
Oleh: OK Mohd Fajar Ikhsan PhD
Beberapa hari belakangan ini, di berbagai media cetak baik di Indonesia maupun Malaysia gencar memberitakan tentang kebakaran atau pembakaran hutan yang terjadi di kawasan Sumatera (Riau), Kalimantan, dan tentang beberapa temuan titik api di Sabah maupun Sarawak (Malaysia).
Tentunya kita menyadari bahwa kebakaran hutan khususnya yang terjadi di beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan bukan merupakan kejadian yang pertama kali. Kejadian ini terus berulang untuk kesekian kalinya. Korporasi-korporasi yang menguasai lahan tersebut di antaranya merupakan perusahaan perkebunan bidang industri kelapa sawit yang asal Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Bahkan sebelum ini terdapat lebih dari 103 perusahaan yang terlibat pembakaran hutan dan telah ada 15 perusahaan yang sedang dalam penyelidikan oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Selain itu pula Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyegel lebih dari 28 perusahaan di Kalimantan Barat (m.cnnindonesia.com).
Pembakaran hutan yang kerap dilakukan korporasi untuk membuka lahan baru, khususnya oleh korporasi besar merupakan masalah yang sangat krusial untuk diselesaikan pemerintah. Namun, bagaimana pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan tersebut jika negara tidak memiliki 'kekuatan' untuk mengintervensi dan untuk menjatuhkan sanksi bagi kelompok-kelompok korporasi besar tersebut?
Beberapa oknum yang terlibat kasus pembakaran hutan telah dikenakan tindakan pidana oleh pihak berwajib. Namun, tindakan hukuman tersebut hanya dijatuhi kepada oknum pembakar hutan (aktor suruhan). Sehingga, kasus-kasus pembakaran hutan yang menyebabkan degradasi lingkungan dan pencemaran udara masih kerap terjadi.
Revolusi Industri dan Eksploitasi Alam
Permasalahan eksploitasi lingkungan maupun eksploitasi sumber daya alam merupakan sebuah keniscayaan bagi peradaban yang disebut sebagai modernisasi industry, dengan berlandaskan alasan-alaaan peningkatan pertumbuhan ekonomi (economic growth), pemaksimalan pendapatan negara, dan lainnya.
Jika kita melihat kembali pada sekitar abad ke 18-19 di kawasan Eropa Barat, terjadinya revolusi industri telah mengubah tatanan masyarakat dan ekonomi global. Terjadi perubahan dalam praktik-praktik ekonomi negara dan korporasi yang menekankan kepada penggunaan teknologi (alat-alat produksi) dalam memproduksi barang-barang jadi (material) yang sebelumnya dilakukan dengan cara tradisional (tenaga manusia).
Kemudahan ataupun kemajuan yang dimiliki dengan menggunakan teknologi (mesin-mesin uap, dsb) diharapkan mampu mewujudkan percepatan dalam struktur produksi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Namun, semakin besarnya dan seringnya alat-alat produksi tersebut digunakan, ternyata hal tersebut membawa permasalahan baru terhadap lingkungan dan alam sekitar, yaitu tingginya tingkat polusi udara dan limbah yang berbahaya.
Tingginya akumulasi produksi yang membawa kepada pencemaran udara (polusi asap) yang terjadi pada era revolusi Industri tersebut menjadi perhatian yang serius bagi kalangan pemikir, filsuf maupun aktivis yang tergabung di dalam ideologi environmentalisme.
Environmentalisme menjadi sebuah ideologi politik yang sangat radikal dalam memberikan tekanan dan kritik terhadap masifnya industrialisasi yang terjadi ketika itu, baik memberikan kritik melalui pemikiran-pemikiran maupun gerakan secara terstruktur dan terbuka.
Eksploitasi Alam dan Kapitalisme
Sama halnya dengan kritik yang dilontarkan oleh Karl Marx, bahwa kapitalisme agrikultur oleh kalangan pemilik modal (kapital) hanya akan menyebabkan terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang dapat memicu terjadinya degradasi lingkungan.
Marx menyatakan "all progress in capitalistic agriculture is a progress in the art, not only of robbing the labourer, but of robbing the soil; all progress in increasing the fertility of the soil for a given time, is a progress towards ruining the lasting sources of that fertility" (Karl Marx, Capital, Vol I).
Dapat dilihat bahwa Marx mencoba mengatakan bahwa segala bentuk kemajuan (perkebangan) dalam bidang pertanian yang bersifat kapitalistik bukan hanya akan merampok kepentingan kalangan kelas buruh, namun pada waktu tertentu kemajuan tersebut juga akan menuju kepada penghancuran terhadap sumber daya yang 'abadi'.
Jika dilihat dalam konteks hari ini, apa yang menjadi pandangan Marx pada masa lalu mengenai keterkaitan antara kekuatan kapitalisme dan eksploitasi lingkungan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok borjuasi (korporasi) ialah tentang bagaimana kekuatan modal dengan segala kemajuan yang dimilikinya dapat membawa kerusakan kepada lingkungan.
Permasalahan-permasalahan alam yang muncul adalah permasalahan yang diakibatkan oleh kerakusan manusia dalam mengambil peluang ekonomi sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangan kerusakan yang akan dihadapi pada masa mendatang.
Marx dan Engels melihat tatanan manusia adalah suatu bentuk yang tidak dapat dipisahkan dari alam ataupun lingkungan, karena keduanya saling berhubungan. Namun bagi penganut ideologi kapitalis ortodoks, manusia dan lingkungan memiliki ruang yang terpisah.
Marx menyatakan bahwa "Nature is man’s inorganic body, that is to say, nature in so far as it is not the human body. Man lives from nature, i.e. nature is his body, and he must maintain a continuing dialogue with it if he is not to die. To say man’s physical and mental life is linked to nature simply means that nature is linked to itself, for man is a part of nature" (dalam Foster, 2000).
Marx menekankan bahwa kehidupan fisik dan mental manusia terkait dengan alam, di mana manusia adalah bagian dari alam tersebut. Sehingga jika kita 'menyakiti' atau 'menyalahgunakan' alam, maka kita menyakiti diri sendiri. Dan inilah yang kita rasakan pada hari ini, ketika segelintir kelompok memaksakan kepentinganmya atas dasar efisiensi pembukaan lahan dengan cara membakar lahan, maka manusia lainnya juga yang justru terkena dampak dari penyalahgunaan alam tersebut.
Jika berkaca pada kasus-kasus sebelumnya, kita dapat melihat kasus pembakaran hutan pada tahun-tahun sebelumnya, kelompok aktivis lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mencatat terdapat sekitar 423 perusahaan yang diduga terlibat langsung dalam bencana kebakaran hutan pada tahun 2015. Dan dari jumlah tersebut. hanya 23 perusahaan saja yang resmi menjalani proses hukum (republika.co.id). Maka kita juga dapat beranggapan bahwa negara/pemerintah belum memiliki kepekaan yang tinggi terkait permasalahan ini.
Penutup
Kembali kita dapat menyimpulkan bahwa permasalahan kebakaran hutan yang kerap terjadi di Indonesia hanya bentuk kelanjutan dari praktik-praktik kelompok kapitalis yang telah wujud lebih dari 100 tahun yang lalu.
Pola-pola yang dilakukan oleh kelompok kelas kapitalis tersebut melalui korporasi-korporasi hanyalah menyangkut kepada kepentingan-kepentingan kelompok pemodal, dan inilah yang disebut sebagai kuasa kapital. Meskipun terdapat kasus yang melibatkan pembakaran hutan secara perseorangan, tetapi tentunya lahan yang dimiliki atau dikuasai oleh korporasi pasti lebih besar jumlahnya.
Negara seakan tidak mampu berbuat banyak dalam meng-counter dominasi kuasa kapital ini. Karena di satu sisi negara memerlukan pemasukan dan pendapatan dari korporasi-korporasi besar tersebut. Dan di sisi lain pula, Korporasi-korporasi tersebut juga meng-utilisasi kelemahan Negara/pemerintah untuk memaksimalkan keuntungan mereka dengan bertindak secara sewenang-wenang, yang pada akhirnya berakhir kepada munculnya permasalahan-permasalahan alam dan lingkungan secara berulang-ulang.
Pemerintah diharapkan mampu mengambil sikap yang tegas dan tidam tebang pilih terhadap kasus-kasus pembakaran hutan. Pembakaran hutan yang dilakukan oleh perseorangan dan yang dilakukan oleh korporasi perlu ditindak secara proporsional. Kegagalan pemerintah dalam meminimalisasi isu dan menyelesaikan permasalahan ini dapat memunculkan dugaan-dugaan dan prasangka dari kalangan masyarakat. Apakah pemerintah berpihak dan tunduk di atas kepentingan kuasa kapital? Atau justru pemerintah tidak memiliki kuasa secara total dalam mengakhiri praktik-praktik ini?***
Dosen Senior di School of International Studies, Universiti Utara Malaysia & Dosen Tetap di Departemen Hubungan Internasional Universitas Binus Jakarta.