Pengelolaan Sampah di Kos-kosan

pengelolaan-sampah-di-kos-kosan

Oleh: Ransoter Marbun

Keberadaan kos-kos­an merupakan solusi bagi siapapun yang sedang me­nempuh pendidikan maupun bekerja. Tak sekedar solusi, kos-kosan juga memberikan sisi positif secara ekonomi karena akan menjadi tam­bahan penghasilan, baik bagi masyarakat yang mempunyai kos-kosan, maupun bagi sek­tor ekonomi lain, seperti ru­mah makan, kios voucher, rental komputer, rental inter­net, toko-toko kelontong dan sektor informal lainnya.

Selain sisi positif, keber­adaan kos-kosan juga mem­­ba­wa dampak negatif yang cukup menganggu, yai­tu keberadaan sampah di sekitar kos-kosan. sampah ini, dari aspek etika tentu saja meng­ganggu. Dari aspek kesehat­an, keberadaan sampah yang terus menumpuk ber­potensi menimbulkan berbagai ma­cam penyakit.

Sebenarnya secara alami, sampah akan membusuk dan menjadi tanah. Bahkan tanah hasil pembusukan sam­pah merupakan salah satu jenis sampah yang subur. Te­tapi proses alamiah pembusukan sampah menjadi tanah mem­butuhkan waktu yang sangat lama, sementara produksi sampah terus meningkat.

Hal ini menyebabkan ke­se­imbangan antara produksi sampah dengan daya urai sampah secara alami tidak se­imbang. Akibatnya, dari wak­tu ke waktu, volume sampah terus meningkat.

Sampah Tak Terkelola

Persoalan pengelolaan sampah masih menjadi pe­kerja­an rumah besar bagi Indonesia. Riset terbaru Sustainable Waste Indonesia (SWI) yang dipublikasikan CNN Indonesia.com (Rabu, 25/4/2018) mengungkap­kan sebanyak 24 persen sampah di Indonesia masih tidak ter­kelola.

Ini artinya, dari sekitar 65 juta ton sampah yang di­pro­­duksi di Indonesia tiap hari, sekitar 15 juta ton me­ngotori ekosistem dan lingkungan ka­rena tidak ditangani. Se­dangkan 7 persen sampah di­daur ulang dan 69 persen sampah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Dari laporan itu diketahui juga jenis sampah yang paling banyak dihasilkan adalah sampah organik sebanyak 60 persen, sampah plastik 14 persen, diikuti sampah kertas (9 persen), metal (4,3 per­sen), kaca, kayu dan bahan lainnya (12,7 persen). Khu­sus untuk sampah plastik, diketahui ada 1,3 juta sam­pah plastik per tahun yang ti­dak dikelola.

Untuk wilayah yang lebih kecil, misalnya di Medan, Dinas Kebersihan dan Perta­manan (DKP) Kota Medan mendata, setiap warga Kota Medan menghasilkan 0,7 kg sampah per hari. Jika dikali­kan dengan jumlah penduduk Kota Medan yang saat ini men­capai sekitar 2,9 juta jiwa, maka sampah yang dihasilkan warga setiap hari sekitar 2.000 ton. (Medan­bisnisdaily.com, Selasa, 20 Nov 2018).

Dari sekitar 2,9 juta jiwa penduduk kota Medan ini, katakanlah 10 persennya saja adalah warga yang tinggal di kos-kosan, maka ada sekitar 200 ton sampah yang diha­silkan setiap harinya. Pasti­nya, dari 200 ton tersebut, ti­dak semuanya merupakan sampah yang dapat didaur ulang.

Beberapa jenis sampah yang sering dihasilkan oleh anak kos adalah sampah ker­tas, plastik kresek bungkusan belanja, botol, gelas minum­an, kulit telor, kulit pisang, kulit jeruk, bungkus detergen dan masih banyak lagi.

De­ngan minimnya fasili­tas yang dimiliki anak kos seperti tempat sampah yang memisahkan antara jenis sampah organik dengan sam­pah anorganik dan tempat pembuangan sampah di seki­tar lingkungan yang belum tersedia, membuat anak kos memilih untuk membuang sampah secara sembarangan.

Anak kos kadang mem­buang sampah di selokan, di jalan, di belakang rumah kos dan bahkan mereka mem­biar­kan sampah tersebut mem­busuk dan banyak di­hampiri oleh lalat-lalat dan be­berapa patogen yang mem­bahayakan.

Anak kos tidak sadar bah­wa sebenarnya tindakan ter­sebut dapat membahayakan jika dilakukan dengan sem­barangan. Misalnya saja, waktu membuang sampah di selokan, maka saat musim penghujan tiba, selokan ter­sebut akan tersumbat dan ber­potensi terjadi banjir. Kemu­dian ketika membuang lim­bah hitam seperti detergen dan bungkus shampo, maka berpotensi men­cemari eko­sis­tem tanah di lingkungan se­kitar.

Selain itu, jika membuang sampah di area-area di seki­tar rumah kos, berpotensi membawa dampak buruk ba­gi kesehatan karena menim­bulkan banyak penyakit se­perti diare, kolera, tifus, ja­mur kulit serta demam berda­rah.

Penyakit ini akan muncul karena tumpukan sampah di sekitar kos merupakan tem­pat yang cocok bagi miko­or­ganisme patogen (mikro­organisme merugikan).

Alternatif Pengelolaan di Kos-kosan

Untuk menangani perma­salahan sampah secara me­nyeluruh, perlu dilakukan al­ternatif-alternatif pengelo­laan. Pengelolaan sampah ia­lah usaha untuk mengatur atau mengelola sampah dari proses pengumpulan, pemi­sahan, pemindahan, peng­angkutan, sampai peng­olah­an, dan pembuangan akhir.

Langkah apa yang dapat dilakukan anak kos dalam mengelola sampah di kos-kosan ini?

Pertama adalah pembuat­an bank sampah di setiap gang atau lingkungan kos-kosan. Bank sampah merupa­kan salah satu solusi yang digunakan untuk mengum­pulkan sampah yang sudah dipilah-pilah oleh anak kos yang nantinya akan disetor­kan ke tempat pembuatan kerajinan dari sampah atau ke tempat pengepul sampah.

Langkah kedua adalah pem­buatan tong sampah di beberapa titik di tempat kos-kosan. Tong sampah ini hen­daknya memisahkan antara sampah organik dan sampah anorganik.

Pengadaan tong sampah da­pat bekerja­sama dengan program-program kepeduli­an sosial (CSR/Corporate Social Responsibility) per­usahaan di sekitar kos-kosan atau dengan memungut iuran secara rutin dari anak kos dan waga sekitar kos untuk pengadaan tong sampah.

Langkah ketiga membuat program Sabtu Bersih. Program ini akan melatih anak kos untuk bertanggungjawab dan bekerjasama antar anak kos dalam menjaga keber­sih­an di rumah kosnya masing-masing.

Langkah keempat adalah membentuk komunitas anak kos untuk melaksanakan program daur ulang sampah anorganik. Banyak jenis sam­pah anorganik yang sulit di­urai tanah, tetapi dengan ta­ngan-tangan kreatif sampah tersebut dapat didaur ulang hingga mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Misalnya, sampah botol minuman, kertas, plastik, dan gelas minuman plastik, dan beberapa sampah lain. Selain menghasilkan keuntungan ekonomi, daur ulang ini juga akan menghasilkan lingkung­an kos yang lebih bersih dan anak kos yang aktif dan krea­tif.

Sam­pah organik juga da­pat di daur ulang menjadi pupuk organik. Anak kos dapat memanfaatkan tanah kosong di sekitar rumah kos atau membuat pertanian hid­roponik dengan mengguna­kan pupuk organik tersebut. Dengan cara ini, secara eko­nomi anak kos tidak perlu la­gi membeli sayur untuk ke­perluan memasak.

Dari sisi kesehatan tentu sayuran yang ditanam sendiri lebih sehat karena tidak menggunakan bahan pesti­sida dalam proses menanam hingga panen. Anak kos ten­tunya harus sadar akan ke­ber­sihan ling­kungan dan dampak buruk dari tindakan atau karakter yang buruk ter­hadap penge­lolaan sam­pah.

Pengelolaan sampah di sua­tu daerah tidak cukup di­rancang dinas yang berwe­nang saja. Instansi dan ma­sya­rakat umum yang mem­punyai kepentingan langsung terhadap keberadaan sampah, termasuk yang tinggal di kos-kosan juga harus dilibatkan. Sebab kalau bukan kita (anak kos) yang menjaga lingkung­an untuk tetap bersih dan indah, lalu siapa lagi?

(Penulis adalah mahasis­wa Fakultas Pertanian Unika Santo Thomas Medan. Aktif di Komunitas Menulis Ma­ha­siswa “Veritas Unika”)

()

Baca Juga

Rekomendasi