Pelajaran tentang Melepaskan

pelajaran-tentang-melepaskan
Oleh: Sam Edy Yuswanto

SETIAP orang perlu belajar tentang cara melepaskan diri dari apa-apa yang mem­buat hatinya diliputi kesedihan. Mu­ngkin ini terdengar sepele, tapi sa­ngat menentukan sikap dan perilaku kita di kemudian hari.

Orang yang tak bisa melepaskan ke­se­dihan yang membelenggu jiwanya, ia akan kesulitan merasakan nikmatnya men­jalani hidup. Berbeda dengan orang yang telah ber­hasil melepaskan diri dari kesedihan (serta hal-hal yang membuat kecewa, ge­lisah, dan luka dalam hati­nya), maka bia­sanya sikap dan pem­bawaan­nya akan terl­ihat lebih tenang, legawa, dan mampu me­nerima segala ketentuan atau takdir Tuhan.

Kita mungkin pernah melihat, ada sebagian orang yang selalu me­nyalah­kan keadaan saat mengalami sebuah peristi­wa yang kurang mengenakkan atau me­nyenangkan dalam hidup ini. Ia merasa hidupnya ketiban sial. Bahkan ia selalu menyalahkan orang lain atas persoalan yang tengah menimpanya.

Misalnya (ini hanya sebuah contoh) suatu hari ada pasangan suami istri (pasutri) tengah mengendarai motor bersama buah hatinya yang masih bayi. Sang suami membonceng istri dan bayinya. Mungkin untuk alasan penga­manan, si bayi diletakkan di jok tengah, diapit oleh mereka berdua.

Namun sang istri mungkin menga­bai­kan satu hal; kain jarik yang digu­nakan untuk membalut tubuh si bayi ada yang jatuh dan menjuntai hingga ber­sisian dengan roda motor. Dan, tanpa disadari, ketika motor tengah melaju dengan cukup kencang, kain jarik tersebut masuk ke sela-sela ruji roda. Dan hal ini me­nyebab­kan bayi mereka tertarik dan jatuh dari motor. Untungnya motor langsung ber­henti. Sehingga bayi mereka tak terlalu mengal­ami cedera yang parah. Hanya luka-luka ringan, tapi tetap saja membuat pasutri itu sangat cemas dan panik luar biasa.

Hal yang terjadi berikutnya ternyata di luar dugaan. Bukannya langsung membawa ke rumah sakit terdekat, tapi sang suami malah terlihat sangat emosi, marah-marah dan menyalahkan istri yang teledor menjaga bayinya. Mereka berdua pun bertengkar di pinggir jalan raya dan menjadi tontonan banyak orang. Se­mentara bayi mereka tak henti menangis dan menjerit, menahan sakit akibat luka-luka di bagian tubuhnya.

Kejadian ini tentu dapat menjadi sebuah pelajaran penting bagi kita, bahwa ketika suatu hari kita mengalami peristiwa tak menyenangkan dalam hidup ini, maka hal pertama yang harus dikedepankan adalah logika dan sikap tenang dalam menghadapinya.

Jangan panik. Apalagi sampai me­nya­lah­kan atau mengkambinghitamkan orang lain atas kejadian tersebut. Lo­gikanya, tak ada satu pun orang yang ber­niat mencelakai darah dagingnya sen­diri. Mestinya, yang harus diprio­ritaskan saat itu adalah segera membawa sang bayi ke dok­ter atau rumah sakit secepatnya. Ja­ngan pernah saling menyalahkan karena hal itu hanya memperkeruh keadaan. Berusahalah untuk selalu introspeksi diri.

Saat terjadi kecelakaan di jalan raya, saya pikir tak ada seorang pun yang me­nginginkan kecelakaan tersebut me­nim­pa kedua belah pihak. Mungkin mereka hanya kurang hati-hati saat ber­kendara, atau karena kemungkinan-ke­mu­ng­kinan lain yang kita, sebagai ma­nusia biasa, tak pernah bisa menduganya.

Oleh karena itu, mari kita belajar un­tuk berusaha melepaskan diri dari segala apa yang di luar kendali diri kita. Tentu siapa pun tak ada yang meng­inginkan mengalami musibah dan ber­agam ma­salah dalam hidupnya. Namun, takdir Tuhan siapa yang bisa me­nebaknya?

Bukankah hidup ini ibarat sedang mengayuh sepeda? Roda sepeda, seba­gaimana kita ketahui akan berputar dan terus berputar selama kita tak henti me­ngayuhnya. Kadang roda bagian bawah berada di atas, demikian juga sebaliknya roda bagian yang bawah bergantian ber­ada di atas. Artinya, satu waktu orang akan mengalami kebahagiaan, se­men­tara di waktu lain ia akan berhadapan per­soalan yang membuatnya bersedih.

Roda baru akan berhenti bila kita ber­henti mengayuh sepeda. Dengan kata lain, ketika roda berhenti berputar, maka menjadi sebuah pertanda bahwa kehi­dupan kita telah berakhir (batas usia kita telah habis).

Nah, di antara cara termudah dalam menghadapi musibah yang bisa sewak­tu-waktu datang menghampiri hidup kita adalah dengan berusaha melepas­kan­nya. Atau dengan kata lain meng­ikh­las­kannya. Kita harus berusaha me­nya­dari dan merenungi, bahwa semua yang kita miliki di dunia ini, cepat atau lambat, pasti akan kembali kepada-Nya.

Tidak mungkin kita bisa menikmati segala kenikmatan duniawi selama-lama­nya, misalnya harta berlimpah yang kita miliki tak mungkin bisa kita kuasai terus-menerus. Namun, harta yang kita miliki bisa menjadi amal jariyah (ama­lan yang pahalanya akan terus mengalir kepada kita meskipun kita telah tiada) selama kita bisa membelanjakannya ke jalan kebaikan.

Bukan Berarti Menyerah

Namun jangan sampai salah persepsi. Melepaskan bukan berarti kita me­nyerah de­ngan kondisi yang kita alami saat ini. Sa­ma sekali bukan itu yang saya maksud­kan.  Melepaskan di sini, sebagaimana saya uraikan di awal adalah berusaha meng­ikhl­askan segala apa yang telah terjadi, dan selanjutnya berusaha men­jalani ke­hidupan ini dengan lebih baik lagi. Selain itu, berusahalah menanam­kan keyakinan di dalam hati, bahwa setiap persoalan yang kita hadapi pasti ada jalan keluar­nya.

Saya sangat yakin bahwa tidak ada satu pun persoalan hidup yang tak ada so­lusi atau jalan keluarnya. Tugas kita ada­lah berusaha mencari jalan keluar tersebut. Ketika kondisi hati kita tenang dan telah mampu mengikhlaskan segala ketentuan (takdir) Tuhan, maka kita akan mampu menemukan solusi atau jalan keluar terbaik atas masalah yang tengah kita hadapi.

Terkait hal ini, Allah Swt telah men­jelaskan bahwa setiap kesulitan pasti selalu datang bersamaan dengan kemu­dahan. Ya, selalu datang bersama­an. Jadi tugas kita (ketika berhadapan dengan ujian hidup) adalah memilih untuk mencari kemu­dahan-kemudahan atau solusi tersebut.

Sekali lagi saya tekankan bahwa so­lusi terbaik akan kita peroleh bila kon­disi hati telah tenang, seraya ber­usaha melepaskan (mengikhlaskan) dan ridha terhadap apa yang telah menjadi keten­tuan-Nya. Wallahu a’lam bish-sha­waab.***

Penulis lepas, alumnus STAINU Fakultas Tarbiyah, Kebumen.

()

Baca Juga

Rekomendasi