
SETIAP orang perlu belajar tentang cara melepaskan diri dari apa-apa yang membuat hatinya diliputi kesedihan. Mungkin ini terdengar sepele, tapi sangat menentukan sikap dan perilaku kita di kemudian hari.
Orang yang tak bisa melepaskan kesedihan yang membelenggu jiwanya, ia akan kesulitan merasakan nikmatnya menjalani hidup. Berbeda dengan orang yang telah berhasil melepaskan diri dari kesedihan (serta hal-hal yang membuat kecewa, gelisah, dan luka dalam hatinya), maka biasanya sikap dan pembawaannya akan terlihat lebih tenang, legawa, dan mampu menerima segala ketentuan atau takdir Tuhan.
Kita mungkin pernah melihat, ada sebagian orang yang selalu menyalahkan keadaan saat mengalami sebuah peristiwa yang kurang mengenakkan atau menyenangkan dalam hidup ini. Ia merasa hidupnya ketiban sial. Bahkan ia selalu menyalahkan orang lain atas persoalan yang tengah menimpanya.
Misalnya (ini hanya sebuah contoh) suatu hari ada pasangan suami istri (pasutri) tengah mengendarai motor bersama buah hatinya yang masih bayi. Sang suami membonceng istri dan bayinya. Mungkin untuk alasan pengamanan, si bayi diletakkan di jok tengah, diapit oleh mereka berdua.
Namun sang istri mungkin mengabaikan satu hal; kain jarik yang digunakan untuk membalut tubuh si bayi ada yang jatuh dan menjuntai hingga bersisian dengan roda motor. Dan, tanpa disadari, ketika motor tengah melaju dengan cukup kencang, kain jarik tersebut masuk ke sela-sela ruji roda. Dan hal ini menyebabkan bayi mereka tertarik dan jatuh dari motor. Untungnya motor langsung berhenti. Sehingga bayi mereka tak terlalu mengalami cedera yang parah. Hanya luka-luka ringan, tapi tetap saja membuat pasutri itu sangat cemas dan panik luar biasa.
Hal yang terjadi berikutnya ternyata di luar dugaan. Bukannya langsung membawa ke rumah sakit terdekat, tapi sang suami malah terlihat sangat emosi, marah-marah dan menyalahkan istri yang teledor menjaga bayinya. Mereka berdua pun bertengkar di pinggir jalan raya dan menjadi tontonan banyak orang. Sementara bayi mereka tak henti menangis dan menjerit, menahan sakit akibat luka-luka di bagian tubuhnya.
Kejadian ini tentu dapat menjadi sebuah pelajaran penting bagi kita, bahwa ketika suatu hari kita mengalami peristiwa tak menyenangkan dalam hidup ini, maka hal pertama yang harus dikedepankan adalah logika dan sikap tenang dalam menghadapinya.
Jangan panik. Apalagi sampai menyalahkan atau mengkambinghitamkan orang lain atas kejadian tersebut. Logikanya, tak ada satu pun orang yang berniat mencelakai darah dagingnya sendiri. Mestinya, yang harus diprioritaskan saat itu adalah segera membawa sang bayi ke dokter atau rumah sakit secepatnya. Jangan pernah saling menyalahkan karena hal itu hanya memperkeruh keadaan. Berusahalah untuk selalu introspeksi diri.
Saat terjadi kecelakaan di jalan raya, saya pikir tak ada seorang pun yang menginginkan kecelakaan tersebut menimpa kedua belah pihak. Mungkin mereka hanya kurang hati-hati saat berkendara, atau karena kemungkinan-kemungkinan lain yang kita, sebagai manusia biasa, tak pernah bisa menduganya.
Oleh karena itu, mari kita belajar untuk berusaha melepaskan diri dari segala apa yang di luar kendali diri kita. Tentu siapa pun tak ada yang menginginkan mengalami musibah dan beragam masalah dalam hidupnya. Namun, takdir Tuhan siapa yang bisa menebaknya?
Bukankah hidup ini ibarat sedang mengayuh sepeda? Roda sepeda, sebagaimana kita ketahui akan berputar dan terus berputar selama kita tak henti mengayuhnya. Kadang roda bagian bawah berada di atas, demikian juga sebaliknya roda bagian yang bawah bergantian berada di atas. Artinya, satu waktu orang akan mengalami kebahagiaan, sementara di waktu lain ia akan berhadapan persoalan yang membuatnya bersedih.
Roda baru akan berhenti bila kita berhenti mengayuh sepeda. Dengan kata lain, ketika roda berhenti berputar, maka menjadi sebuah pertanda bahwa kehidupan kita telah berakhir (batas usia kita telah habis).
Nah, di antara cara termudah dalam menghadapi musibah yang bisa sewaktu-waktu datang menghampiri hidup kita adalah dengan berusaha melepaskannya. Atau dengan kata lain mengikhlaskannya. Kita harus berusaha menyadari dan merenungi, bahwa semua yang kita miliki di dunia ini, cepat atau lambat, pasti akan kembali kepada-Nya.
Tidak mungkin kita bisa menikmati segala kenikmatan duniawi selama-lamanya, misalnya harta berlimpah yang kita miliki tak mungkin bisa kita kuasai terus-menerus. Namun, harta yang kita miliki bisa menjadi amal jariyah (amalan yang pahalanya akan terus mengalir kepada kita meskipun kita telah tiada) selama kita bisa membelanjakannya ke jalan kebaikan.
Bukan Berarti Menyerah
Namun jangan sampai salah persepsi. Melepaskan bukan berarti kita menyerah dengan kondisi yang kita alami saat ini. Sama sekali bukan itu yang saya maksudkan. Melepaskan di sini, sebagaimana saya uraikan di awal adalah berusaha mengikhlaskan segala apa yang telah terjadi, dan selanjutnya berusaha menjalani kehidupan ini dengan lebih baik lagi. Selain itu, berusahalah menanamkan keyakinan di dalam hati, bahwa setiap persoalan yang kita hadapi pasti ada jalan keluarnya.
Saya sangat yakin bahwa tidak ada satu pun persoalan hidup yang tak ada solusi atau jalan keluarnya. Tugas kita adalah berusaha mencari jalan keluar tersebut. Ketika kondisi hati kita tenang dan telah mampu mengikhlaskan segala ketentuan (takdir) Tuhan, maka kita akan mampu menemukan solusi atau jalan keluar terbaik atas masalah yang tengah kita hadapi.
Terkait hal ini, Allah Swt telah menjelaskan bahwa setiap kesulitan pasti selalu datang bersamaan dengan kemudahan. Ya, selalu datang bersamaan. Jadi tugas kita (ketika berhadapan dengan ujian hidup) adalah memilih untuk mencari kemudahan-kemudahan atau solusi tersebut.
Sekali lagi saya tekankan bahwa solusi terbaik akan kita peroleh bila kondisi hati telah tenang, seraya berusaha melepaskan (mengikhlaskan) dan ridha terhadap apa yang telah menjadi ketentuan-Nya. Wallahu a’lam bish-shawaab.***
Penulis lepas, alumnus STAINU Fakultas Tarbiyah, Kebumen.