Mengatasi Permasalahn Sawit Indonesia

mengatasi-permasalahn-sawit-indonesia

Oleh: Nevatuhella. Sawit Indonesia terdepak dari pa­sar internasional. Uni Eropa mem­buat aturan mengurangi sum­ber minyak sawit dengan alasan pe­nye­­bab deforestasi. Sementara India menerapkan tarif impor lebih ti­nggi bagi produk sawit Indonesia di­ban­­dingkan Malaysia. Uni Eropa dan India sama-sama konsumen mi­nyak na­bati terbesar di dunia. Se­da­ng­­kan Indonesia ialah negara pro­dusen sawit dengan rata-rata pro­duksi 44 hingga 46 juta ton per ta­hun. Ketika Uni Eropa dan India se­cara halus memutuskan untuk ti­dak lagi mem­beli sawit Indonesia, lan­tas mau ke mana dibawa sawit kita?

Bila ditelaah lebih jauh sebe­narnya alasan Uni Eropa atas defo­res­tasi yang disebabkan perkebunan sawit tak masuk akal. Memang re­pu­tasi sawit perihal deforestasi cu­kup buruk. Namun bila melansir The Conversation, maka kita temu­kan fakta bahwa perkebunan sawit han­ya bertanggung jawab atas 3 persen deforestasi global, bukan 40 persen sebagaimana yang di­de­ngung-dengungkan selama ini. Ke­mu­dian patut pula kita heran, me­ng­apa Uni Eropa sekarang ini men­jadi sangat peduli pada perkara deforestasi akibat perkebunan sawit? Bukankah selama ini, selama ber­tahun-tahun Uni Eropa meng­im­por minyak sawit untuk me­me­nuhi kebutuhan domestiknya?

Dengan penolakan Uni Eropa dan India atas minyak sawit Indone­sia, maka kebijakan mengurangi dam­pak negatif dari kelebihan hasil (over supply) dengan meng­opti­mal­kan penggunaan crude palm oil (CPO) sebagai bahan bakar meru­pa­kan langkah jitu. Pemerintah saat ini sedang melakukan optimalisasi CPO melangkah ke bahan bakar cam­puran solar ke tahap mandatori 30 persen atau B-30. Selama ini kita sak­sikan bersama pemakaian man­datori B-20 untuk kendaraan ber­me­sin diesel sudah tidak bermasalah.

Memang diketahui pada tahap awal pemakaian bahan bakar cam­pu­ran (B-20) ini sempat muncul ma­salah-masalah kecil. Namun setelah di­implementasikan terbukti tidak ada masalah. Hanya terjadi penu­ru­nan tenaga kendaraan sekitar 1-2 per­sen. Buktinya selama kurun wak­t­u tahun 1972-2018 kendaraan yang diproduksi Indonesia seban­yak 18,3 juta unit. Kira-kira 25 per­sennya atau 4,5-4,6 juta di antaranya ber­mesin diesel, yakni tidak ada lagi yang memakai solar murni alias solar B-20.

Menurut Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), Andriah Feby Misna dalam sosialisasi uji jalan B-30 di Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (29/8/2019), penera­pan kebijakan penggunaan B-30 yang akan diterapkan pada 1 Januari 2020, diproyeksikan akan meng­he­mat devisa hingga 4,83 miliar dollar AS atau sekitar Rp 69,5 triliun.

Meningkatnya pemakaian CPO akan berdampak menurunnya peng­gu­naan solar. Dan masih menurut An­driah, penggunaan B-20 selama ini (sejak September 2018) telah menghemat pemakaian 6,19 juta kilo­liter solar impor. Nilai itu setara dengan nilai 3,12 miliar dollar AS atau sekitar Rp 44,9 triliun.

Terhadap petani sawit penyera­pan CPO untuk bahan bakar ini me­ru­­pakan kabar gembira. Sebab se­lama beberapa bulan belakangan ini petani sawit, terlebih yang hanya me­miliki kebun sawit di bawah sa­tu-dua hektar merasa sangat ter­pukul. Harga yang anjlok hampir 50 persen membuat mereka BEP pun tidak sebagai imbalan menanam sa­wit. Bahkan ada beberapa petani sawit yang menelantarkan sawitnya ter­sebab anjloknya harga ini. Kita bisa bayangkan kalau harga se­kilo­nya tandan buah segar (TBS) hanya berkisar Rp 300-Rp 400. Meng­hi­tung jumlah tenaga pemanen saja hi­ngga biaya transpor ke tempat pe­ngumpulan sudah hampir mencapai se­paruh harga.

Petani sawit berharap harga buah sawit akan terus naik. Tentunya ini akan terjadi bila ada signifikasi dari pe­ng­gunaan CPO sebagai bahan ba­kar. Agaknya kita perlu mengingat kem­bali apa yang pernah dilon­tar­kan Joko Widodo pada saat kam­panye Pilpres 2019 yang lalu. “Saya akan memaksimalkan biodisel men­jadi B-100.” Begitu ucap Joko­wi, dan semua anak negerti tentu ber­harap semoga ini tidak menjadi bo­hong bagi lidah yang tak bertulang.

Langkah lain bagi CPO adalah me­man­faatkannya sebagai pem­bang­kit tenaga listrik. Bukankah di be­berapa pabrik pengolahan kelapa sa­wit beserta turunannya (oleoc­he­mical), keluhan sering terjadi atas pa­sokan gas. Gas memang ada. Hanya harganya tak terjangkau.

Sumatera Utara mempunyai salah satu daerah Masterplan Perce­pa­tan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yaitu sebuah perkebunan lengkap dengan pengolahannya di Sei Mangkei. Ke­lu­han bakan bakar sering terjadi di­sini. Mengapa tidak meminta agar pemerintah men-drive atau men­do­rong agar segera direalisasikan pe­ng­gu­naan CPO untuk pembangkit tenaga listrik.

Selama ini memang sebagai negara termasuk paling besar mem­produksi CPO di dunia, Indonesia jauh ketinggalan memanfaatkan CPO dan turunannya. Baik untuk bahan bakar maupun industri lain­nya. Barangkali tersebab hingga saat ini, sawit masih merupakan pri­madona ekspor Indonesia di sam­ping produk tanaman lainnya. Hing­ga kita terlena begitu ada pihak yang menggoncang kemapanan tersebut.

Negara samba Brazil saja saat ini sudah memproduksi Bio 100 ber­ba­sis etanol nabati. Bagi pembeli mo­bil mewah yang menggunakan Bio 100, dikenakan hanya 8 persen PPnBM (Pajak Penjualan atas Ba­rang Mewah). Sementara mobil ber­mesin pembakaran biasa dikenakan PPnBM berkisar 10-15 persen.

Di minggu kedua bulan September ini, kabar baik datang dari India. Di mana India berjanji akan menyamakan bea masuk sawit olahan impor (refined bleached deodo­rized palm oil/RBDPO) yang sela­ma ini 10 persen di atas impor ma­suk sawit olahan asal Malaysia. K­a­bar ini disampaikan Menteri Per­dagangan RI, Enggartiasto Lukita, usai pertemuan bilateral dengan Menteri Perdagangan, Industri dan Perkeretaapian India Piyush Goyal disela-sela Asean Economic Ministers Meeting (AEM) ke-51 di Bang­kok, Thailand pada Minggu 8 September silam.

Enggartiasto menyebut juga bahwa pada prinsipnya Indonesia sangat terbuka dalam menjalin perdagangan dengan India. Saat ini India menjadi pengimpor gula men­tah terbesar ke Indonesia. Juga pe­ng­impor sapi dengan bobot 100.000 ton per tahunnya. Tercatat bahwa pada tahun 2018 India mengalami defisit dalam perdagangan dengan Indonesia sebesar 8 miliar dollar AS. Mempertimbangkan defisit ini, seharusnya India berhati-hati me­mu­tus rantai dagang sawit olahan In­donesia. Tinggal tiga bulan lagi, kemungkinan besar angka defisit ini akan terdengar kembali. Untung-rugi India dengan Indonesia akan ter­lihat dengan kesepakatannya pada 2019 ini terhadap RBDPO Indo­nesia. ***

Penulis adalah esais, pengamat kebijakan publik.

()

Baca Juga

Rekomendasi