Kakak Kedua

kakak-kedua

Oleh: Rosni Lim

Setelah lima tahun keper­gian kakak kedua, aku masih berpikir tentang­nya. Kepergian­nya yang tiba-tiba di suatu pagi tanpa gejala sakit atau lainnya. Mama menemukannya tak ber­nyawa terba­ring di ranjang da­lam kamar kon­trak­an­nya. Saat berkunjung ke rumah­nya, pukul tujuh pagi.

Kabar kepergiaannya kuteri­ma mela­lui telepon di Senin pagi itu. Kenapa, baru beberapa waktu lalu terlintas di benakku pikiran ini. Seperti ada firasat, seseorang dari anggota keluarga besarku akan pamit. Ternyata, firasatku benar.

Malam sebelum kakak kedua mere­gang nyawa, perasaanku sung­guh tak enak. Makan nasi uduk di rumah makan pecal lele, serasa susah sekali menelan. Da­lam perjalanan pulang di atas se­peda motor, aku berpikir untuk singgah sebentar ke rumah Ma­ma. Ingin bertanya kabar kakak kedua.

Siang sebelumnya, aku bah­kan terja­tuh di rumah sendiri. Jatuh yang mem­buat seluruh ba­danku menghan­tam lan­tai. Pera­saan jatuh kali ini sungguh lain, seolah membuat hatiku remuk-redam. Ternyata itu pertanda, aku akan benar-benar “jatuh” sampai hampir tak bisa bangkit lagi.

Sulit mencari orang yang be­nar-benar mengerti di­ri­ku. Ka­kak kedua, dalam keluarga pa­ling mengerti. Dia yang paling de­kat dan sayang. Dia jugalah yang meng­anggapku adik. Tak he­ran, ke mana pun dia menga­jak­ku pergi di waktu kecil, aku se­lalu mau.

Ke­ber­sa­ma­­an ka­mi yang ter­akhir kali, di pantai sebulan sebelum kepergiannya. Saat itu adalah hari raya Idulfitri. Di sana, dia terus duduk seorang diri di pondok. Ada penjual sate lewat, dia memanggilnya.

Mata Kak Kei berbinar meli­hat sate-sate kerang yang disusun di atas tampah.

“Kakak mau semua sate ini?” tanyaku ketika lewat di depan pon­doknya setelah dari toilet.

Dia mengangguk dan menge­luarkan dompetnya, mencari-ca­ri selembar uang.

“Ada uang kecil, Kak? Biar aku yang bayarkan?”

“Tak usah, di sini ada,” kata­nya sambil menyerahkan selem­bar uang dua puluh ribuan pada penjual sate.

Setelah itu aku berjalan me­ninggal­kannya sendirian di pon­dok. Aku sibuk bermain pasir dan ombak bersama si kecil, lalu mengambil foto-foto kami ber­dua. Tak terpikir olehku sama sekali, mengabadikan momen ke­bersamaan bersama Kak Kei di kala itu.

Menjelang akhir hayatnya, Kak Kei menunjukkan tanda-tan­da aneh. Sifatnya yang semula penyabar menjadi pemarah. Be­be­rapa kali emosinya meledak ke­tika ada ucapan yang salah  pa­dahal bukan maksudku. Aku bahkan tak mengerti apa alasan­nya marah.

Seperti Imlek beberapa tahun sebelum kepergiannya. Di hari pertama Imlek itu aku berkun­jung ke rumah Mama. Aku meli­hatnya bersiap-siap makan se­mangkuk sup bakso ikan. Tak se­ngaja, ucapan ini terlontar dari mulutku, maksudku untuk me­man­cing tawa.

“Wah, makannya banyak, nih,” can­da­ku, melihat tangan Kak Kei yang sedang memegang semangkuk sup bakso ikan dan daging.

Kontan aku kaget, Kak Kei menang­gapi ucapanku dengan ke­marahan tak terkira. “Kau bilang makanku ba­nyak? Aku baru selesai bantuin Mama masak-masak di malam Imlek untuk makan kalian hari ini. Baru siap kerja! Capek, tahu! Baru mau makan semangkuk sup bakso ikan, kau bilang makanku banyak, hah!” katanya, lalu menangis seseng­gukan sambil minum semangkuk sup itu.

Aku terperanjat dan ternga­nga diam, tak berani berucap apa-apa. Sungguh tak mengerti, candaanku disalahtanggapi Kak Kei, dia mengiraku menuduhnya rakus.

“Kelak, kalau kau ingin mem­beriku makan sebanyak ini bakal tak sempat lagi! Ingat itu!”

Aku semakin diam. Tak me­ngerti, kenapa Kak Kei sampai marah begitu. Biasanya dia baik dan lembut padaku. Tak pernah bicara kasar apalagi sampai ma­rah dan membentak. Itu menjadi kenangan buruk yang menggon­cangku bila aku ingat Kak Kei.

Dua tahun sebelum kepergi­an­nya, dia memberikan hadiah se­patu untuk suami­ku. Saat itu aku sudah berpikir, kenapa ha­diahnya sepatu? Konon, menurut mitos yang kudengar, pantang membe­rikan hadiah sepatu dan sapu tangan ke­pa­da seseorang. Ka­re­na itu pertanda akan ber­pisah atau mengucapkan selamat ting­gal.

Di tahun kepergiannya, pas di hari pertama Imlek juga, kami berkumpul di rumah Mama. Dia bilang padaku ingin sekali makan piza. Spontan saat itu juga aku per­gi mencari piza di sebuah res­toran cepat saji.

Ketika piza itu kubeli dan ku­bawa ke rumah Mama untuk dicicipi olehnya, dia malah tidak menyentuhnya sama sekali dan bilang, “Kasih anakmu makan.”

Apa maksud Kak Kei? Piza yang kubeli itu sama sekali tidak disentuhnya dan disimpan Mama di kulkas sampai ke­esokan hari­nya. Ketika Mama berta­nya ma­sih maukah piza itu, barulah dia bawa pulang.

Sekarang aku mengerti, Kak Kei sebenarnya tidak ingin ma­kan piza. Dia hanya ingin me­ngujiku apakah masih sa­yang atau peduli padanya?

Aku sungguh bodoh, tak tahu kalau beberapa tahun sebelum kepergiannya, Kak Kei mengalami depresi. Dia merasa kurang diper­hatikan, dijadikan sasaran kemara­han dan disalahkan. Saudara-sau­daranya sukses, tapi dia gagal. Aku, walaupun tidak sukses, tapi tidak juga gagal.

Karena itu, Kak Kei mencari pe­lam­piasan. Obat penenang. Un­tuk mene­nang­­kan hatinya yang risau gelisah. Un­tuk meredam se­mua kesedihan, kepiluan, ketidak­berdayaan. Untuk mengganti ke­kecewaan dengan ketenangan se­saat. Sampai obat itu melebihi dosis dan dia tenang untuk selamanya.

Walaupun bukan aku yang me­laku­kan­nya, tapi membiarkannya dalam depresi hingga mencari obat penenang itu adalah kesalahanku. Tak peduli pada seseorang itu ada­lah kesalahan terbesar yang bisa membunuhnya perlahan-lahan.

Aku tak tahu kenapa di akhir hi­dupnya Kak Kei harus dekat de­ngan orang itu, seorang pria yang sudah berumah tangga. Kata Kak Kei, mereka berteman baik. Teman itu sering membelikannya maka­nan dan memberinya uang. Karena itulah Kak Kei tidak perlu lagi me­minta uang dari mama.

Sebagai anak bungsu yang se­lalu dianggap anak kecil, tapi dari umurku aku sudah dewasa. Aku su­dah bisa menilai, itu bukan se­suatu yang benar. Dekat dengan seorang pria yang sudah punya is­tri dan anak, apa pun alasannya, tetaplah salah.

Tak ada yang menegur Kak Kei. Membiarkan pria itu terus dekat dengan­nya. Aku sendiri tak berhak ikut campur urusan Kak Kei. Apa­lagi sampai meng­ha­langi kebaha­gia­annya.

Bertahun-tahun aku butuh wak­tu untuk mengerti, saat itu, Kak Kei sebenarnya tak punya jalan la­in. Bila ada seseorang yang me­ngulurkan tangan di saat kamu ter­jatuh dan tak ada yang peduli pa­damu, bukankah kamu pasti akan menyerahkan tanganmu padanya supaya diselamatkan olehnya?

Apakah aku berdosa? Itu selalu yang terlintas di benakku. Membi­arkan Kak Kei dalam depresi, tak menunjukkan rasa peduli, itu sama saja dengan menyakiti. Rasa sakit yang teramat sangat akan mem­ bu­nuh perlahan-lahan. Itu aku laku­kan.

Semuanya kini menjadi jelas, kenapa Kak Kei di akhir hayatnya berubah sifat dan sering meledak hanya karena hal kecil. Karena dia kecewa dan marah padaku, aku ma­sih belum mengerti dirinya. Aku masih belum memahami­nya. Aku membiarkannya terluka depresi sekian lama tapi tak jua mengu­lurkan tangan membantunya bang­kit.

Sampai dia terpaksa mencari bantuan orang lain. Menerima ulu­ran tangan orang lain. Orang yang seharusnya tidak dia terima karena adalah milik orang lain.

Hari ketujuh meninggalnya Kak Kei, abang kedua tiba-tiba sakit DBD parah, trombositnya tinggal 20.000 dan dirawat intensif di ru­mah sakit. Sebulan setelah meninggalnya Kak Kei, aku tiba-tiba terkena GERD parah sampai kukira hidup  tak mungkin lagi bahagia kalau ha­ti terus-menerus tak enak ditam­bah sakit.

Dua bulan setelah mening­galnya Kak Kei, anakku tiba-tiba terkena usus buntu parah dan harus segera dioperasi ka­lau tak mau pecah.

Tiga bulan setelah mening­galnya Kak Kei, anak satu-sa­tu­nya Kak Kei terkena sin­drom johnson parah. Mem­buat sekujur tubuhnya timbul bentol-bentol sampai ke ram­but, wajah dan sekitar mata. Karena alergi obat penenang yang diberikan dokter selepas kepergian ibunya.

Salah satu keponakanku pun didiag­no­sa menderita lupus dan harus dikemo­terapi berbulan-bulan. Lalu mataku tiba-tiba rusak parah.

Mama tiba-tiba lumpuh dan harus diopname di rumah sakit selama sebulan. Setelah itu duduk di kursi roda, padahal sebelum kepergian Kak Kei, mama masih sehat, bisa ke pasar tiap pagi, memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Seolah-olah suatu hu­kuman atau robohnya sebuah “tameng”.

“Aku mimpi mengenakan baju pe­ngan­tin putih,” kata ka­kak kedua bebera­pa tahun lalu.

“Mimpi mengenakan baju pe­ngantin putih?” tanyaku. Se­tahuku, mimpi itu ti­dak bagus, sepertinya orang yang ber­mim­­pi akan segera meninggal­kan dunia fana.

Setelah kepergian kakak ke­dua, beberapa kali aku pun bermimpi menge­nakan baju pengantin putih. Apakah itu ar­tinya?

Teringat olehku kesalahan yang hampir sama dengan ka­kak kedua yang pernah kula­kukan di masa lalu. Pria itu men­dekatiku. Dia sudah beru­mah tangga dan punya anak. Untunglah, aku hanya khilaf sesaat, tak sampai mere­coki rumah tangga orang lain.

Aku segera menjauh. De­ngan cara lembut tentunya. Walaupun aku kecewa dengan sikap suami, tapi aku tak mau me­ngulangi kesalahan yang sama. Kesalahan kakak kedua yang sampai me­renggut nya­wa­nya. Aku tak mau menjadi manusia yang melewati batas.

Walaupun orang lain tak me­lihat, tapi alam punya mata. Hukum karma itu ada. Perca­ya­kah?

Medan, Juni 2019

()

Baca Juga

Rekomendasi