
Oleh: J Anto
Seorang sufi berkata bahwa mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan perilaku manusia dipicu oleh penglihatan mata. Mata juga jendela untuk melihat dunia. Namun ‘panglima hati’ itu terancam oleh si pencuri penglihatan, the killer silent dan oleh apa yang disebut sebagai si mata malas.
Puluhan anak remaja, Senin (9/9) sore, ramai-ramai mendatangi sebuah klinik mata dan optik yang terletak di Jalan Bandung, Pasar Baru, Medan. Mereka umumnya mengenakan kaos oblong dan bersandal jepit. Namun ada juga yang masih mengenakan seragam sekolah dan memakai sepatu. Jumlah mereka 14 orang.
Anak-anak remaja itu berasal dari Panti Asuh Buddhis Metta Padma yang terletak di Kompleks Karya Cilincing, Jalan Yos Sudarso. Mereka adalah anak-anak yatim piatu.
Didampingi Imelda, seorang pengurus panti, mereka langsung masuk ke sebuah ruang berbentuk oval yang merupakan etalase berbagai desain kacamata. Beberapa saat, seorang perempuan muda muncul dan menyapa ramah anak-anak itu. Rambutnya panjang, diikat dan diberi sebuah tusuk rambut. Perempuan muda itu mengenakan jas dan blaster warna putih dipadu celana panjang hitam.
“Kalian nanti satu persatu saya periksa ya, jangan takut. Tidak apa-apa ya?” ujarnya menebar senyum sembari menyalami satu persatu anak-anak remaja itu. Perempuan muda itu tak lain Dr. Shindy Je, kepala optometrist sekaligus pemilik Dr. Shindy Je Optical Clinic.
Menurut Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) yang didirikan budayawan ternama Jaya Suprana, Dr. Shindy Je adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di bidang Visual Science. Meraih Ph.D dari Cardiff University, United Kingdom (UK), Shindy memiliki spesialisasi di bidang mata malas dan glaukoma. Penghargaan dari MURI diterima puteri bungsu dari tiga bersaudara itu pada 6 April 2019.
Hari itu, Shindy tengah mengadakan kegiatan pemeriksaan mata sekaligus pengobatan (terapi) gratis. Sasarannya anak-anak yatim piatu tadi.
“Sebenarnya ada 17 anak, tapi tiga orang masih bekerja,” tutur Imelda, yang juga sebagai kakak asuh di panti yatim piatu yang berdiri sejak 2009 itu.
Bukan sekali ini saja Shindy terlibat kegiatan pengobatan mata gratis. Sejak tahun 2018, sepulang kembali ke Indonesia dan sembari menyiapkan pengoperasian klinik matanya, Shindy bergabung dengan Rotary Club Medan Deli. Rotary adalah organisasi sosial yang sering melakukan kegiatan pengobatan gratis untuk warga kurang mampu. Shindy menjadi dokter mata relawan di situ.
Salah satu kegiatan bakti sosial yang pernah dilakukan adalah memeriksa kesehatan mata para penghuni Panti Jompo di Taman Bodhi Asri, Binjai. Saat ini, ia juga tengah terlibat penyiapan program pengobatan keliling gratis di Rotary Club Medan Deli.
Begitulah, sore itu 14 remaja dari Panti Asuh Budhis Metta Padma satu persatu diperiksa Shindy di ruang prakteknya yang dicat serba putih. Empat buah peralatan pemeriksaan mata terdapat dalam ruangan itu.
Ada slit lamp yang berfungsi untuk mengecek kesehatan mata, corneal topographer yang berfungsi untuk melihat kelengkungan mata dan kesehatan air mata, tonometer yang berfungsi untuk mengecek tekanan mata, dan retinoscope yang berfungsi untuk mengetahui ukuran mata.
Tak Irit Bicara
Jauh dari gambaran dokter yang “irit bicara”, Shindy justru terlihat cair saat berkomunikasi dengan pasiennya. Ia bahkan sempat mengajak bercanda, dan tak jarang menepuk bahu pasien. Hal itu misalnya dilakukan saat memeriksa mata Jeny yang ternyata memiliki gangguan mata kering.
“Nanti kamu jangan terkejut ya saat saya periksa tekanan mata kamu, nggak sakit kok, cuma kamu mungkin kaget saja karena mata kamu disemprot angin...”
Lewat metode pemeriksaan seperti ini, pemeriksaan pasien bisa berlangsung antara 15 - 30 menit. Bahkan bisa lebih. Tergantung keseriusan kesehatan mata pasien. Sore itu, pemeriksaan anak-anak Panti Asuh Buddhis Metta Padma baru berakhir pukul 20.30 WIB Jalan Bandung sudah berubah lengang dan lampu neon sudah berpijar di kawasan Pasar Baru.
Geliat kehidupan ekonomi sudah berubah. Jika pagi sampai sore hari, kawasan itu dikenal sebagai sentra bisnis onderdir mobil dan toko jam, malam hari bersama bersama Jalan Surabaya dan Semarang dikenal warga Medan sebagai sentra kuliner.
“Haha biasa saja, saya sudah biasa kerja sampai malam,” ujar Shindy saat ditemui di kliniknya.
“Ada satu anak yang menderita mata malas. Sayang usianya sudah 16 tahun,” ujar Shindy saat membeberkan hasil pemeriksaannya. Untuk menjaga agar mata malas Dewi tidak makin memburuk, ia telah meminta pihak panti untuk memeriksakan mata Dewi setiap 6 bulan sekali.
“Harus kita kontrol power mata malasnya agar minusnta tak terus naik agar lebih nyaman,” ujar Shindy.
Menurut perempuan kelahiran 1989 ini mata malas merupakan gangguan penglihatan sebelah mata pada anak-anak karena otak dan mata tidak terkoneksi dengan baik sehingga mengakibatkan penglihatan menurun. Otak cenderung ‘mempekerjakan’ atau memerintahkan salah satu mata saja. Hal ini akibat penglihatan mata yang satu lebih buruk dari mata yang lain. Kondisi kesehatan mata yang berbeda ini membuat otak mangabaikan sinyal atau impuls dari mata yang lemah penglihatannya.
Mata malas umumnya dialami anak-anak. Sayangnya tak banyak orangtua sadar tentang penyakit yang mengancam mata anak-anak mereka. Jika tidak diterapi dengan benar, mata malas juga dapat mengakibatkan kebutaan. “Jika mata malas baru diketahui saat anak telah berusia 10 tahun ke atas, akan susah diterapi,” katanya.
Sejak membuka praktek pada pertengahan Agustus 2019, atau baru kurang lebih sebulan, Shindy telah menemukan 14 kasus mata malas. Plus satu orang dari anak Panti Asuh Buddhis Metta Padma. Itu artinya sudah 15 kasus mata malas yang ditemukan di Medan.
Bagi Shindy temuan ini cukup mengejutkan. Terlebih ia menemukan kasus mata malas secara tak sengaja. Anak awalnya dibawa orangtua ke klinik bukan untuk diperiksa kesehatan mata mereka. Tapi hanya untuk menemani orangtua yang tengah menghadapi masalah kesehatan mata. Sebagai doktor spesialis mata malas, ia ingin mencari tahu gambaran mata malas pada anak-anak Indonesia.
Mempersempit Pilihah Karir Anak
Bagi Sindy, jika tidak diketahui secara dini dan diterapi, mata malas akan menimbulkan banyak kerugian bagi masa depan anak.
“Ini mengingat perjalanan hidup anak masih panjang, terutama menyangkut karir mereka kelak,” katanya. Seorang anak yang memiliki mata malas misalnya tak bisa berkarir sebagai pilot atau dokter dan profesi lain yang menuntut kesehatan mata prima.
Anak yang menderita mata malas, tak mudah dikenali. Mata anak terlihat normal seperti mata umumnya, kecuali mereka yang juling. Meski begitu, jika orangtua perhatian, mata malas sebenarnya dapat ditengarai dengan gejala seperti anak mengalami penglihatan ganda, sering berkernyit, sulit memperkirakan jarak penghilangatan terhadap sebuah objek penglihatan, mata sering bergerak ke arah dalam (juling) atau anak sering memiringkan kepala agar melihat dengan jelas.
Kasus mata malas di luar negri, misalnya di Inggris tempat Shindy selama 10 tahun menuntut ilmu, tergolong tidak terlalu tinggi. Menurut Shindy itu disebabkan sistem jaminan kesehatan masyatakat sudah relatif bagus.
“Di Inggris, begitu anak lahir ada fasilitas kesehatan dari pemerintah untuk cek kesehatan mata anak,” katanya. Lalu saat anak umur 3 tahun, 6 tahun dan 10 tahun, anak juga mendapat layanan kesehatan mata. Akibatnya mata malas mudah terdeteksi dan diterapi secara medis hingga sembuh sebelum anak mencapai usia 10 tahun.
Namun di negara kesadaran untuk masyarakat untuk memeriksakan kesehatan mata belum jadi prioritas. Sebenarnya saat Shindy mengambil ptogram doktoralnya di Cardiff University, awalnya ia a mengambil penelitian tentang glaukoma, penyakit tekanan darah mata yang bisa mengakibatkan kebutaan. Di dunia, glaukoma dikenal sebagai silent killer. Glaukoma adalah si pencuri penghilatan.
Glaukoma adalah kerusakan saraf mata akibat meningkatnya tekanan pada bola mata. Meningkatnya tekanan bola mata ini terjadi akibat gangguan pada sistem aliran cairan mata. Seseorang yang menderita kondisi ini dapat merasakan gejala berupa gangguan penglihatan, nyeri pada mata, hingga sakit kepala.
Glaukoma menjadi penyebab kebutaan terbanyak kedua di dunia setelah katarak. Data yang dihimpun WHO pada 2010 menunjukan, 39 juta orang di dunia menderita kebutaan dan 3,2 juta di antaranya disebabkan oleh glaukoma.
Gejala yang muncul akan berbeda-beda pada setiap penderita glaukoma. Akan tetapi penderita glaukoma umumnya mengalami gangguan penglihatan. Beberapa gangguan penglihatan yang muncul dapat berupa: Penglihatan kabur, terdapat lingkaran seperti pelangi ketika melihat ke arah cahaya terang, memiliki sudut buta (blind spot), Kelainan pada pupil mata, seperti ukuran pupil mata tidak sama.
Glaukoma menurut Shindy harus diwaspadai mengingat mata tak bisa dicangkok atau ditransplantasi seperti organ tubuh lain.
Jangan Korbankan Impian Anak
Dalam perjalanan waktu, Shindy mulai tertarik juga mata malas pada anak-anak. Ia sadar penyakit glaukoma sampai saat ini belum bisa disembuhkan. Upaya medis baru berhasil membantu pasien memperpanjang atau menunda masa kebutaan.
Di sisi lain sebagai dokter, ia juga memiliki keinginan agar pasien yang ditangani mengalami kesembuhan. Sebuah kejadian makin memperkuat keinginannya untuk mengambil spesialis mata malas.
Suatu hari saat dirinya melakukan praktek sebagai optometrist atau dokter mata di klinik universitas tempat ia kuliah, seorang anak setelah diperiksa ternyata mengalami buta warna. Ternyata, selama ini oleh guru di sekolahnya, si anak “dicap” sebagai anak nakal. Gara-garanya, saat pelajaran menggambar, anak itu tak mau mengikuti petunjuk gurunya. Si anak sebenarnya bukan bandel, tapi ia tak bisa membedakan warna.
“Kasihan selama ini anak terus disalahkan padahal karena ia buta warna,” katanya. Ia tak ingin nasib seperti dialami anak-anak lain. Apalagi anak-anak yang memiliki mata malas. Perjalanan hidup anak-anak masih panjang. Mereka punya impian masing-masing. Jangan gara-gara tak awas dengan mata malas atau gangguan kesehatan mata lain, impian anak-anak jadi korban.