup merdu, namun bagiku, suaramu lebih menyentuh.

Meski belum pernah bertemu denganmu, aku selalu merindukanmu. Hanya satu yang kuinginkan tentang­mu, semoga suatu saat kau bernyanyi lagi, meskipun itu hanya sebuah single (satu lagu), atau syukur-syukur satu album. Jika harapan itu terwujud, aku pasti akan membeli album yang berisi lagumu itu. Syukur-syukur bisa pula aku mendapatkan tanda tanganmu untuk melengkapi koleksiku yang sudah berjumlah puluhan, atau berfoto bersamamu seperti pernah kulakukan dengan beberapa artis.

Lagumu selalu mendekatkanku dengan sosok ibu yang hanya bisa kutemukan dalam memori kenangan­ku. Dan membuatku menjadi seorang penulis yang kerap mengangkat sosok kaum Kartini dan kaum ibu dalam tulisanku. Aku menjadi pria yang berusaha menjadi feminis —pembela hak-hak perempuan— meski dengan usaha yang sederhana. Sosok ibu dan perempuan pada umumnya memang­lah harus kita muliakan, karena mere­kalah yang melahirkan dan mengasuh kita dengan kasih sayang yang tak ber­kesudahan.

Semoga Tuhan selalu melindungi­mu, sahabatku Janter Si­morangkir. Dan jika Dia mengizinkan, semoga suatu saat aku sang penggemar bisa bertemu denganmu idolaku. Ya, semoga !

* Medan, 2011-2013

()

Baca Juga

Rekomendasi